24 April 2009

Thâghût

Sebelum mengenal apa itu thâghût, ada baiknya kita ulas sedikit tentang makna ‘ibadah.

Didalam tafsir surat Al-Fatihah ayat 6 : “ iyyaka na’budu wa iyyaka nasta’iin ” , makna ayat ini menurut Az-Zamakhsyarî adalah “Kami mengkhususkan 'ibâdah -- hanya -- kepada-Mu, dan kami mengkhususkan minta pertolongan -- hanya --kepada-Mu”. (Lihat Tafsîr Al-Kasysyâf juz I hal. 56)

Ibâdah kepada Allâh merupakan tujuan dari penciptaan jin dan manusia : “Dan tidaklah Aku ciptakan jin dan manusia melainkan agar mereka ber'ibâdah kepada-Ku”. (Surah Adz-Dzâriyât : 56)

Arti ‘ibadah dari segi bahasa ialah :“Ta'at (patuh) dan merendahkan diri”. (Lihat Tafsîr Al-Qurthubî jilid I hal. 146)

Sedangkan ta'rîf (definisi)nya menurut syara' ialah: “Nama (isim) yang mencakup semua yang dicintai Allâh dan diridhai-Nya; dari ucapan, perbuatan, yang lahir maupun yang batin”.

Ber'ibâdah kepada Allâh harus dengan cara yang diajarkan oleh para rasûl, karena mereka diutus untuk menyeru dan memberi contoh tata-cara ber'ibâdah yang benar kepada Allâh, sebagaimana firman Allâh SWT. : Sesungguhnya Kami telah mengutus seorang rasûl dalam tiap-tiap umat -- yang menyeru -- : “Hendaklah kalian ber'ibadah kepada Allâh dan jauhilah Thâghût”.(Surah An-Nahl (16) : 36)

Kata “Thâghût” dari segi bahasa berasal dari kata “Thaghâ”; “Yathghâ”; yang artinya : “melampaui batas”. Adapun yang dimaksud “melampaui batas” di sini ialah : “Melampaui batas dalam kekufuran dan perbuatan yang buruk”. Jadi, ta'rif dari kata “Thâghût” ialah : “Setiap orang yang melampaui batas dalam kemaksiatan”.

Menurut Al-Imâm Ibnul-Qayyim (rahimahullâh), tokoh utama “Thâghût” itu ada lima :

1. Iblîs (la'natullâh 'alaih)

2.Orang yang disembah, dan ia merasa senang
Yang dimaksud di sini adalah para pendeta Yahûdi dan Nasrani yang membuat-buat peraturan (syari'at) agama yang bertentangan dengan hukum-hukum Allâh; seperti mengharamkan apa yang dihalalkan oleh Allâh dan menghalalkan apa yang diharamkan oleh Allâh, sebagaimana disebutkan dalam surah At-Taubah (9) ayat 31 : “Mereka (Yahûdi dan Nasrani) menjadikan orang-orang 'alim dan rahib-rahib (pendeta) mereka sebagai tuhan-tuhan selain Allâh”.

Apakah yang dimaksud menjadikan orang-orang 'alim dan rahid-rahib sebagai tuhan-tuhan selain Allâh? Apakah mereka sujud, menyembah kepada orang-orang 'alim dan rahib-rahib itu seperti orang-orang musyrik menyembah berhala? Al-Imâm Ibnu Katsîr telah menjelaskan masalah ini dengan sebuah hadits dari jalur Al-Imâm Ahmad, At-Tirmidzî dan Ibnu Jarîr; yaitu hadits yang mengisahkan kedatangan 'Adî bin Hâtim ke Madînah dalam rangka kunjungannya yang pertama kepada Rasûlullâh saw.

-- ketika itu 'Adî masih beragama Nasrani -- dan memakai kalung salib dari perak. Maka Rasûlullâh saw. pun membacakan ayat ini (Surah At-Taubah (9) : 31) di hadapan 'Adî bin Hâtim: “Mereka (Yahûdi dan Nasrani) menjadikan orang-orang 'alim dan rahib-rahib (pendeta) mereka sebagai tuhan-tuhan selain Allâh”.

'Adî bin Hâtim segera menyanggah dengan mengatakan : “Sesungguhnya mereka tidak pernah ber'ibâdah (menyembah) kepada orang-orang 'alim dan para pendeta”.

Maka Rasûlullâh saw. pun segera menjawab : “Oh pasti ; sesungguhnya orang-orang 'alim dan para pendeta itu mengharamkan sesuatu yang halal terhadap mereka dan menghalalkan sesuatu yang haram, maka mereka pun menta'atinya. Demikian itulah -- bentuk -- penyembahan mereka kepada orang-orang 'alim dan para pendeta itu”. (Lihat Tafsîr Ibnu Katsîr juz II hal.348)

Mereka memang tidak melakukan sujud kepada para pendeta atau orang-orang 'alim mereka, akan tetapi mereka menta'ati para pendeta dan orang-orang 'alim itu sedemikian rupa hingga hukum halal-haram bagi mereka adalah menurut aturan pendeta dan orang 'alim, bukan menurut Allâh. Inilah pengertian atau makna 'ibâdah yang sesungguhnya; yaitu : “Ta'at (patuh) dan merendahkan diri”, sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya. Dan para orang 'alim dan pendeta itu pun merasa senang dengan kondisi umat mereka seperti ini, sehingga tepatlah kalau mereka disebut “Thâghût”.

3. Orang yang mengajak manusia untuk menyembah dirinya
Yang dimaksud di sini adalah para pemimpin sekte, pemimpin spiritual dan para syaikh thariqat yang gemar menipu pengikutnya dengan mengaku-ngaku sebagai wali dsb. Dan pada umumnya, "Thâghût" dari jenis ini terdiri dari orang-orang yang tolol dan bodoh, tidak mengerti ilmu dan syari'at agama

4. Orang yang mengaku-ngaku mengetahui sesuatu dari ilmu ghaib.
Yang dimaksud di sini adalah para kahin (para normal), tukang ramal, ahli nujum, tukang sihir, santet, teluh dsb.

5. Orang yang memutuskan hukum dengan selain hukum Allâh (Al-Qur-ân)
Yang dimaksud di sini adalah para pemimpin negara, hakim, jaksa dan seluruh aparat penegak hukum, yang dalam memberikan keputusan hukum tidak berlandaskan "Kitâbullâh".

Demikian semoga bermanfa'at.

(diambil dari catatan ta'lim tafsir surat Al-Fatihah)

17 April 2009

Tidak ada dikotomi antara dunia dan akhirat

“Beramal-lah untuk duniamu seolah-olah engkau akan hidup selamanya, dan beramal-lah untuk akhiratmu seolah-olah engkau akan mati esok.”

Matan dari hadits ini seolah-olah ada dikotomi antara dunia dan akhirat, padahal keduanya seharusnya sejalan. Hadits yang populer ini termasuk dalam katagori dha’if, rujukan kita pada pendapat ahli hadits Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani dalam kitabnya Silsilatu-Ahaadiits adh-Dhaifah wal-Maudhu’ah wa Atsaruhas-Sayyi’ fil-Ummah atau dalam terjemahan Gema Insani Press 1998 : Silsilah Hadits Dha’if dan Maudhu’ Jilid 1 Hadits No. 8, beliau mengatakan :

“Sekalipun riwayat di atas sangatlah masyur dan hampir setiap orang mengutipnya, tetapi sanadnya tidak ada yang marfu’. Bahkan Syaikh Abdul Karim al-Amri tidak mencantumkannya dalam kitabnya al-Jaddul-Hatsits fi Bayani laysa bi Hadits.

Namun saya (Syekh Al-Albani-red) telah mendapatkan sumbernya dengan sanad yang mauquf (pada sahabat) yaitu diriwayatkan oleh Ibnu Qutaibah dalam kitab Gharibul-Hadits I/46, dengan matan “ihrits lidunyaaka……” dan seterusnya.

Juga saya dapatkan riwayat Ibnu Mubarak pada kitab az-Zuhud II/28 dengan sanad lain yang tidak maquf dan munqathi’ (tidak bersambung).

Ringkasnya, riwayat hadits tersebut dha’if karena adanya dua penyakit dalam sanadnya. Pertama, majhulnya (asingnya) maula (budak/pengikut) Umar bin Abdul Aziz sebagai salah satu perawi sanadnya. Kedua, dha’ifnya pencatat bagi Laits yang bernama Abdullah bin Shaleh, yang juga merupakan perawi sanad dalam riwayat ini.”

Di dalam hadits lain :

“Barang siapa yang bekerja untuk kedua orangtuanya, maka ia berada di jalan Allah, barang siapa yang bekerja untuk keluarganya, maka ia berada di jalan Allah, dan barang siapa yang bekerja untuk dirinya, yaitu agar ia terjaga (terhormat), maka ia berada di jalan Allah. Dan barang siapa yang bekerja untuk menumpuk harta, maka ia berada di jalan thaaghuut atau di jalan syaithaan.” (Dikeluarkan oleh Al-Bazzaar, Abuu Nu’aim dan Ash-Bahaanii. Lihat A-Haadiitsush-Shahiihah oleh Asy-Syaikh Al-Albaani juz V hal. 272 no. 2232).

Jelas sekali bahwa Islam memandang “bekerja” atau “berusaha” untuk memenuhi kebutuhan keluarga atau kebutuhan pribadi sebagai sebuah jihad Fi Sabiilillaah dalam bentuk yang lain. Dengan demikian barang siapa yang berkerja dengan niat salah satu dari 3 (tiga) motivasi ini, yaitu bekerja untuk menghidupi kedua orangtuanya, atau menghidupi keluarganya atau untuk memelihara kehormatannya agar tidak menjadi beban bagi orang lain, maka dia berada di jalan Allah dan siapa saja yang berada di jalan Allah lalu mati, maka surga adalah jaminannya. Hadits ini secara jelas menunjukkan bahwa antara dunia dan akhirat tidak ada dikotomi.

Catatan Djoko Priambodo

16 April 2009

Mereka Yang Mengharapkan Berkah Kepada Pohon, Batu dan Sejenisnya

Firman Allah 'Azza wa jalla:
"Maka apakah patut kamu (hai orang-orang musyrik) menganggap al Lata dan al Uzza dan Manat yang ketiga, yang paling terkemudian (sebagai anak perempuan Allah)?. Apakah (patut) untuk kamu (anak) laki-laki dan untuk Allah (anak) perempuan? Yang demikian itu tentulah suatu pembagian yang tidak adil. Itu tidak lain hanyalah nama-nama yang diada-adakan oleh kamu dan bapak-bapak kamu; Allah tidak menurunkan suatu keteranganpun untuk (menyembah)nya. Mereka tidak lain hanyalah mengikuti sangkaan-sangkaan dan apa yang diingini oleh hawa nafsu mereka; padahal sesungguhnya telah datang kepada mereka petunjuk dari Tuhan mereka." (An-Najm: 19-23)

Al-Lat, Al-'Uzza dan Manat adalah nama berhala-berhala yang dipuja orang Arab Jahiliyah dan dianggapnya sebagai anak-anak perempuan Allah.

Abu Waqid Al-Laitsi menuturkan:
"Suatu saat kami pergi keluar bersama Rasulullah saw ke Hunain, sedang kami dalam keadaan baru saja lepas dari kekafiran (masuk Islam). Ketika itu orang-orang musyrik mempunyai sebatang pohon bidara yang disebut Dzat Anwath, mereka selalu mendatanginya dan menggantungkan senjata-senjata perang mereka pada pohon itu. Tatkala kami melewati sebatang pohon bidara, kami pun berkata: "Ya Rasulullah buatkanlah untuk kami Dzat Anwath sebagaimana mereka itu mempunya Dzat Anwath. Maka Rasulullah saw bersabda:
"Allahu Akbar. Itulah tradisi (orang-orang sebelum kamu). Dan demi Allah yang diriku hanya berada di Tangan-Nya, kamu benar-benar telah mengatakan suatu perkataan seperti yang dikatakan oleh Bani Israil kepada Musa (buatkanlah untuk kami sesembahan sebagaimana mereka itu mempunyai sesembahan-sesembahan, Musa menjawab: Sungguh, kamu adalah kaum yang tidak mengerti). Pasti kamu akan mengikuti tradisi orang-orang sebelum kamu." (HR At-Tirmidzi dan dinyatakan shahih)

Ruqyah dan Tamimah

Diriwayatkan dalam Shahih Al-Bukhari dan Muslim dari Abu Basyir Al-Anshari bahwa dia pernah bersama Rasulullah saw dalam salah satu perjalanan beliau , lalu beliau mengutus seorang utusan (untuk memaklumkan):
"Supaya tidak terdapat lagi di leher unta kalung dari tali busur panah atau kalung apapun, kecuali harus diputuskan.

Ibnu Mas'ud menuturkan: Aku telah mendengar Rasulullah saw bersabda:
"Sesungguhnya ruqyah, tamimah dnn tiwalah adalah syirik." (Hadits riwayat Imam Ahmad dan Abu Dawud).

Tamimah: sesuatu yang dikalungkan di leher anak-anak untuk menangkal atau menolak 'ain. Tetapi, apabila yang dikalungkan itu berasal dari ayat-ayat suci Al-Qur' an, sebagian salaf memberikan keringanan dalam hal ini; dan sebagian yang lain tidak memperbolehkan dan memandangnya termasuk hal yang dilarang, di antaranya: Ibnu Mas'ud .

Tamimah dari ayat suci Al-Qur'an atau hadits Nabi lebih baik ditinggalkan, karena tidak ada dasarya dari syara`;bahkan hadits yang melarangnya bersifat umum, tidak seperti halnya ruqyah, ada hadits lain yang membolehkan. Di samping itu apabila dibiarkan atau diperbolehkan akan membuka peluang untuk menggunakan tamimah yang haram.

Ruqyah: yaitu yang disebut pula 'Azimah. Ini khusus diizinkan selama penggunaannya bebas dari hal-hal syirik, sebab Rasulullah shallallahu alaihi wasallam telah memberikan keringanan dalam hal ruqyah ini untuk mengobati 'ain atau sengatan kalajengking.

Ruqyah : Penyembuhan suatu penyakit dengan pembacaan ayat-ayat suci Al-Qur.an, atau doa-doa atau mantra-mantra

Tiwalah: sesuatu yang dibuat dengan anggapan bahwa hal tersebut dapat membikin seorang isteri mencintai suaminya, atau seorang suami mencintai isterinya.
Hadits marfu' diriwayatkan dari Abdullah bin 'Ukaim :
"Barangsiapa menggantungkan sesuatu barang (dengan anggapan bahwa barang itu bermanfaat atau dapat melindungi dirinya, niscaya Allah menjadikan dia selalu bergantung kepada barang tersebut. (Hadits riwayat Imam Ahmad dan At-Tirmidzi)

Imam Ahmad meriwayatkan dari Ruwaifi', katanya : "Rasulullah saw telah bersabda kepadaku:
"Hai Ruwaifi`, semoga engkau berumur panjang; untuk itu, sampaikan kepada orang-orang bahwa siapa saja yang menggulung jenggotnya atau memakai kalung dari tali busur panah atau beristinja dengan kotoran binatang ataupun dengan tulang, maka sesungguhnya Muhammad lepas dari orang itu ".

Istinja': bersuci atau membersihkan diri setelah buang hajat kecil atau besar.
Waki' meriwayatkan bahwa Sa'id bin Jubair berkata: "Barangsiapa memutus suatu Tamimah dari seseorang, maka tindakannya itu sama dengan memerdekakan seorang budak."
Dan Waki' meriwayatkan pula bahwa Ibrahim (An-Nakha'i) berkata: "Mereka (para sahabat 'Abdullah bin Mas`ud) membenci segala jenis tamimah, baik dari ayat-ayat Al-Qur'an atau bukan dari ayat-ayat Al-Qur'an.

13 April 2009

Panik, Wudhu Batal Ketika Sedang Shalat Jumat

Pertanyaan

Assalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh

Singkat saja ustadz, ada teman yang menanyakan kepada saya, apakah yang seharusnya dilakukan jika kita sedang menjadi makmum sholat jumat. Lalu wudhu kita batal, misalnya karena buang angin.

Haruskah kita kembali wudhu, sedangkan kalau kita paksakan berjalan menuju ke tempat wudhu maka kita akan harus berjalan di depan jamaah yang sedang sholat dan sudah pasti akan mengganggu barisan shaf karena kita akan memaksakan badan kita melewati sela-sela barisan shaf.

Atau bolehkah kita tayamum saja di lantai, lalu melanjutkan sholat. Ataukah sebaiknya kita ikut terus sholat mengikuti imam, terus ketika sholat jumat usai, kita wudhu lagi dan menggantinya dengan sholat dzuhur? Mohon pencerahan ustadz,

Wassalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh

catur

Jawaban

Assalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh

Buang angin saat sedang shalat Jumat memang termasuk 'musibah'. Bagaimana tidak? Kita jadi serba salah tentunya. Begini salah dan begitu salah. Jalan satu-satunya, usahakan biar jangan batal wudhu'nya. Bagaimana caranya biar tidak batal wudhu'nya, itu terserah antum. Berijtihadlah sekuat-kuatnya agar tidak sampai batal. Kalau perlu disumpel deh.

Tapi bagaimana kalau sudah disumpel masih bocor juga?

Itu yang saya bilang musibah. Karena sudah pasti kalau shalat diteruskan juga tidak sah. Tayammum? Jelas tidak sah, lha wong syarat tayammum itu tidak ada air. Padahal di masjid itu sudah pasti ada air.

Lagian mau tayammum pakai apa? Tayammum itu kan harus pakai tanah, bukan pakai karpet. Mana ada dalilnya bahwa Nabi SAW tayammum pakai karpet. Yang ada di Al-Quran, tayammum itu pakai tanah yang suci. Untuk mendapatkan tanah yang suci, antum kudu keluar masjid dulu, kan?

Kalau sudah keluar masjid, ya mendingan juga berwudhu', bukan tayammum. Silahkan baca ayat berikut ini :

فَتَيَمَّمُواْ صَعِيدًا طَيِّبًا فَامْسَحُواْ بِوُجُوهِكُمْ وَأَيْدِيكُم مِّنْهُ

Maka bertayamumlah dengan tanah yang baik (bersih); sapulah mukamu dan tanganmu dengan tanah itu.(QS. Al-Maidah : 6)

Tidak Boleh Lewat Di Depan Orang Shalat

Di sisi lain, berjalan keluar untuk berwudhu menjadi nyaris tidak mungkin, lantaran kita akan melewati shaf-shaf orang yang shalat. Dan ada larangan yang kuat untuk lewat di depan orang yang sedang shalat.

Diriwayatkan dari Busyr bin Sa’id, bahwa Zaid bin Khalid telah mengutusnya kepada Abu Juhaim untuk menanyakan hadits yang telah ia dengar dai Rasulullah saw. tentang orang yang lewat di hadapan orang shalat. Abu Juhaim berkata, “Rasulullah saw. bersabda, ‘Kalaulah orang yang lewat di hadapan orang shalat tahu hukuman yang bakal diterimanya, niscaya berdiri menunggu selama empat puluh lebih baik baginya daripada lewat di depan orang shalat,” (HR Bukhari dan Muslim).

Abu an-Nadhar berkata, “Aku tidak tahu berapakah yang beliau sebutkan, apakah empat puluh hari, empat puluh bulan atau empat puluh tahun?”

Orang Yang Shalat Harus Mencegah Orang Lain Melewatinya

Kalau kita dilarang lewat di depan orang yang sedang shalat, maka dari sisi orang yang sedang shalat pun ada perintah untuk menahan orang lain yang ingin lewat di depannya.

Abu Shalih as-Sammam berkata, “Aku melihat Abu Sa’id al-Khudri r.a. pada hari Jum’at shalat dengan menghadap sutrah di depannya. Lalu seorang pemuda dari Bani Abi Mu’aith ingin melintas di depan beliau. Abu Sa’id menahan dada pemuda itu. Pemuda itu tidak mendapatkan jalan kecuali di depannya. Ia kembali ingin melintas di depan Abu Sa’id. Beliau kembali menahannya lebih keras dari yang pertama. Lalu ia memaki Abu Sa’id. Lalu pemuda itu menemui Marwan dan melaporkan perlakuan yang diterimanya dari Abu Sa’id. Tidak berapa lama kemudian Abu Sa’id datang ketempat itu. Marwan berkata, ‘Apa gerangan yang terjadi antara kamu dan saudaramu, wahai Abu Sa’id?’ Abu Sa’id berkata, ‘Aku mendengar Rasulullah saw. bersabda, ‘Apabila salah seorang dari kamu shalat menghadap sutrah lalu ada seseorang yang ingin melintas di depannya hendaklah ia menahannya. Jika ia bersikeras lawanlah karena dia adalah syaitan’". (HR Bukhari dan Muslim).

Dari ‘Abdullah bin ‘Umar ra, ia berkata, “Rasulullah saw. bersabda, ‘Jika salah seorang kamu sedang shalat, maka janganlah membiarkan seorang pun melintas di depannya. Jika ia bersikeras (tetap mau melintas), maka lawanlah karena ia bersama qarin (jin yang selalu menyuruh berbuat jahat)’ (HR Muslim).

Jadi...?

Karena melewati orang shalat hukumnya tidak boleh, jadi ya tunggu saja sampai selesai. Sebab mau wudhu tidak bisa, karena tidak boleh melewati orang shalat. Mau shalat juga tidak sah, karena wudhu'nya sudah batal.

Berarti tidak ada solusinya? Tidak juga. solusi tetap ada asal kita banyak akal.

Kenapa antum tidak mengantungi botol spray untuk wudhu' saja. Bentuknya kecil berisi air putih biasa. Masuk ke dalam kantong kemeja atau kanton celana. Botol itu ada sprayer dan kalau ditekan, tetes-tetes air akan menyembur ke luar.

Semprotkan saja tetes-tetes air itu ke wajah, tangan hingga siku, kepala dan kedua kaki hingga mata kaki. Nah, antum sudah selesai berwudhu' di tempat kejadian.

Praktis, aman, mudah, dan syar'i. Sayangnya belum ada pihak-pihak yang terpikir untuk memproduksinya. Padahal realitas keseharian kita menunjukkan perlunya kita bisa berwudhu dimana saja kapan saja dalam segala keadaan.

Antum tertarik untuk memproduksinya? Jangan lupa nanti keuntungannya diinfakkan untuk dakwah di warna islam ya.

Wallahu a'lam bishshawab, wassalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,

Ahmad Sarwat, Lc
www.warnaislam.com

06 April 2009

Termasuk Syirik: Memakai Gelang, Benang dan Sejenisnya Sebagai Penangkal Mara Bahaya

Firman Allah 'Azza wa Jalla:
"Katakanlah (Muhammad kepada kaum musyrikin): Terangkanlah kepadaku tentang apa-apa yang kamu seru selain Allah. Jika Allah menghendaki untuk menimpakan suatu bahaya kepadaku, apakah mereka mampu menghilangkan bahaya itu. Atau jika Allah menghendaki untuk melimpahkan suatu rahmat kepadaku, apakah mereka mampu menahan rahmat-Nya? Katakanlah: Cukuplah Allah bagiku, hanya kepadaNya-lah bertawakal orang-orang yang berserah diri." (Az-Zumar: 38)

Imran bin Husein , menuturkan bahwa Nabi saw melihat seorang laki-laki terdapat ditangannya gelang kuningan, maka beliau bertanya:
'Apakah ini?' Orang itu menjawab: 'Penangkal sakit.' Nabipun bersabda: 'Lepaskan itu, karena dia hanya akan menambah kelemahan pada dirimu; sebab jika kamu mati sedang gelang itu masih ada pada tubuhmu, kamu tidak akan beruntung selama-lamanya.' (HR Imam Ahmad dengan sanad yang bisa diterima)

Dari riwayat Imam Ahmad pula dari 'Uqbah bin Amir dalam hadits marfu':
"Barangsiapa menggantungkan tamimah, semoga Allah tidak mengabulkan keinginannya, dan barangsiapa menggantungkan wada'ah, semoga Allah tidak memberi ketenangan pada dirinya. Disebutkan dalam riwayat lain: Barangsiapa menggantungkan tamimah, maka dia telah berbuat syirik."

Tamimah: sesuatu yang dikalungkan di leher anak-anak sebagai penangkal atau pengusir penyakit, pengaruh jahat yang disebabkan rasa dengki seseorang dan lain sebagainya.

Wada'ah: sesuatu yang diambil dari laut, menyerupai rumah kerang; menurut anggapan orang-orang jahiliyah dapat digunakan sebagai penangkal penyakit. Termasuk dalam pengertian ini adalah jimat.
Ibnu Abi Hatim meriwayatkan dari Hudzaifah, bahwa ia melihat seorang laki-laki ditangannya ada benang untuk mengobati sakit panas, maka dia putuskan benang itu seraya membaca firman Allah : "Dan sebagian besar dari mereka itu beriman kepada Allah swt, hanya saja mereka pun berbuat syirik (kepadaNya)."