31 Desember 2009

Buku dan DVD Tata Cara Shalat Nabi SAW


Al-Hamdulillah, telah diterbitkan buku "Tata Cara Shalat Nabi Saw" karya Syaikh 'Abdul-'Aziz bin 'Abdullah bin Baz (rahimahullah). Buku yang luar biasa ini memuat informasi yang lengkap tentang tata cara wudhu, shalat dan dzikir-dzikir yg penting berdasarkan Sunnah Rasulullah saw. Murah, cuma Rp 25.000 termasuk ongkos kirim. DVD juga tersedia harganya sama.
Pembayaran melalui transfer ke rek. BCA: 4730055515 a/n Debby Nasution. Setelah tranfer, konfirmasikan sms ke 0817183317, dengan menyebutkan alamat pengiriman.

30 Oktober 2009

3 target jangka pendek dari shalat

Shalat adalah ibadah paling agung setelah syahadat. Ada 3 target jangka pendek dari shalat;

Pertama:sebagai sarana istirahat jiwa (batin), sabda Nabi saw: "Arihna Bish-Shalah" ( Istirahatkanlah--diri--kita dengan shalat). Jadi, shalat adalah sarana relaksasi untuk memulihkan energi batin yang terkuras ketika berinteraksi dengan kehidupan. Itulah sebabnya shalat harus dilakukan dengan thuma'ninah.
Thuma'ninah artinya tenang, tidak ter-gesa2, seperti umumnya orang yang sedang relaksasi atau beristirahat. Dengan kata-lain, istirahat batin (jiwa) dilakukan sepenuhnya di dalam shalat, bukan setelah shalat. Inilah yang harus disadari oleh setiap muslim yang akan shalat; bahwa ia akan melakukan relaksasi batin. Dan orang yang shalat dengan thuma'ninah justru akan merasa ringan dan shalatnya pun terasa sebentar.
Imam Ibnul-Qayyim mengatakan bahwa "Orang yang relaksasi dalam shalat akan merasa ringan, bahagia dan semua beban hidupnya pun hilang". Jadi, perasaan itu semua diraih ketika shalat, bukan setelah shalat. Padahal, kita pada umumnya merasa ringan setelah shalat.Tanpa disadari kita telah menganggap shalat itu beban, sehingga setelah shalat kita merasa beban itu hilang. Inilah kekeliruan besar kita selama ini.

Target shalat yang kedua: Membangun benteng yang kuat untuk melindungi diri dari sifat2 buruk sebagaimana firman Allah: "Aqimish-Shalat, Innash-Shalata Tanha 'Anil-Fahsya-i Wal-Munkar" artinya: Tegakkanlah Shalat, sesungguhnya Shalat --dapat--mencegah dari perbuatan keji dan munkar (surah 29 ayat 45).Yang dimaksud keji adalah perangai buruk, dan yang dimaksud munkar adalah semua perbuatan yang dilarang dan dibenci Allah.
Termasuk perbuatan keji, adalah memaki, mencela, mengeluarkan ucapan kotor dll termasuk juga melakukan perbuatan zina. Ayat tersebut menyatakan secara eksplisit bahwa setiap manusia memiliki potensi berbuat keji dan munkar, tidak perduli seorang ulama atau ustadz sekalipun. Nah, shalat yang dilakukan dengan cara2 yang sesuai dengan aturannya, akan menjadi penghalang atau mencegah dari itu semua. Subhananallah.

Target ketiga: Membangun jalinan komunikasi yang intens dengan Allah; sebagaimana firman Allah: "Ya-ayyuhalladzina Amanusta'inu Bish-Shabri Wash-Shalah. Innallaha Ma'ash-Shabirin". Artinya:Hai orang2 yang beriman, minta tolonglah kalian --kepada Allah-- dengan sabar dan shalat. Sesungguhnya Allah bersama orang2 yang sabar (surah 2 ayat 153).
Nabi saw bersabda: "Innal-Mushalli Yunaji Rabbahu, Fal-Yanzhur Bima Yunaji Bihi.." Artinya: "Sesungguhnya orang yang shalat itu ber-bisik2 (berkomunikasi) dengan Rabb-nya (Allah), maka hendaklah ia perhatikan isi pembicaraannya dengan Allah" (H.R.Malik). Betapa luar-biasanya ibadah shalat ini.(Subhanallah).

21 Oktober 2009

Motivasi Dalam Bekerja

Islam sangat menghargai "pekerjaan"atau "bekerja" sabda Nabi saw:"Wa In Qamatis-Sa'ah Wa Fi Yadi Ahadikiumul-Fasilah, Fa Inis-Tatha'a An Yaghrisaha Qabla An Yaquma Fal-Yaghrisha" (Meskipun Kiamat sudah terjadi, namun di tangan kalian masih ada pohon kurma, jika ia masih sempat menanamnya sebelum berdiri, maka tanamlah !!)
Kiamat adalah kehancuran total alam semesta, namun seorang muslim diharuskan terus menyelesaikan pekerjaannya selama ia bisa melakukannya walaupun Kiamat telah datang di depan kedua matanya. Nabi saw tidak mengatakan kepada si muslim jika Kiamat datang, hendaklah ia tinggalkan pekerjaannya, lalu masuk ke dalam masjid utk berdo'a. Tidak..!! Tidak..!! Nabi saw. tdk berkata seperti itu.
Nabi saw bersabda:"Innallaha Yuhibbul-Mu'min Al-Muhtarif" (Sesungguhnya Allah sangat menyukai seorang mu'min yang bekerja keras). Bekerja keras dalam mencari nafkah adalah sikap yang terpuji.
Umar bin Khaththab berkata: "Tidak ada tempat yg paling aku sukai untuk mati (menjemput ajal) kecuali pasar, yaitu ketika aku sedang berjual-beli untuk menafkahi keluargaku" (Ihya hal.385). Ucapan Umar ini merupakan pernyataan tegas, bahwa ia ingin mati di pasar pada saat sedang melakukan jual-beli (berdagang), bukan di masjid ketika sedang shalat, berdo'a, berdzikir dsb.
Ucapan Umar merupakan acuan bagaimana sikap dan pandangan seorang mu'min seharusnya terhadap pekerjaan mencari nafkah. Umar adalah seorang sahabat Nabi saw. yang paling benar ucapannya, sehingga Nabi saw berkata: "Innallaha Wadha'al-Haqqa ' Ala Lisani 'Umar Yaqulu Bihi" (Sesungguhnya Allah meletakkan kebenaran pada lisannya Umar, dan ia mengatakan kebenaran itu). Artinya, Nabi saw melegitimasi kebenaran ucapan Umar.
Ucapan Umar ini sesungguhnya merupakan penjelasan sabda Nabi saw: "Man Sa'a 'Ala Walidaihi Fafi Sabilillah, Wa Man Sa'a 'Ala 'Iyalihi Fafi Sabilillah, Wa Man Sa'a Linafsihi Liya'iffaha, Fahuwa Fi SabilillaH"; (Siapa-saja bekerja--mencari nafkah-- untuk kedua orang tuanya, maka ia dalam Sabilillah, siapa-saja yang bekerja untuk keluarganya, maka ia juga dalam Sabilillah.
Dan siapa-saja yg bekerja utk menjaga --kehormatan--dirinya, ia pun juga dalam Sabilillah (Silsilah Hadits Shahih jilid V no.2232). Menurut hadits ini ada 3 motivasi (niat) dalam bekerja yg membuat pelakunya berada dalam Sabilillah; yaitu: untuk kedua orang tua, utk keluarga dan untuk diri sendiri.
Artinya--menurut Syaikh Al-Albani--,siapa-saja bekerja dengan 3 motivasi tersebut atau dengan salah satu dari 3 motivasi itu, maka ia sama dengan orang yang berjihad dalam Sabilillah; artinya jika mati, maka ia "mati syahid", yaitu; ia akan bebas dari siksa kubur dan pada hari Kiamat ia langsung masuk ke dalam Sorga tanpa dihisab. Subhanallah Wal-Hamdulillah

19 Oktober 2009

Do'a Minta Perlindungan Dari 7 Perkara

Nabi saw berdo'a minta perlindungan dari 7 perkara; do'a Beliau:

(1) Allahumma Inni A'udzubika Minal Hadmi (Ya Allah, aku berlindung kpd-Mu dari tertimpa bangunan). Kalimat do'a ini secara tegas menyatakan bahwa siapa-saja bisa mati tertimpa bangunan runtuh seperti yang terjadi di Sum-Bar. Dan Nabi saw adalah kekasih Allah,sebaik-baik manusia, toh Beliau masih minta perlindungan jangan sampai tertimpa bangunan runtuh.

(2) Wa A'udzubika Minat-Taraddiy (Dan aku berlindung kepada-Mu dari jatuh dari tempat yang tinggi). Misalnya jatuh dari atas gunung, atap rumah atau bersama pesawat terbang yang jatuh, atau jatuh ke dalam sumur. Pokoknya Beliau saw berlindung kepada Allah jangan sampai Beliau mati karena jatuh dari tempat yang tinggi.

(3) Wa A'udzubika Minal-Gharaqi (Dan aku berlindung kepada-Mu dari tenggelam). Misalnya tercebur dikolam air yang dalam, sungai atau lautan, termasuk juga karam bersama perahu atau kapal. Pokoknya Beliau berlindung kepada Allah, jangan sampai Beliau mati tenggelam.

(4) Wa A'udzubika Minal-Haraqi (Dan aku berlindung kpd-Mu dari terbakar). Maksudnya mati terbakar atau mengalami kebakaran seperti banyak terjadi akhir2 ini, entah disengaja atau tidak.
Wal-Harami (Dan juga pikun). Pikun adalah usia tidak produktif, dan juga menjadi beban orang-lain, karena manusia yg mengalami pikun, kembali seperti anak kecil (balita) lagi. Nabi saw berlindung kpd Allah dari kondisi seperti itu.

(5) Wa A'udzubika An-Yatakhabbathaniasy-Syaithanu 'Indal-Maut (Dan aku berlindung kepada-Mu dari intervensi setan ketika -- aku -- akan mati). Yang dimaksud intervensi setan ialah gangguan setan terhadap hati ketika kita menghadapi sakratul-maut sehingga kita gagal mencapai husnul-khatimah (kematian yang indah). Gangguan itu antara lain, meng-halang2i kita bertaubat, membuat kita merasa tidak suka (benci) pada kematian. Benci pada kematian berarti benci bertemu Allah. Nabi saw mengatakan:"Siapa yang benci bertemu Allah, maka Allah pun benci bertemu dengannya". Dan para ulama mengatakan, bahwa gangguan setan yang paling dahsyat adalah ketika manusia menghadapi sakratul-maut, karena saat itu merupakan kesempatan mereka yang terakhir untuk memperoleh teman di Neraka. (Na'udzu Billahi Min Dzalik).

(6) Wa A'udzubika An Amuta Fi Sabilika Mudbiran (Dan aku berlindung kpd-Mu jika aku mati dalam keadaan murtad dari jalan-Mu). Murtad artinya meninggalkan Islam, berpaling kepada agama yang lain. Jadi, kita minta kepada Allah agar Ia menguatkan hati dan iman kita kepada-Nya sampai ajal datang menjemput dan kita pun mati sebagai seorang muslim.

(7) Wa A'udzubika An Amuta Ladighan (Dan aku berlindung kepada-Mu jika aku mati karena disengat). Maksudnya, jangan sampai aku menemui kematian karena disengat, baik disengat ular, kalajengking dan binatang2 berbisa lainnya. (Hadits Riwayat Abu Dawud; 'Aunul-Ma'bud juz IV hal.410). Inilah do'a yg selalu dibaca oleh Nabi saw. agar terhindar dari 7 macam mara-bahaya yg bisa terjadi secara tiba2 dan menimpa siapa-saja.

Nabi saw bersabda:"Ad-Du'au Saiful-Mu'min" Artinya:"Do'a adalah senjatanya org2 yg beriman". Semoga do'a ini menjadi senjata bagi kita dalam menghadapi mara-bahaya yg datang secara tiba2 dan bisa mengenai siapa-saja. Amien Ya Rabbal-'Alamin.

06 Oktober 2009

Tuduhan Kafir

Akhir2 ini ada sebagian orang yg mengaitkan waktu terjadinya gempa di Sumbar; pukul.17.16 dengan QS 17:16; pukul.17.58 dengan QS 17:58 dsb. Padahal ayat2 tsb berkaitan dengan siksa yg menimpa orang2 kafir,dengan kata-lain mereka menuduh para korban gempa adalah orang2 kafir. Sungguh ini perbuatan fitnah yg luar-bisa. Justru mereka telah melakukan 2 pelanggaran besar, yaitu :

(1) Mentafsirkan Al-Quran se-mata-mata dengan pendapat pribadi. Menafsirkan Al-Quran dengan pendapat pribadi adalah perbuatan yg dilarang agama; Nabi saw bersabda (yg.artinya): "Siapa-saja yg menafsirkan Al-Quran dengan pendapatnya......., maka silahkan ia duduk di Neraka" (HR.Tirmidzi).

(2) Menuduh kafir terhadap orang2 muslim, padahal Nabi saw (yg.artinya): "Siapa-saja yg menuduh kafir terhadap muslim, maka tuduhan itu akan kembali kepada dirinya".
Saya menghimbau semua pihak untuk tidak terpengaruh dengan penafsiran sesat semacam itu, apalagi sampai menuduh saudara2 kita yang sedang terkena musibah di Sum-Bar dgn tuduhan yg keji, yaitu: Kafir!! Na'udzubillahi Min Dzalik. Padahal mereka tetap melaksanakan shalat dan shalat juma'at di luar masjid, karena masjid2 mereka hancur akibat gempa tsb.

(di kutip dari fb Debby Nasution)

07 September 2009

Pengertian Taqwa

“Taqwa” adalah isim dari kata “Ittiqa” yang asal katanya adalah “Waqa, Yaqi, Wiqayah” artinya: Terpelihara dan terlindung dari penyakit; terutama sekali penyakit batin, yaitu syahwat; sedangkan syahwat itu artinya: “keinginan untuk memiliki dan menguasai sesuatu”. Jadi, Taqwa itu adalah qalbu (hati) yang bersih, terpelihara dari dorongan-dorongan keinginan memiliki dan menguasai. Sebagian ‘ulama mendefinisikan “Taqwa” sebagai “Makhafatullahi Wal-’Amalu Bi Tha’atihi”; artinya: “Rasa takut kepada Allah, dan melaksanakan keta’atan kepada-Nya”. Karena hanya dengan hati yang takut dan diri yang tunduk kepada Allah, manusia bisa menjalankan segala perintah Allah serta menjauhi larangan Allah.

Orang bertaqwa atau beriman tidak steril dari kesalahan atau dosa, sebagaimana manusia pada umumnya. Hanya saja, perbedaan antara orang yang bertaqwa dan orang yang tidak bertaqwa dalam hal kesalahan (dosa), terletak pada cara menyikapinya. Orang yang bertaqwa akan menyesal bila melakukan kesalahan, dan segera sadar lalu beristighfar minta ampun kepada Allah serta bertaubat (kembali) ke-jalan yang lurus. Dan senantiasa berusaha memperbaiki diri serta bertaqarrub kepada Allah. Sedangkan orang yang tidak bertaqwa, tidak pernah merasa menyesal terhadap semua dosa atau kesalahan yang ia perbuat. Jangankan menyesal, malahan ada yang merasa bangga terhadap perbuatan dosanya. Jadi, orang bertaqwa atau beriman tidak luput dari dosa dan kesalahan.

Pengertian Sabar

Pertamakali perlu kita pahami dulu arti sabar dari segi bahasa. Al-Imam Abu Bakar Ar-Razi menjelaskan bahwa arti “Sabar” dari segi bahasa adalah: “Habsun-Nafsi ‘Anil-Jaza’i”; artinya: “Menahan diri dari keluh kesah”. Para ‘ulama mengatakan bahwa “Sabar” itu ada 3 (tiga) tingkat.

Tingkat pertama, bersabar dalam melaksanakan ketaatan kepada Allah, yaitu dalam melaksanakan perintah Allah swt.
Tingkat kedua, bersabar dalam meninggalkan larangan Allah swt.
Dan tingkat ketiga, bersabar dalam ujian dan cobaan Allah swt.

Jadi, jika seseorang sudah membiasakan atau melatih dirinya untuk bersabar dalam melaksanakan perintah Allah dan juga menjauhi larangan Allah swt, maka ia akan mampu bersabar ketika mendapat ujian dan cobaan. Artinya, dalam keadaan cobaan yang bagaimana pun, ia dapat terus melaksanakan perintah dan menjauhi larangan Allah. Tidak demikian halnya bagi orang yang tidak biasa menjalankan perintah Allah serta meninggalkan larangan Allah. Ia tidak akan mampu bersabar pada saat mendapat cobaan dari Allah swt.

Ada 3 (tiga) hal yang harus diupayakan agar memperoleh kesabaran.

Pertama: Berdo’a dengan do’a: “Rabbana Afrigh ‘Alainash-Shabra Wa Tsabbit Aqdamana Wan-Shurna ‘Alal-Qaumil-Kafirin”. Artinya: “Ya Rabb kami, curahkanlah kesabaran pada kami, dan teguhkanlah pendirian kami, dan tolonglah kami dalam menghadapi orang-orang yang kafir” (Surah Al-Baqarah (2):250).

Kedua: Berusaha dengan sungguh-sungguh untuk bersikap sabar, sebagaimana firman Allah dalam surah Ali ‘Imran (3) ayat 200: “Ya Ayyuhal-Ladzina Amanush-Biru Wa Shabiru…”. Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, bersabarlah kalian dan kuatkanlah kesabaran kalian…”. Disebutkan dalam sebuah riwayat dari Nabi saw: “Man Tashabbara Shabbarallahu ‘alaihi”. Artinya: “Siapa-saja yang berusaha untuk sabar, maka Allah akan memberikan kesabaran padanya”.

Ketiga: Saling menasehati sesama muslim untuk senantiasa bersabar, sebagaimana firman Allah dalam surah Al-’Ashr (103) ayat ke 3: “Wa Tawashau Bish-Shabri”. Artinya: “Dan mereka saling berwasiat dengan kesabaran”. Maksudnya: Menanamkan kesabaran juga harus melalui saling nasehat menasehati. Inilah 3 (tiga) langkah yang merupakan manhaj (metode) Al-Quran untuk memperoleh kesabaran.

Sebetulnya surah Al-Baqarah (2) ayat 45-46 itu turun berkaitan dengan Bani Israil atau Ahli Kitab (Yahudi dan Nasrani) yang ada pada zaman Rasulullah saw, sebagaimana disebutkan pada beberapa ayat sebelumnya, yaitu mulai dari ayat 40 s/d ayat 44; yang mengandung beberapa perintah dan larangan serta teguran Allah kepada mereka. Untuk itulah Allah memerintahkan mereka untuk minta tolong kepada-Nya dengan sabar dan shalat (ayat 45), yaitu minta tolong agar dapat melaksanakan perintah Allah dan menjauhi larangan Allah; karena hal itu merupakan perkara yang berat, kecuali bagi orang-orang yang khusyu’ (tunduk). Dan ayat 46 menjelaskan pengertian khusyu’ yang sebenarnya. Jadi, perintah sabar dan minta tolong di sini tidak berkaitan dengan musibah, akan tetapi berkaitan dengan kewajiban menjalankan perintah dan menjauhi larangan Allah Swt.

02 September 2009

Syarat Puasa agar mencapai derajat Taqwa

Allah SWT telah menegaskan tujuan puasa; yaitu LA'ALLAKUM TATTAQUN (agar kalian bertaqwa). Arti Taqwa dari segi bahasa: "Terpelihara dari berbagai penyakit". Jadi, puasa bertujuan utk memelihara qalbu dari macam-macam penyakit batin, seperti: ujub, takabur, dengki dsb. Taqwa juga berarti "Makhafatullahi Wal-'Amalu Bitha'atih" (Rasa takut kepada Allah serta melaksanakan kepatuhan kepada-Nya). Inilah tujuan puasa.

Menurut hadits-hadits yang shahih, ada 5 (lima) syarat yang harus dipenuhi oleh setiap muslim, agar puasanya mencapai hasil.

Syarat ke (1): Berpuasa dengan niat karena iman kepada Allah dan mencari hasil, sabda Nabi saw :"Man Shama Ramadhana Imanan Wah-Tisaban Ghufira Lahu Ma Taqaddama Min Dzanbihi" (Siapa-saja yang berpuasa Ramadhan karena iman dan mencari hasil (yaitu Taqwa), maka diampuni segala dosa-dosa yang dahulu ia kerjakan. (H.R. Bukhari).

Syarat ke(2): Meninggalkan ucapan dan perbuatan dusta, sabda Nabi saw:"Man Lam Yada' Qaulaz-Zur Wal-'Amala Bihi, Falaisa Lillahi Hajatun Fi An-Yada'a Tha'amahu Wa Syarabahu" (Siapa-saja yang tidak meninggalkan ucapan dan perbuatan dusta, maka tidak ada keinginan bagi Allah untuk--menerima puasanya meskipun--ia meninggalkan makan dan minumnya. H.R.Al-Bukhari) Maksudnya,meskipun ia menahan lapar dan haus, pahala puasanya sia2.

Syarat ke (3): Tidak menggunjing orang, sabda Nabi saw:"Ash-Shaumu Junnatun Ma Lam Yahriqha Bil-Ghibah" (Puasa itu adalah perisai --kehidupan--selama ia (org yg. bersangkutan) tidak merusaknya dengan menggunjing. H.R. An-Nasa-i dan Ad-Darimi). Jadi, menggunjing itu merusak perisai dan pahala Shaum. Padahal puasa itu menurut Nabi saw adalah perisai yangg dapat melindungi dalam pertempuran hidup, terutama utk 11 bulan ke depan.

Syarat ke(4): Tidak mengeluarkan kata-kata cabul,berteriak-teriak (bertengkar), sabda Nabi saw: Idza Kana Yaumu Shaumi Ahadikum Fala Yarfuts Wa La Yashkhab, Fa-in Sabbahu Ahadun Aw Qatalahu Fal-yaqul Innim-ru-un Sha-imun (Ketika ada hari berpuasa salah seorang kalian, maka janganlah ia mengucapkan kata-kata cabul dan berteriak-teriak (memaki-maki). Jika ada orang yang memakinya atau memojokkannya, katakanlah:"Aku sedang berpuasa". H.R. Al-Bukhari)

Syarat ke (5): Melakukan shalat malam pada malam-mala Ramadhan; Nabi saw bersabda: "Man Qama Ramadhana Imanan Wah-Tisaban Ghufira Lahu Ma Taqaddama Min Dzanbihi". (Siapa-saja yang berdiri --shalat di malam-malam -- Ramadhan, karena iman dan mencari hitungan, akan diampuni segala dosa yang ia lakukan pada waktu yang lalu. H.R. Al-Bukhari). Al-Hamdulillah Bini'matihi Tatimmush-Shalihat. Itulah 5 syarat mencapai target Shaum.

28 Agustus 2009

Empat Tujuan atau Motivasi atau Aliran dalam beragama

Akhir2 ini memang banyak cara2 atau metode yang dibuat-buat untuk memahami Al-Quran atau juga untuk memahami Islam, sesuai dengan niat atau tujuan dari orang yang membuat cara2 tersebut.

Pertamakali yang perlu Anda ketahui, bahwa di dunia Islam ini ada 4 (empat) tujuan atau motivasi atau aliran dalam beragama.

Pertama, "mencari ketenangan". Dan biasanya orang2 yang mencari ketenangan dalam beragama akan mencari figur2 atau tokoh yang dianggapnya bisa membuat dirinya tenteram, tenang dan nyaman. Namun, bila ternyata tokoh idolanya melakukan tindakan yang tidak sesuai dengan kemauannya, ia pun segera mencela, menghujat, memaki-maki sang tokoh idola. Ini yang terjadi pada Aa Gym, ketika dia kawin lagi (poligami).

Kedua, "orang yang cari uang". Artinya agama buat dia adalah alat untuk mencari uang. Dan biasanya orang2 yang mencari uang dengan agama, berusaha menonjol-nonjolkan dirinya sebagi ustadz, kiyai, ahli pengobatan, ahli ruqyah atau apa saja yang bisa menarik orang lain menjadipengikut. Nah, biasanya antara golongan pertama yaitu para pencari ketenangan dan golongan kedua yaitu para pencari uang terjadi titik temu dan saling memanfaatkan (simbiosis mutualis), yang satu mencari figur agar bisa mendapat ketenangan; dan yang lain menjadikan dirinya figur supaya dapat pengikut dan uang.

Ketiga, "mencari pembenaran". Artinya agama dijadikan alat untuk membenarkan segala tindakannya. Contohnya para pelaku teror bom yang beralasan dengan ayat2 jihad, memerangi Amerika-lah, orang2 kafir-lah. Ketika dikatakan kepadanya bahwa akibat teror bom itu banyak orang2 Islam yang jadi korban, maka dengan enteng dia menjawab: “Siapa suruh mereka (orang2 Islam itu) ada disitu?”. Atau mereka dengan tenang berkata: “Kami tidak berniat membunuh orang2 Islam yang ada di situ, niat kami memerangi Amerika”. Mereka lupa bahwa di dalam ajaran Islam antara niat dan tindakan harus sejalan. Orang yang korupsi dengan niat shadaqah tidak diterima sebagaimana sabda Nabi saw. “La Yaqbalullahu Shadaqatan Min Ghulul” .Artinya: “Allah tidak akan menerima shadaqah dari — harta — korupsi”.

Syaikh ‘Utsaimin (rahimahullah) telah memberi peringatan cara beragama seperti ini, yaitu “mencari pembenaran”, beliau berkata: “Laa Ta’taqid Tsumma Tastadil, Fa Tadhill..” Artinya: “Janganlah engkau meyakini sesuatu lalu mencari-cari dalil — untuk membenarkannya –; karena cara2 semacam itu akan membuat-mu tersesat”.

Ke-empat, "mencari kebenaran". Yaitu orang2 yang selalu mencari kebenaran dengan cara selalu mengkaji ilmu agama. Dalam hal ini para ‘ulama telah menetapkan sebuah prinsip: “Fa ‘Alaika An Ta’rifal-Haqqa Bi Dalilih, La Bi Qa-ilih”. Artinya: “Wajib bagi-mu untuk mengetahui kebenaran berdasarkan dalilnya, bukan berdasarkan orang yang mengatakannya”.

Atau sebagaimana dikatakan oleh Syaikh ‘Utsaimin: ” Istadil Tsumma’Taqid”. Artinya: “Kaji dalilnya lalu yakini”. Dan dengan 4 (empat) patokan ini, rasanya tidak terlalu sulit bagi Anda untuk menetapkan setiap aliran berada di jalur yang mana: Cari tenang, cari uang, cari pembenaran atau cari kebenaran?

dari tanya jawab di situs www.asiisc.net

20 Agustus 2009

Tafsir Surah 94 ayat 5: “Sesungguhnya bersama kesulitan ada kemudahan”

Assalamu’alaikum wr.wb. Bang Debby, apa makna (tafsir) dari “Maka sesungguhnya bersama kesulitan ada kemudahan - QS 94:5″. Kalau melihat terjemahannya kata “bersama” mengandung pengertian antara kesulitan dan kemudahan itu beriringan sementara selama ini menurut pemahaman umum, kemudahan itu datang setelah adanya kesulitan. Bagaimana mengenai hal ini..? Mohon penjelasan. Syukron. Wassalamu’alaikum wr.wb.Djoko Priambodo

Jawab
Wa’alaikum salam wr.wb. Sebetulnya makna ayat itu sangat dalam dan luar-biasa, dan mampu memberikan motivasi bagi siapa-saja yang memahaminya, apalagi ayat tersebut diulang 2X; Fa-inna ma’al-’usri yusran. Inna na’al-’usri yusran. Ahli Tafsir mengatakan, bahwa kata “Al-’usri” menggunakan Alif-lam ma’rifat, yaitu mengandung arti “satu kesulitan”, sedangkan kata ” Yusran” memakai isim nakirah; yaitu sesuatu yang tidak terbatas, yang berarti “beberapa kemudahan”. Jadi, arti ayat tersebut: “Maka sesungguhnya bersama satu kesulitan ada beberapa kemudahan”. Tegasnya, kemudahan itu lebih banyak dari kesulitan. Jadi, bukan setelah kesulitan ada kemudahan. Hanya saja, untuk merealisasikan hal itu kita harus melihat 2 ayat berikutnya; yaitu: “Fa idza faraghta Fanshab”, yang artinya: “Maka apabila engkau telah selesai — dari satu pekerjaan — maka tegaklah — untuk mengerjakan yang lain–”. Artinya, kita dituntut untuk mampu membuat “rencana padat karya”, tidak buang-buang waktu. Dan yang terakhir: “Wa Ila Rabbika Farghab”, yang artinya: ” Maka kepada Rabb-mu, hendaklah engkau merasa senang”. Sebagian Ahli Tafsir mengartikan ayat ini: “Hendaknya engkau selalu berharap kepada Rabb-mu”. Ini merupakan klimaks dari usaha yang terus menerus, yaitu berharap hasil usaha hanya kepada Allah dtsertai dengan sikap tawakal. Dan ada satu pelajaran berharga dari penjelasan ini semua, yaitu: Tawakal, pasrah kepada Allah hanya dilakukan setelah melaksanakan upaya yang sungguh2. (Wallahu A’lam)

11 Agustus 2009

Keadaan Para Malaikat Sebagai Makhluk Allah Yang Paling Perkasa, Dan Rasa Takut Mereka Ketika Turun Wahyu Dari Allah 'Azza Wa Jalla

Firman Allah 'azza wa jalla, (artinya):
"... Sehingga apabila telah dihilangkan rasa takut dari hati para malaikat itu, mereka bertanya: "Apakah yang telah difirmankan oleh Tuhanmu?" Mereka menjawab: "(perkataan) yang benar." Dan Dialah Yang Maha Tinggi lagi Maha Besar." (Saba': 23)

Diriwayatkan dalam Shahih Al-Bukhari, dari Abu Hurairah ra, bahwa Nabi saw bersabda:
"Apabila Allah menetapkan perintah di atas langit, para malaikat mengepakkan sayap-sayapnya karena patuh akan firman-Nya, seakan-akan firman (yang didengar) itu seperti gemerincing rantai besi (yang ditarik) di atas batu rata, hal itu memekakkan mereka (sehingga mereka jatuh pingsan karena ketakutan). Maka apabila telah dihilangkan rasa takut dari hati mereka, mereka berkata: "Apakah yang difirmankan oleh Tuhanmu?" Mereka menjawab: "(Perkataan) yang benar. Dan Dialah yang Maha Tinggi lagi Maha Besar." Ketika itulah, (syaitan-syaitan) penyadap berita (wahyu) mendengarnya. Keadaan penyadap berita itu seperti ini: sebagian mereka di atas sebagian yang lain -digambarkan Sufyan (Sufyan bin 'Uyainah bin Maimun Al Hilali, salah seorang periwayat hadits ini) dengan telapak tangannya, dengan direnggangkan dan dibuka jari-jemarinya- maka ketika penyadap berita (yang di atas) mendengar kalimat (firman) itu, disampaikanlah kepada yang dibawahnya, kemudian disampaikan lagi kepada yang dibawahnya, dan demikian seterusnya hingga disampaikan ke mulut tukang sihir atau tukang ramal. Akan tetapi kadang kala syaitan penyadap berita itu terkena syihab (meteor) sebelum sempat menyampaikan kalimat (firman) tersebut, dan kadang kala sudah sempat menyampaikannya sebelum terkena syihab; lalu dengan satu kalimat yang didengarnya itulah, tukang sihir atau tukang ramal melakukan seratus macam kebohongan. Mereka (yang mendatangi tukang sihir atau tukang ramal) mengatakan: "Bukankah dia telah memberitahu kita bahwa pada hari anu akan terjadi anu (dan itu terjadi benar)", sehingga dipercayalah tukang sihir atau tukang ramal tersebut karena satu kalimat yang telah didengar dari langit."

An-Nawwas bin Sim'an menuturkan bahwa Rasulullah saw bersabda:
"Apabila Allah hendak mewahyukan perintah-Nya, maka Dia firmankan wahyu itu, dan langit-langit bergetar dengan keras karena rasa takut kepada Allah 'Azza wa Jalla. Lalu, apabila para malaikat penghuni langit mendengar firman tersebut, pingsanlah mereka dan bersimpuh sujud kepada Allah. Maka malaikat yang pertama kali mengangkat kepalanya adalah Jibril, dan ketika itu Allah firmankan kepadanya apa yang Dia kehendaki dari wahyu-Nya. Kemudian Jibril melewati para malaikat, setiap dia melalui satu langit ditanyai oleh malaikat penghuninya: "Apakah yang telah difirmankan oleh Tuhan kita, wahai Jibril?" Jibril menjawab: "Dia firmankan yang benar. Dan Dialah yang Maha Tinggi lagi Maha Besar." Dan seluruh malaikat pun mengucapkan seperti yang diucapkan Jibril itu. Demikianlah sehingga Jibril menyampaikan wahyu tersebut sesuai yang telah diperintahkan Allah 'Azza wa Jalla kepadanya. (HR Ibnu Abi 'Ashim dalam As-Sunnah; dan Al-Baihaqi dalam Al-Asma' wa As-Shifat)

Kajian : "Dosa-Dosa Penghalang Rezeki"

Assalamualaikum Warohamatullahi Wabarokatuh

InsyaAllah tanggal 15 Agustus 2009 akan mengadakan acara Kajian Islam dengan judul:

"Dosa-Dosa Penghalang Rezeki"
Bersama Ustadz Zainal Abidin Syamsudin, Lc.
(Penulis Buku "Ya Allah, Ampuni Aku")

Tempat : Masjid Agung Sunda Kelapa Jakarta, Ruang Aula Sakinah
Waktu : Sabtu, 15 Agustus 2009
Pukul : 09:00-12:00 WIB

Penyelenggara : PengusahaMuslim.co
Biaya : Gratis, Pria dan Wanita

Informasi :
Dwi: 0816.1166.005
Fitri: 0813.1404.4911
Amin: 0813.3240.20224

Silahkan sebarkan informasi ini di milis2 lain dan di blog antum semua,
semoga menjadi amal jariah.
Jazakallahu Khairan

Wassalamualaikum

31 Juli 2009

Berani Meninggalkan Sholat?

Jawaban dari sebuah pertanyaan tentang hukum meninggalkan shalat :

Shalat adalah tiang agama sebagaimana disebutkan dalam sebuah riwayat (yang artinya): “Shalat itu tiang agama, siapa yang menjaga shalatnya, maka ia menjaga agamanya, dan siapa yang menyia-nyiakan shalatnya, maka ia menyia-nyiakan agamanya”. Demikian juga dalam sebuah hadits yang lain Nabi saw. bersabda (yang artinya): “(‘amal) Yang pertama-kali dihisab pada hari Qiyamat adalah shalat.

Jika shalatnya baik, maka seluruh ‘amal pun menjadi baik. Sebaliknya jika shalatnya buruk, maka seluruh ‘amal menjadi buruk” (H.R. An-Nasa-i). Jika seorang yang shalatnya buruk – padahal ia masih shalat — , mengakibatkan semua ‘amal yang lain menjadi buruk pada hari Qiyamat nanti, apalagi orang yang meninggalkan shalat sama-sekali, bagaimana nasibnya?

Dalam sebuah hadits Nabi saw besabda (yang artinya): “Siapa-saja yang meninggalkan shalat, maka sunggguh ia telah kufur”. Para ’ulama berbeda pendapat tentang hukum ”kufur” dalam hadits ini. Sebagian mereka mengatakan bahwa ”kufur” dalam hadits ini menegaskan bahwa orang yang meninggalkan shalat dengan sengaja, maka ia telah menjadi ”kafir”. Sebagian yang lain berpendapat, bila ia meninggalkan shalat dengan sengaja atau karena malas, akan tetapi ia mengakui bahwa shalat itu adalah kewajiban, maka ia belum menjadi kafir, namun perbuatannya itu adalah dosa besar. (Wallahu A’lam).

Masih beranikah meninggalkan shalat.....????
Djoko Priambodo

21 Juli 2009

Tiada Seorangpun Yang Berhak Disembah Selain Allah

Firman Allah 'azza wa jalla, (artinya):
"Apakah mereka mempersekutukan (Allah dengan) berhada-berhala yang tak dapat menciptakan sesuatupun? Sedangkan berhala-berhala itu sendiri buatan orang. Dan berhala-berhala itu tidak mampu memberi pertolongan kepada penyembah-penyembahnya dan kepada dirinya sendiripun berhala-berha]a itu tidak dapat memberi pertolongan." (Al-A'raf: 191-192)

"... Dan orang-orang yang kamu seru (sembah) selain Allah swt tiada mempunyai apa-apa walaupun setipis kulit ari. Jika kamu menyeru mereka, mereka tiada mendengar seruanmu; dan kalau mereka mendengar, mereka tidak dapat memperkenankan permintaanmu. Dan dihari kiamat mereka akan mengingkari kemusyirikanmu dan tidak ada yang dapat memberi keterangan kepadamu sebagai yang diberikan oleh Yang Maha Mengetahui." (Fathir: 13-14)

Diriwayatkan dalam Shahih (Al-Bukhari dan Muslim) dari Anas ra, katanya:
"Pada waktu peperangan Uhud, Nabi saw terluka di bagian kepala dan gigi taringnya. Maka beliau bersabda: "Bagaimana akan beruntung suatu kaum yang melukai Nabi mereka?"
Lalu turun ayat: "Tak ada apa-apa bagimu (untuk campur tangan) dalam urusan mereka itu. (Ali Imran: 128)."

Dan diriwayatkan dalam Shahih (Al-Bukhari), dari Ibnu 'Umar ma bahwa ia mendengar Rasulullah saw (setelah terluka di bagian kepala dan gigi taringnya sewaktu perang Uhud) berdoa tatkala mengangkat kepalanya dari ruku' pada rakaat terakhir dalam shalat Shubuh:
"Ya Allah! Laknatilah si fulan dan si fulan", yaitu seusai beliau mengucapkan: Sami'allahu liman hamidah, rabbana wa lakal hamd."
Sesudah itu Allah pun menurunkan firman-Nya:
"Tak ada hak apapun bagimu (untuk campur tangan) dalam urusan mereka itu." (Ali Imran: 128)

Dan menurut riwayat lain: "Beliau mendoakan semoga Shafwan bin Umayyah, Suhail bin 'Amr dan Al-Harits bin Hisyam dijauhkan dari rahmat Allah".
"Tak ada hak apapun bagimu (untuk campur tangan) dalam urusan mereka itu." (Ali Imran: 128)

Diriwayatkan pula dalam Shahih Al-Bukhari, dari Abu Hurairah , ia berkata: "Ketika diturunkan kepada Rasulullah saw ayat:
"Dan berilah peringatan kepada keluargamu yang terdekat." (Asy-Syu'ara': 214)
berdirilah beliau dan bersabda:
"Wahai segenap kaum Quraisy, tebuslah diri kamu sekalian (dari siksa Allah dengan memurnikan ibadah kepada-Nya). Sedikitpun aku tak berguna bagi dirimu di hadapan Allah. Wahai 'Abbas bin 'Abdul Muthallib! Sedikitpun aku tak berguna bagi dirimu di hadapan Allah. Wahai Shafiyah bibi Rasulullah ! Sedikitpun aku tak berguna bagi dirimu di hadapan Allah. Dan Wahai Fathimah puteri Muhammad! Mintalah kepadaku apa yang kamu inginkan dari hartaku. Sedikitpun aku tak berguna bagi dirimu di hadapan Allah."

Kandungan tulisan ini:
1. Tafsiran kedua ayat tersebut di atas. Kedua ayat tersebut menunjukkan kebatilan syirik mulai dari dasarnya, karena makhluk yang lemah ini, yang tidak mempunyai kekuasaan apa-apa, tak dapat dijadikan sebagai sandaran sama sekali; dan menunjukkan pula bahwa Allah-lah yang berhak dengan segala macam ibadah yang dilakukan manusia.
2. Kisah perang Uhud.
3. Rasulullah, Pemimpin para rasul, dalam shalat Shubuh telah melakukan qunut sedang para sahabat yang berada di belakang beliau mengucapkan "amin".
4. Orang-orang yang beliau doakan semoga Allah menjauhkan mereka dari rahmat-Nya adalah orang-orang kafir.
5. Orang-orang kafir itu telah berbuat hal-hal yang tidak dilakukan oleh kebanyakan orang kafir, antara lain: melukai nabi dan berambisi sekali untuk membunuh beliau serta mereka merusak tubuh para korban yang terbunuh, padahal korban-korban tersebut adalah sanak famili mereka sendiri.
6. Tentang perbuatan mereka itu, Allah telah menurunkan firman-Nya kepada beliau: "Tak ada hak apapun bagimu (untuk campur tangan) dalam urusan mereka itu."
7. Allah berfirman: "Atau Allah menerima taubat mereka, atau menyiksa mereka." (Al-Imran: 128)
8. Melakukan qunut nazilah, yaitu qunut yang dilakukan ketika berada dalam keadaan mara bahaya.
9. Menyebutkan nama-nama beserta nama-nama orang tua mereka yang didoakan terlaknat di dalam shalat, tidak membatalkan shalat.
10. Boleh melaknat terhadap orang kafir tertentu dalam qunut.
11. Kisah Rasulullah tatkala diturunkan kepada beliau ayat: "Dan berilah peringatan kepada keluargamu yang terdekat."
12. Kesungguhan Rasulullah dalam hal ini, sehingga beliau melakukan sesuatu yang menyebabkan dirinya dituduh gila; demikian halnya apabila dilakukan oleh seorang muslim pada masa sekarang ini.
13. Rasulullah memperingatkan keluarga yang paling jauh kemudian yang terdekat, dengan bersabda: "Sedikit pun aku tak berguna bagi dirimu di hadapan Allah", sampai beliau bersabda kepada puterinya sendiri: "Wahai Fathimah puteri Muhammad, sedikitpun aku tak berguna bagi dirimu di hadapan Allah."
Apabila beliau telah memaklumatkan secara terang-terangan, padahal beliau adalah Pemimpin para rasul, bahwa beliau sedikitpun tak berguna bagi diri puterinya sendiri, wanita termulia sealam ini; dan orangpun mengimani bahwa beliau tidak mengatakan kecuali yang haq, kemudian dia memperhatikan apa yang terjadi pada diri kaum khawash (yaitu orang-orang yang ditokohkan dalam masalah agama dan merasa bahwa dirinya patut diikuti, disegani dan diminta berkah doanya dewasa ini) akan tampak baginya bahwa tauhid sudah ditinggalkan dan tuntunan agama menjadi asing.

26 Juni 2009

Target Ramadhan : TAQWA

Ibadah shaum Ramadhan adalah kewajiban bagi ummat Muhammad SAW. Bagi sebagian orang, shaum di bulan Ramadhan disambut dengan biasa saja dan merasa tak perlu persiapan khusus untuk menyambutnya, tetapi tidak bagi sebagian lain yang begitu antusias menanti kedatangannya. Pertanyaannya adalah : Apakah ibadah shaum Ramadhan kita selama ini sudah mencapai target yang diharapkan? (seperti yang tercantum dalam surat Al-Baqarah ayat 183, yaitu agar kita menjadi orang-orang yang bertaqwa)

Tidak ada pilihan lain, berdasarkan ayat Allah tersebut, jelas sekali bahwa kita harus berupaya mengejar target untuk menjadi orang-orang yang bertaqwa. Dibutuhkan keberanian untuk menilai diri sendiri secara jujur apakah shaum kita sudah sesuai dengan kehendak Allah mencapai tingkat ketaqwa-an?.

Apa ciri-ciri orang yang bertaqwa?

Di dalam surat AL-BAQARAH ayat 177 Allah berfirman :
“Bukankah menghadapkan wajahmu ke arah timur dan barat itu suatu kebajikan, akan tetapi sesungguhnya kebajikan itu ialah beriman kepada Allah, hari kemudian, malaikat-malaikat, kitab-kitab, dan nabi-nabi dan memberikan harta yang dicintainya kepada kerabatnya, anak-anak yatim, orang-orang miskin, musafir (yang memerlukan pertolongan) dan orang-orang yang meminta-minta; dan (memerdekakan) hamba sahaya, mendirikan shalat dan menunaikan zakat; dan orang-orang yang menepati janjinya apabila ia berjanji, dan orang-orang yang sabar dalam kesempitan, penderitaan dan dalam peperangan. Mereka itulah orang-orang yang benar (imannya); dan mereka itulah orang-orang yang bertaqwa.”

Di dalam surat ADZ-DZAARIYAAT ayat 15 – 18, Allah berfirman :
“Sesungguhnya orang-orang yang bertakwa berada di dalam taman-taman (surga) dan di mata air-mata air, ◊ sambil mengambil apa yang diberikan kepada mereka oleh Tuhan mereka. Sesungguhnya mereka sebelum itu di dunia adalah orang-orang yang berbuat baik; ◊ Mereka sedikit sekali tidur di waktu malam; ◊ Dan di akhir-akhir malam mereka memohon ampun (kepada Allah).”

Jika ciri-ciri tersebut belum ada pada kita atau belum pada tingkat yang lebih baik, maka kita perlu kaji lebih jauh faktor penyebabnya. Kita bisa mulai dengan merenungkan hasil shaum Ramadhan kita tahun sebelumnya dengan jujur. Kita sama-sama ketahui bahwa shaum Ramadhan adalah cara untuk memproses diri setiap insan yang beriman untuk menjadi taqwa, dengan demikian kita perlu merenungi apa yang menjadi faktor penyebab tujuan shaum belum tercapai seperti yang diharapkan. Banyak yang kita perlu pertanyakan pada diri kita :

1. Apakah shaum kita hanya menahan dari yang membatalkan saja, tanpa memperhatikan kewajiban atau anjuran lainnya? Seperti bagaimana dengan shalat kita, apakah masih ada yang tertinggal ataukah hanya sekedar menjalankan (bukan mendirikan) shalat?
2. Apakah kita mampu menahan diri dari hal-hal yang dapat mengurangi nilai puasa, seperti bergunjing, tidak sabar, tidak mampu menahan amarah, mensia-siakan waktu dengan aktivitas yang tidak bernilai ibadah atau tidak mampu meninggalkan kata-kata yang sia-sia seperti mengumpat, mencela atau bersuara keras-keras dalam senda gurau?
3. Apakah shalat malam kita terjaga penuh? Sudahkah kita perbanyak sedekah? Sudahkan kita keluarkan zakat? zikir kepada Allah? Ikut memakmurkan masjid?
4. Apakah niat kita benar-benar ikhlas untuk mencapai ridha Allah? Atau sibuk menghitung-hitung pahala dari setiap kebaikan yang kita kerjakan, lalu berbangga dengan kebaikan yang hanya sedikit itu?

Masih banyak lagi yang perlu kita pertanyakan pada diri kita sendiri, termasuk diantaranya adalah apakah kita masih mampu berbaik sangka kepada Allah dari setiap ujian yang sedang kita alami?

Kita perlu mengkaji lebih dalam bagaimana shaum Ramadhan mampu menciptakan insan yang bertaqwa. Kita perlu pahami hakikat shaum di bulan Ramadhan sehingga hal-hal yang mengurangi nilai-nilai shaum dapat kita hindari, agar setiap sikap dan kata-kata kita tidaklah sia-sia. Tidak ada salahnya untuk menumbuhkan motivasi dan niat yang kuat serta tulus semata-mata karena Allah, kita mulai merenungkan apa keistimewaan dan apa ganjaran bagi mereka yang bertaqwa.

Apa keistimewaan bagi orang-orang yang bertaqwa ?

1. Tipu daya mereka (orang-orang kafir) sedikitpun tidak mendatangkan kemudharatan bagi mereka. (QS 3:120)
2. Tidak ada pertanggungjawabab sedikitpun atas dosa-dosa mereka. (QS 6:69)
3. Dilimpahkan berkah dari langit dan bumi. (QS 7:96)
4. Allah tetapkan rahmat-Nya untuk orang-orang yang bertaqwa (QS 7:156)
5. Diberi petunjuk oleh Allah dan dihapuskan segala kesalahan dan diampuni dosa-dosanya. (QS 8:29)
6. Perutusan yang terhormat dihari perhitungan. (QS 19:85)
7. Allah akan memberikan rizki. (QS 20:132)
8. Diberi keselamatan oleh Allah. (QS 41:18)
9. Dilindungi oleh Allah. (QS 45:19)
10. Diberi kemuliaan oleh Allah. (QS 49:13)
11. Diberi jalan keluar oleh Allah SWT. (QS 65:2)
12. Diberi rizki dari arah yang tidak disangka-sangka. (QS 65:3)
13. Dimudahkan urusannya oleh Allah SWT. (QS 65:4)
14. Dihapus segala kesalahannya dan dilipatgandakan pahalanya. (QS 65:5)

Apa ganjaran bagi orang-orang yang bertaqwa?

1. Surga yang dibawahnya mengalir sungai-sungai dan mereka kekal dan dikaruniai istri-istri yang disucikan dan keridhaan Allah. (QS 3:15); (QS 3:198);
2. Surga yang luasnya seluas langit dan bumi. (QS 3:133)
3. Surga (taman-taman) dan berada di dekat mata air-mata air yang mengalir, yang didalamnya penuh kesejahteraan dan aman. Lenyapnya rasa dendam dihati mereka dan merasa bersaudara duduk berhadapan. Tidak merasa lelah di dalamnya dan tidak akan dikeluarkan daripadanya. (QS 15:45 - 48)
4. Surga ‘Adn mengalir dibawahnya sungai-sungai dan di dalamnya mendapatkan segala yang dikehendaki. (QS 16:31)
5. Mendapat tempat-tempat yang tinggi, diatasnya dibangun pula tempat-tempat yang tinggi yang dibawahnya mengalir sungai-sungai. (QS 39:20)
6. Disambut oleh penjaga surga dengan seruan limpahan kesejahteraan. (QS 39:73)
7. Surga yang di dalamnya ada sungai-sungai dari air yang tiada berubah rasa dan baunya, sungai-sungai dari air susu yang tiada berubah rasanya, sungai-sungai dari khamr yang lezat rasanya bagi peminumnya dan sungai-sungai dari madu yang disaring; memperoleh segala macam buah-buahan dan ampunan. (QS 47:15)
8. Berada di taman-taman (surga) dan di mata air-mata air, sambil mengambil apa yang diberikan kepada mereka oleh Tuhan mereka. (QS 21:15-16)
9. Berada dalam surga dan penuh kenikmatan. (QS 52:17); (QS 68:34)
10. Mendapat kemenangan (yaitu) kebun-kebun dan buah anggur, dan gadis-gadis remaja yang sebaya, dan gelas-gelas yang penuh (berisi minuman), dan di dalamnya mereka tidak mendengar perkataan yang sia-sia dan tidak pula perkataan dusta. (QS 78:31- 35).

Sungguh nikmat menjadi orang yang bertaqwa. Tidakkah kita ingin memperoleh keistimewaan dan ganjaran tersebut? Melalui shaum Ramadhan orang-orang yang beriman berproses untuk menjadi taqwa untuk memperoleh keistimewaan dan ganjaran yang dijanjikan Allah SWT. Tidak ada jalan lain kecuali memperlajari, memahami dan mengamalkan hakikat ibadah shaum Ramadhan ini dengan benar sesuai dengan tuntunan Rasulullah SAW.

Proses untuk menjadi taqwa hanya dapat ditempuh melalui :
1. Pengkajian (ta’lim) dengan mengakses informasi yang bersumber pada Al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah SAW yang shahih; kemudian,
2. Pemahaman (tafhim) berdasarkan hasil pengkajian dari sumber yang dapat dipertanggung-jawabkan dan dicontohkan oleh Rasul SAW dan para sahabatnya; dan selanjutnya
3. Diamalkan dalam kehidupan sehari-hari.

Mengamalkan sesuatu, tentunya karena ada dorongan niat yang begitu kuat dan tentunya dibekali oleh ilmu yang cukup yang tidak lain diperoleh lewat pemberdayaan akal melalui pengkajian dan perenungan ayat-ayat Allah baik yang tersurat maupun yang tersirat. Bagaimana mungkin suatu amal terwujud tanpa niat atau dorongan atau motivasi? Bagaimana mungkin niat tumbuh tanpa pengetahuan? Amal hanya terjadi karena tumbuhnya niat dan niat tumbuh karena ilmu.

Pilihan ada pada diri kita masing-masing, apakah kita ingin (a) berpuasa sekedar menahan lapar, haus dan seks di waktu yang ditentukan; ataukah (b) selain (a) juga mempuasakan ucapan, penglihatan, pendengaran, perbuatan dan langkah kita; atau (c) selain itu semua juga mempuasakan hati (hawa nafsu) kita? Allah sudah tahu apa yang akan kita pilih, tetapi Allah Maha Bijaksana memberikan kebebasan pada hamba-Nya untuk menentukan pilihannya.

Mari kita Jelang Ramadhan dengan semangat baru menuju TAQWA.
Marhaban Yaa Ramadhan…


Djoko Priambodo

17 Juni 2009

SALMAN AL FARISI, pencetus ide pembuatan parit

Dia datang dari Persi, dan dari Persi pula Agama Islam nanti dianut oleh orang-orang Mu’min yang tidak sedikit jumlahnya, dari kalangan mereka muncul pribadi-pribadi istimewa yang tiada taranya, baik dalam bidang keilmuan dan keagamaan, maupun dalam ilmu pengetahuan dan keduniaan.

Peristiwa perang Khandaq, terjadi pada tahun ke 5 hijrah. Pasukan tentara kafir tidak saja terdiri dari orang-orang Quraisy, tetapi juga dari berbagai kabilah atau suku yang menganggap Islam sebagai lawan yang membahayakan mereka.

Kaum muslimin sadar keadaan mereka, ketika itulah tampil seorang tinggi jangkung dan berambut lebat, seorang yang disayangi dan amat dihormati oleh Rasulullah saw. Itulah dia Salman Al Farisi! Di Persi, Salman telah mempunyai pengalaman luas tentang taktik berperang. Maka dia mengusulkan kepada Rasulullah saw, untuk membuat khandaq atau parit disekeliling kota, untuk melindungi daerah terbuka.

Ketika pasukan Quraisy melihat adanya parit, mereka sangat terkejut dan tidak bisa berbuat banyak hingga mereka harus berkemah selam sebulan karena tidak berdaya menerobos ke dalam kota. Dan sampai suatu malam Allah Ta’ala mengirim angin topan yang menerbangkan kemah-kemah dan memporak-porandakan tentara mereka. Abu Sufyan pun menyerukan kepada pasukan untuk pulang ke kampong mereka, dalam keadaan kecewa dan putus asa serta menderita kekalahan yang sangat pahit.

Referensi: Karakteristik perihidup sahabat Rasulullah, Khalid Muh Khalid

16 Juni 2009

Termasuk Syirik: Istighatsah Atau Doa Kepada Selain Allah

Firman Allah 'Azza wa jalla (artinya):
"Dan janganlah kamu memohon kepada selain Allah, yang tidak dapat memberikan manfaat dan tidak pula mendatangkan bahaya kepadamu; jika kamu berbuat (hal itu), maka sesungguhnya kamu, dengan demikian, adalah termasuk orang-orang yang zhalim (musyrik)." (Yunus: 106)

"Dan jika Allah menimpakan kepadamu suatu bahaya, maka tidak ada yang dapat menghilangkannya selain Dia; sedang jika Allah menghendaki untukmu sesuatu kebaikan, maka tidak ada yang dapat menolak karunia-Nya, Dia memberikan kebaikan itu kepada siapa saja yang dikehendaki-Nya diantara hamba-hambaNya. Dan Dialah Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang." (Yunus: 107)

"Sesungguhnya mereka yang kamu sembah selain Allah itu tidak mampu memberikan rezeki kepadamu, maka mintalah rezeki itu kepada Allah dan sembahlah Dia (saja) serta bersyukurlah kepada-Nya. Hanya kepada-Nya lah kamu sekalian dikembalikan." (Al-Ankabut: 17)

"Dan tiada yang lebih sesat daripada orang yang memohon kepada sembahan-sembahan selain Allah, yang tiada dapat memperkenankan permohonannya sampai hari Kiamat dan sembahan-sembahan itu lalai dari (memperhatikan) permohonan mereka. Dan apabila manusia dikumpulkan (pada hari Kiamat) niscaya sembahan-sembahan itu menjadi musuh mereka dan mengingkari pemujaan mereka." (Al-Ahqaf: 5-6)

"Atau siapakah yang memperkenankan (doa) orang yang dalam kesulitan di saat ia berdoa kepada-Nya, dan yang menghilangkan kesusahan, dan yang menjadikan kamu sekalian menjadi khalifah di bumi? Adakah sembahan (yang haq) selain Allah? Amat sedikitlah kamu mengingat(Nya)." (An-Naml: 62)

Ath-Thabarani, dengan menyebutkan sanadnya, meriwayatkan bahwa: "Pernah terjadi pada zaman Nabi saw ada seorang munafik yang selalu menyakiti orang-orang mukmin, maka berkatalah salah seorang diantara mereka: "Marilah kita bersama-sama ber-istighatsah kepada Rasulullah saw supaya dihindarkan dari tindakan buruk orang munafik ini."
Ketika itu, bersabdalah Nabi saw:
"Sesungguhnya tidak boleh ber-istighatsah kepadaku, tetapi istighatsah itu seharusnya hanya kepada Allah saja."

28 Mei 2009

Thariqat Rasulullaah SAW

"Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullaah itu suri tauladan yang baik bagi kalian (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari akhirat serta ia banyak berdzikir menyebut Allah." (Surah Al-Ahzab (33) : 21)

Karena itu, semua bentuk pelaksanaan 'ibadah yang tidak sesuai dengan petunjuk Rasulullaah SAW adalah sia-sia belaka, sebagaimana sabda Beliau :

"Barang-siapa yang melakukan suatu 'amal yang tidak berdasarkan petunjuk kami, maka -- 'amal itu -- ditolak (sia-sia)". (HR. Muslim)

Al-Imam Al-Muhaddits Al-Faqih Al Hafizh Abu Ja'far Ath-Thahawi telah memberikan kesimpulan yang tegas sehubungan dengan hadits ini, beliau berkata (terjemahannya) :

"Tidak ada thariqat -- yang benar -- kecuali thariqat Rasulullaah SAW, tidak ada hakikat (kebenaran) kecuali hakikat Beliau, tidak ada syari'at kecuali syari'at Beliau, dan tidak ada 'aqidah -- yang lurus -- kecuali 'aqidah Beliau. Maka dari itu tidak ada seorang pun sesudah Beliau yang dapat berhubungan dengan Allah, mencapai Surga-Nya serta Kemuliaan-Nya melainkan dengan cara mengikuti Beliau SAW secara lahir dan batin. Jadi, siapa-siapa yang tidak mempercayai informasi-informasi Beliau, serta tidak mentaati Beliau baik dalam segi-segi yang berkaitan dengan persoalan batin maupun perbuatan-perbuatan lahir yang berkaitan dengan anggota badan, maka pastilah ia bukan seorang mu'min, apalagi dianggap sebagai wali Allah SWT, meskipun ia dapat terbang di udara, berjalan di atas air, memberi nafqah dari alam-ghaib, merubah sebatang kayu menjadi emas dan melakukan atau menghasilkan apa saja yang bersifat luar biasa (khawariqul-'adah). Ia -- dengan sikapnya meninggalkan perbuatan yang diperintah agama dan sebaliknya melakukan perbuatan yang dilarang agama -- tidak lain hanyalah seseorang yang menguasai beberapa perbuatan syaithan atau wali syaithan, yang menjauhkannya dari -- rahmat -- Allah SWT, bahkan sangat dekat dengan murka dan siksaan Allah SWT." (Syarhul-'Aqidatuth-Thahawiyyah hal. 572)".

Berdasarkan ini semua, seorang muslim tidak perlu mempelajari segala aliran thariqat yang tidak bersumber dari Rasulullaah SAW yang akhir-akhir ini mulai bermunculan kembali. Apalagi sampai menekuninya, karena hal itu adalah perbuatan sia-sia belaka.

(Djoko P, dikutip dari Dzikrullah, bagian muqadimah, karya Debby Nasution)

Semoga bermanfa'at

18 Mei 2009

Termasuk Syirik: Isti'adzah (Meminta Perlindungan) Kepada Selain Allah

Firman Allah 'Azza wa jalla (artinya):
"Dan bahwasanya ada beberapa orang laki-laki diantara manusia meminta perlindungan kepada beberapa laki-laki diantara jin, maka jin-jin itu pun menambah dosa bagi mereka." (Al-Jin: 6)

Khaulah binti Hakim menuturkan: "Aku mendengar Rasulullah saw bersabda:
Barangsiapa singgah di suatu tempat, lalu berdoa "Audzubikalimatillaahi-t-tammat min syarri maa khalaq" (aku berlindung dengan kalam Allah yang maha sempurna dari kejahatan segala makhluk yang Dia ciptakan), maka tidak ada sesuatu pun yang akan membahayakan dirinya sampai dia beranjak dari tempatnya itu." (HR Muslim)


Dalam ayat 6 dari surat Al Jin ini Allah 'Azza wa Jalla memberitahukan bahwa ada diantara manusia yang meminta perlindungan kepada jin agar merasa aman dari apa yang mereka khawatirkan akan tetapi jin itu justru menambah dosa dan rasa khawatir bagi mereka karena mereka tidak meminta perlindungan kepada Allah. Dengan demikian, ayat ini menunjukkan bahwa isti'adzah (meminta perlindungan) kepada selain Allah adalah termasuk syirik dan terlarang.

Isti'adzah kepada jin, atau selain Allah, termasuk syirik.
Hadits tersebut di atas, sebagaimana disimpulkan oleh para ulama, merupakan dalil bahwa kalam Allah bukan makhluk (ciptaan) karena disyariatkan agar isti'adzah dengannya; soalnya, andaikata makhluk niscaya dilarang karena isti'adzah dengan sesuatu makhluk adalah syirik.

Bahwa sesuatu yang bisa memberikan kemanfaatan duniawi, seperti menolak suatu kejahatan atau mendatangkan suatu keuntungan, tidak berarti bahwa hal itu tidak termasuk syirik.

11 Mei 2009

Termasuk Syirik: Bernadzar Bukan Lillah

Firman Allah 'Azza wa Jalla, (artinya):
"Mereka menunaikan nadzarnya dan takut akan suatu hari yang adzabnya merata dimana-mana." (Al-Insan: 7)
"Dan apapun yang kamu nafkahkan atau apapun yang kamu nadzarkan, sesungguhnya Allah mengetahuinya." (Al-Baqarah: 270)

Diriwayatkan dalam shahih (Al-Bukhari) dari Aisyah ra , bahwa Rasulullah saw bersabda:
"Barangsiapa bernadzar untuk mentaati Allah, maka supaya mentaatinya; akan tetapi barangsiapa bernadzar untuk bermaksiat kepada Allah, maka janganlah bermaksiat kepada-Nya (dengan melaksanakan nadzarnya itu)."

Kandungan tulisan ini:
1. Menunaikan nadzar adalah wajib.
2. Apabila sudah menjadi ketetapan bahwa nadzar adalah ibadah untuk Allah semata-mata, maka menyelewengkannya kepada selain Allah adalah syirik.
3. Dilarang untuk melaksanakan nadzar maksiat.

04 Mei 2009

Menyembelih Binatang Dengan Niat Lillah, Dilarang Dilakukan Di Tempat Yang Dipergunakan Untuk Menyembelih Binatang Bukan Lillah

Firman Allah 'Azza wa Jalla, artinya:
"Dan (di antara orang-orang munafik itu) ada orang-orang yang mendirikan masjid untuk tujuan menimbulkan kemadharatan (terhadap orang-arang mukmin), untuk kekufuran dan untuk memecah belah di kalangan orang-orang mu 'min serta untuk mempersiapkan kedatangan orang yang telah memerangi Allah dan Rasul-Nya sejak sebelum itu. Mereka niscaya bersumpah: "Kami tidak menghendaki selain kebaikan." Dan Allah menjadi saksi bahwa mereka itu sesungguhnya adalah pendusta (dalam sumpahnya). Janganlah kamu lakukan shalat di masjid itu selama-lamanya. (Sebaliknya) masjid yang didirikan atas dasar takwa semenjak hari pertamanya, (masjid inilah) yang lebih patut kamu lakukan shalat di dalamnya. Dan AIIah menyukai orang-orang yang mensucikan diri. " (Bara'ah/At-Taubah: 107-108)

Tsabit bin Adh-dhahhak ra menuturkan:
"Ada seorang yang bernadzar akan menyembelih seekor unta di Buwanah lalu bertanyalah orang itu kepada Nabi shallallahu `alaihi wasallam. Nabipun bertanya: "Apakah di tempat itu pernah ada salah satu dari berhaIa-berhala jahiliyah yang disembah ? " Para sahabat menjawab: "Tidak. " Beliau bertanya lagi: "Dan apakah di tempat itu pernah dilaksanakan salah satu perayaan hari raya mereka ? " Mereka menjawab: "Tidak." Maka Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Penuhilah nadzaumu itu. Akan tetapi tidak boleh dipenuhi sesuatu nadzar yang menyalahi hukum Allah dan nadzar perkara yang di luar hak milik seseorang. (Hadits riwayat Abu Dawud, dan isnadnya menurut persyaratan Al-Bukhari dan Muslim)

Buwanah: nama suatu tempat di sebelah selatan kota Mekkah sebelum Yalamlam; atau anak bukit sebelah Yanbu'.

01 Mei 2009

Menyembelih Binatang Dengan Niat Bukan Lillah

Firman Allah 'Azza wa Jalla (artinya):
"Katakanlah: Sesungguhnya shalatku, penyembelihanku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah Tuhan Penguasa semesta alam, tiada sekutu bagi-Nya; demikian itulah yang diperintahkan kepadaku dan aku adalah orang yang pertama berserah diri (kepada-Nya)." (Al-An'am: 162-163)
"Maka dirikanlah shalat untuk Tuhanmu dan sembelihlah kurban (untuk-Nya)." (Al-Kautsar: 2)

Ali ra berkata: Rasulullah saw telah menuturkan kepadaku empat kalimat:
"Allah melaknat orang yang menyembelih binatang dengan berniat bukan Lillah, Allah melaknat orang yang melaknat kedua orang tuanya, Allah melaknat orang yang melindungi seorang pelaku kejahatan, Allah swt melaknat orang yang merubah tanda batas tanah." (H.R. Muslim)

Thariq bin Syihab menuturkan bahwa Rasulullah saw bersabda:
"Ada seseorang masuk surga karena seekor lalat, dan ada seseorang masuk neraka karena seekor lalat pula." Para sahabat bertanya: "Bagaimana hal itu, ya Rasulullah?" Beliau menjawab: "Ada dua orang berjalan melewati suatu kaum yang mempunyai berhala, yang mana tidak seorangpun melewati berhala itu sebelum mempersembahkan kepadanya suatu kurban. Ketika itu, berkatalah mereka kepada salah seorang dari kedua orang tersebut: "Persembahkan kurban kepadanya." Dia menjawab: "Aku tidak mempunyai sesuatu yang dapat kupersembahkan kepadanya." Merekapun berkata kepadanya lagi: "Persembahkan sekalipun seekor lalat." Lalu orang itu mempersembahkan seekor lalat dan merekapun memperkenankan dia untuk meneruskan perjalanannya, maka dia masuk neraka karenanya. Kemudian berkatalah mereka kepada seorang yang lain: "Persembahkan kurban kepadanya." Dia menjawab: "Aku tidak patut mempersembahkan sesuatu kurban kepada selain Allah 'Azza wa Jalla." Kemudian mereka memenggal lehernya. Karenanya, orang ini masuk surga." (H.R. Imam Ahmad)

24 April 2009

Thâghût

Sebelum mengenal apa itu thâghût, ada baiknya kita ulas sedikit tentang makna ‘ibadah.

Didalam tafsir surat Al-Fatihah ayat 6 : “ iyyaka na’budu wa iyyaka nasta’iin ” , makna ayat ini menurut Az-Zamakhsyarî adalah “Kami mengkhususkan 'ibâdah -- hanya -- kepada-Mu, dan kami mengkhususkan minta pertolongan -- hanya --kepada-Mu”. (Lihat Tafsîr Al-Kasysyâf juz I hal. 56)

Ibâdah kepada Allâh merupakan tujuan dari penciptaan jin dan manusia : “Dan tidaklah Aku ciptakan jin dan manusia melainkan agar mereka ber'ibâdah kepada-Ku”. (Surah Adz-Dzâriyât : 56)

Arti ‘ibadah dari segi bahasa ialah :“Ta'at (patuh) dan merendahkan diri”. (Lihat Tafsîr Al-Qurthubî jilid I hal. 146)

Sedangkan ta'rîf (definisi)nya menurut syara' ialah: “Nama (isim) yang mencakup semua yang dicintai Allâh dan diridhai-Nya; dari ucapan, perbuatan, yang lahir maupun yang batin”.

Ber'ibâdah kepada Allâh harus dengan cara yang diajarkan oleh para rasûl, karena mereka diutus untuk menyeru dan memberi contoh tata-cara ber'ibâdah yang benar kepada Allâh, sebagaimana firman Allâh SWT. : Sesungguhnya Kami telah mengutus seorang rasûl dalam tiap-tiap umat -- yang menyeru -- : “Hendaklah kalian ber'ibadah kepada Allâh dan jauhilah Thâghût”.(Surah An-Nahl (16) : 36)

Kata “Thâghût” dari segi bahasa berasal dari kata “Thaghâ”; “Yathghâ”; yang artinya : “melampaui batas”. Adapun yang dimaksud “melampaui batas” di sini ialah : “Melampaui batas dalam kekufuran dan perbuatan yang buruk”. Jadi, ta'rif dari kata “Thâghût” ialah : “Setiap orang yang melampaui batas dalam kemaksiatan”.

Menurut Al-Imâm Ibnul-Qayyim (rahimahullâh), tokoh utama “Thâghût” itu ada lima :

1. Iblîs (la'natullâh 'alaih)

2.Orang yang disembah, dan ia merasa senang
Yang dimaksud di sini adalah para pendeta Yahûdi dan Nasrani yang membuat-buat peraturan (syari'at) agama yang bertentangan dengan hukum-hukum Allâh; seperti mengharamkan apa yang dihalalkan oleh Allâh dan menghalalkan apa yang diharamkan oleh Allâh, sebagaimana disebutkan dalam surah At-Taubah (9) ayat 31 : “Mereka (Yahûdi dan Nasrani) menjadikan orang-orang 'alim dan rahib-rahib (pendeta) mereka sebagai tuhan-tuhan selain Allâh”.

Apakah yang dimaksud menjadikan orang-orang 'alim dan rahid-rahib sebagai tuhan-tuhan selain Allâh? Apakah mereka sujud, menyembah kepada orang-orang 'alim dan rahib-rahib itu seperti orang-orang musyrik menyembah berhala? Al-Imâm Ibnu Katsîr telah menjelaskan masalah ini dengan sebuah hadits dari jalur Al-Imâm Ahmad, At-Tirmidzî dan Ibnu Jarîr; yaitu hadits yang mengisahkan kedatangan 'Adî bin Hâtim ke Madînah dalam rangka kunjungannya yang pertama kepada Rasûlullâh saw.

-- ketika itu 'Adî masih beragama Nasrani -- dan memakai kalung salib dari perak. Maka Rasûlullâh saw. pun membacakan ayat ini (Surah At-Taubah (9) : 31) di hadapan 'Adî bin Hâtim: “Mereka (Yahûdi dan Nasrani) menjadikan orang-orang 'alim dan rahib-rahib (pendeta) mereka sebagai tuhan-tuhan selain Allâh”.

'Adî bin Hâtim segera menyanggah dengan mengatakan : “Sesungguhnya mereka tidak pernah ber'ibâdah (menyembah) kepada orang-orang 'alim dan para pendeta”.

Maka Rasûlullâh saw. pun segera menjawab : “Oh pasti ; sesungguhnya orang-orang 'alim dan para pendeta itu mengharamkan sesuatu yang halal terhadap mereka dan menghalalkan sesuatu yang haram, maka mereka pun menta'atinya. Demikian itulah -- bentuk -- penyembahan mereka kepada orang-orang 'alim dan para pendeta itu”. (Lihat Tafsîr Ibnu Katsîr juz II hal.348)

Mereka memang tidak melakukan sujud kepada para pendeta atau orang-orang 'alim mereka, akan tetapi mereka menta'ati para pendeta dan orang-orang 'alim itu sedemikian rupa hingga hukum halal-haram bagi mereka adalah menurut aturan pendeta dan orang 'alim, bukan menurut Allâh. Inilah pengertian atau makna 'ibâdah yang sesungguhnya; yaitu : “Ta'at (patuh) dan merendahkan diri”, sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya. Dan para orang 'alim dan pendeta itu pun merasa senang dengan kondisi umat mereka seperti ini, sehingga tepatlah kalau mereka disebut “Thâghût”.

3. Orang yang mengajak manusia untuk menyembah dirinya
Yang dimaksud di sini adalah para pemimpin sekte, pemimpin spiritual dan para syaikh thariqat yang gemar menipu pengikutnya dengan mengaku-ngaku sebagai wali dsb. Dan pada umumnya, "Thâghût" dari jenis ini terdiri dari orang-orang yang tolol dan bodoh, tidak mengerti ilmu dan syari'at agama

4. Orang yang mengaku-ngaku mengetahui sesuatu dari ilmu ghaib.
Yang dimaksud di sini adalah para kahin (para normal), tukang ramal, ahli nujum, tukang sihir, santet, teluh dsb.

5. Orang yang memutuskan hukum dengan selain hukum Allâh (Al-Qur-ân)
Yang dimaksud di sini adalah para pemimpin negara, hakim, jaksa dan seluruh aparat penegak hukum, yang dalam memberikan keputusan hukum tidak berlandaskan "Kitâbullâh".

Demikian semoga bermanfa'at.

(diambil dari catatan ta'lim tafsir surat Al-Fatihah)

17 April 2009

Tidak ada dikotomi antara dunia dan akhirat

“Beramal-lah untuk duniamu seolah-olah engkau akan hidup selamanya, dan beramal-lah untuk akhiratmu seolah-olah engkau akan mati esok.”

Matan dari hadits ini seolah-olah ada dikotomi antara dunia dan akhirat, padahal keduanya seharusnya sejalan. Hadits yang populer ini termasuk dalam katagori dha’if, rujukan kita pada pendapat ahli hadits Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani dalam kitabnya Silsilatu-Ahaadiits adh-Dhaifah wal-Maudhu’ah wa Atsaruhas-Sayyi’ fil-Ummah atau dalam terjemahan Gema Insani Press 1998 : Silsilah Hadits Dha’if dan Maudhu’ Jilid 1 Hadits No. 8, beliau mengatakan :

“Sekalipun riwayat di atas sangatlah masyur dan hampir setiap orang mengutipnya, tetapi sanadnya tidak ada yang marfu’. Bahkan Syaikh Abdul Karim al-Amri tidak mencantumkannya dalam kitabnya al-Jaddul-Hatsits fi Bayani laysa bi Hadits.

Namun saya (Syekh Al-Albani-red) telah mendapatkan sumbernya dengan sanad yang mauquf (pada sahabat) yaitu diriwayatkan oleh Ibnu Qutaibah dalam kitab Gharibul-Hadits I/46, dengan matan “ihrits lidunyaaka……” dan seterusnya.

Juga saya dapatkan riwayat Ibnu Mubarak pada kitab az-Zuhud II/28 dengan sanad lain yang tidak maquf dan munqathi’ (tidak bersambung).

Ringkasnya, riwayat hadits tersebut dha’if karena adanya dua penyakit dalam sanadnya. Pertama, majhulnya (asingnya) maula (budak/pengikut) Umar bin Abdul Aziz sebagai salah satu perawi sanadnya. Kedua, dha’ifnya pencatat bagi Laits yang bernama Abdullah bin Shaleh, yang juga merupakan perawi sanad dalam riwayat ini.”

Di dalam hadits lain :

“Barang siapa yang bekerja untuk kedua orangtuanya, maka ia berada di jalan Allah, barang siapa yang bekerja untuk keluarganya, maka ia berada di jalan Allah, dan barang siapa yang bekerja untuk dirinya, yaitu agar ia terjaga (terhormat), maka ia berada di jalan Allah. Dan barang siapa yang bekerja untuk menumpuk harta, maka ia berada di jalan thaaghuut atau di jalan syaithaan.” (Dikeluarkan oleh Al-Bazzaar, Abuu Nu’aim dan Ash-Bahaanii. Lihat A-Haadiitsush-Shahiihah oleh Asy-Syaikh Al-Albaani juz V hal. 272 no. 2232).

Jelas sekali bahwa Islam memandang “bekerja” atau “berusaha” untuk memenuhi kebutuhan keluarga atau kebutuhan pribadi sebagai sebuah jihad Fi Sabiilillaah dalam bentuk yang lain. Dengan demikian barang siapa yang berkerja dengan niat salah satu dari 3 (tiga) motivasi ini, yaitu bekerja untuk menghidupi kedua orangtuanya, atau menghidupi keluarganya atau untuk memelihara kehormatannya agar tidak menjadi beban bagi orang lain, maka dia berada di jalan Allah dan siapa saja yang berada di jalan Allah lalu mati, maka surga adalah jaminannya. Hadits ini secara jelas menunjukkan bahwa antara dunia dan akhirat tidak ada dikotomi.

Catatan Djoko Priambodo

16 April 2009

Mereka Yang Mengharapkan Berkah Kepada Pohon, Batu dan Sejenisnya

Firman Allah 'Azza wa jalla:
"Maka apakah patut kamu (hai orang-orang musyrik) menganggap al Lata dan al Uzza dan Manat yang ketiga, yang paling terkemudian (sebagai anak perempuan Allah)?. Apakah (patut) untuk kamu (anak) laki-laki dan untuk Allah (anak) perempuan? Yang demikian itu tentulah suatu pembagian yang tidak adil. Itu tidak lain hanyalah nama-nama yang diada-adakan oleh kamu dan bapak-bapak kamu; Allah tidak menurunkan suatu keteranganpun untuk (menyembah)nya. Mereka tidak lain hanyalah mengikuti sangkaan-sangkaan dan apa yang diingini oleh hawa nafsu mereka; padahal sesungguhnya telah datang kepada mereka petunjuk dari Tuhan mereka." (An-Najm: 19-23)

Al-Lat, Al-'Uzza dan Manat adalah nama berhala-berhala yang dipuja orang Arab Jahiliyah dan dianggapnya sebagai anak-anak perempuan Allah.

Abu Waqid Al-Laitsi menuturkan:
"Suatu saat kami pergi keluar bersama Rasulullah saw ke Hunain, sedang kami dalam keadaan baru saja lepas dari kekafiran (masuk Islam). Ketika itu orang-orang musyrik mempunyai sebatang pohon bidara yang disebut Dzat Anwath, mereka selalu mendatanginya dan menggantungkan senjata-senjata perang mereka pada pohon itu. Tatkala kami melewati sebatang pohon bidara, kami pun berkata: "Ya Rasulullah buatkanlah untuk kami Dzat Anwath sebagaimana mereka itu mempunya Dzat Anwath. Maka Rasulullah saw bersabda:
"Allahu Akbar. Itulah tradisi (orang-orang sebelum kamu). Dan demi Allah yang diriku hanya berada di Tangan-Nya, kamu benar-benar telah mengatakan suatu perkataan seperti yang dikatakan oleh Bani Israil kepada Musa (buatkanlah untuk kami sesembahan sebagaimana mereka itu mempunyai sesembahan-sesembahan, Musa menjawab: Sungguh, kamu adalah kaum yang tidak mengerti). Pasti kamu akan mengikuti tradisi orang-orang sebelum kamu." (HR At-Tirmidzi dan dinyatakan shahih)

Ruqyah dan Tamimah

Diriwayatkan dalam Shahih Al-Bukhari dan Muslim dari Abu Basyir Al-Anshari bahwa dia pernah bersama Rasulullah saw dalam salah satu perjalanan beliau , lalu beliau mengutus seorang utusan (untuk memaklumkan):
"Supaya tidak terdapat lagi di leher unta kalung dari tali busur panah atau kalung apapun, kecuali harus diputuskan.

Ibnu Mas'ud menuturkan: Aku telah mendengar Rasulullah saw bersabda:
"Sesungguhnya ruqyah, tamimah dnn tiwalah adalah syirik." (Hadits riwayat Imam Ahmad dan Abu Dawud).

Tamimah: sesuatu yang dikalungkan di leher anak-anak untuk menangkal atau menolak 'ain. Tetapi, apabila yang dikalungkan itu berasal dari ayat-ayat suci Al-Qur' an, sebagian salaf memberikan keringanan dalam hal ini; dan sebagian yang lain tidak memperbolehkan dan memandangnya termasuk hal yang dilarang, di antaranya: Ibnu Mas'ud .

Tamimah dari ayat suci Al-Qur'an atau hadits Nabi lebih baik ditinggalkan, karena tidak ada dasarya dari syara`;bahkan hadits yang melarangnya bersifat umum, tidak seperti halnya ruqyah, ada hadits lain yang membolehkan. Di samping itu apabila dibiarkan atau diperbolehkan akan membuka peluang untuk menggunakan tamimah yang haram.

Ruqyah: yaitu yang disebut pula 'Azimah. Ini khusus diizinkan selama penggunaannya bebas dari hal-hal syirik, sebab Rasulullah shallallahu alaihi wasallam telah memberikan keringanan dalam hal ruqyah ini untuk mengobati 'ain atau sengatan kalajengking.

Ruqyah : Penyembuhan suatu penyakit dengan pembacaan ayat-ayat suci Al-Qur.an, atau doa-doa atau mantra-mantra

Tiwalah: sesuatu yang dibuat dengan anggapan bahwa hal tersebut dapat membikin seorang isteri mencintai suaminya, atau seorang suami mencintai isterinya.
Hadits marfu' diriwayatkan dari Abdullah bin 'Ukaim :
"Barangsiapa menggantungkan sesuatu barang (dengan anggapan bahwa barang itu bermanfaat atau dapat melindungi dirinya, niscaya Allah menjadikan dia selalu bergantung kepada barang tersebut. (Hadits riwayat Imam Ahmad dan At-Tirmidzi)

Imam Ahmad meriwayatkan dari Ruwaifi', katanya : "Rasulullah saw telah bersabda kepadaku:
"Hai Ruwaifi`, semoga engkau berumur panjang; untuk itu, sampaikan kepada orang-orang bahwa siapa saja yang menggulung jenggotnya atau memakai kalung dari tali busur panah atau beristinja dengan kotoran binatang ataupun dengan tulang, maka sesungguhnya Muhammad lepas dari orang itu ".

Istinja': bersuci atau membersihkan diri setelah buang hajat kecil atau besar.
Waki' meriwayatkan bahwa Sa'id bin Jubair berkata: "Barangsiapa memutus suatu Tamimah dari seseorang, maka tindakannya itu sama dengan memerdekakan seorang budak."
Dan Waki' meriwayatkan pula bahwa Ibrahim (An-Nakha'i) berkata: "Mereka (para sahabat 'Abdullah bin Mas`ud) membenci segala jenis tamimah, baik dari ayat-ayat Al-Qur'an atau bukan dari ayat-ayat Al-Qur'an.

13 April 2009

Panik, Wudhu Batal Ketika Sedang Shalat Jumat

Pertanyaan

Assalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh

Singkat saja ustadz, ada teman yang menanyakan kepada saya, apakah yang seharusnya dilakukan jika kita sedang menjadi makmum sholat jumat. Lalu wudhu kita batal, misalnya karena buang angin.

Haruskah kita kembali wudhu, sedangkan kalau kita paksakan berjalan menuju ke tempat wudhu maka kita akan harus berjalan di depan jamaah yang sedang sholat dan sudah pasti akan mengganggu barisan shaf karena kita akan memaksakan badan kita melewati sela-sela barisan shaf.

Atau bolehkah kita tayamum saja di lantai, lalu melanjutkan sholat. Ataukah sebaiknya kita ikut terus sholat mengikuti imam, terus ketika sholat jumat usai, kita wudhu lagi dan menggantinya dengan sholat dzuhur? Mohon pencerahan ustadz,

Wassalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh

catur

Jawaban

Assalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh

Buang angin saat sedang shalat Jumat memang termasuk 'musibah'. Bagaimana tidak? Kita jadi serba salah tentunya. Begini salah dan begitu salah. Jalan satu-satunya, usahakan biar jangan batal wudhu'nya. Bagaimana caranya biar tidak batal wudhu'nya, itu terserah antum. Berijtihadlah sekuat-kuatnya agar tidak sampai batal. Kalau perlu disumpel deh.

Tapi bagaimana kalau sudah disumpel masih bocor juga?

Itu yang saya bilang musibah. Karena sudah pasti kalau shalat diteruskan juga tidak sah. Tayammum? Jelas tidak sah, lha wong syarat tayammum itu tidak ada air. Padahal di masjid itu sudah pasti ada air.

Lagian mau tayammum pakai apa? Tayammum itu kan harus pakai tanah, bukan pakai karpet. Mana ada dalilnya bahwa Nabi SAW tayammum pakai karpet. Yang ada di Al-Quran, tayammum itu pakai tanah yang suci. Untuk mendapatkan tanah yang suci, antum kudu keluar masjid dulu, kan?

Kalau sudah keluar masjid, ya mendingan juga berwudhu', bukan tayammum. Silahkan baca ayat berikut ini :

فَتَيَمَّمُواْ صَعِيدًا طَيِّبًا فَامْسَحُواْ بِوُجُوهِكُمْ وَأَيْدِيكُم مِّنْهُ

Maka bertayamumlah dengan tanah yang baik (bersih); sapulah mukamu dan tanganmu dengan tanah itu.(QS. Al-Maidah : 6)

Tidak Boleh Lewat Di Depan Orang Shalat

Di sisi lain, berjalan keluar untuk berwudhu menjadi nyaris tidak mungkin, lantaran kita akan melewati shaf-shaf orang yang shalat. Dan ada larangan yang kuat untuk lewat di depan orang yang sedang shalat.

Diriwayatkan dari Busyr bin Sa’id, bahwa Zaid bin Khalid telah mengutusnya kepada Abu Juhaim untuk menanyakan hadits yang telah ia dengar dai Rasulullah saw. tentang orang yang lewat di hadapan orang shalat. Abu Juhaim berkata, “Rasulullah saw. bersabda, ‘Kalaulah orang yang lewat di hadapan orang shalat tahu hukuman yang bakal diterimanya, niscaya berdiri menunggu selama empat puluh lebih baik baginya daripada lewat di depan orang shalat,” (HR Bukhari dan Muslim).

Abu an-Nadhar berkata, “Aku tidak tahu berapakah yang beliau sebutkan, apakah empat puluh hari, empat puluh bulan atau empat puluh tahun?”

Orang Yang Shalat Harus Mencegah Orang Lain Melewatinya

Kalau kita dilarang lewat di depan orang yang sedang shalat, maka dari sisi orang yang sedang shalat pun ada perintah untuk menahan orang lain yang ingin lewat di depannya.

Abu Shalih as-Sammam berkata, “Aku melihat Abu Sa’id al-Khudri r.a. pada hari Jum’at shalat dengan menghadap sutrah di depannya. Lalu seorang pemuda dari Bani Abi Mu’aith ingin melintas di depan beliau. Abu Sa’id menahan dada pemuda itu. Pemuda itu tidak mendapatkan jalan kecuali di depannya. Ia kembali ingin melintas di depan Abu Sa’id. Beliau kembali menahannya lebih keras dari yang pertama. Lalu ia memaki Abu Sa’id. Lalu pemuda itu menemui Marwan dan melaporkan perlakuan yang diterimanya dari Abu Sa’id. Tidak berapa lama kemudian Abu Sa’id datang ketempat itu. Marwan berkata, ‘Apa gerangan yang terjadi antara kamu dan saudaramu, wahai Abu Sa’id?’ Abu Sa’id berkata, ‘Aku mendengar Rasulullah saw. bersabda, ‘Apabila salah seorang dari kamu shalat menghadap sutrah lalu ada seseorang yang ingin melintas di depannya hendaklah ia menahannya. Jika ia bersikeras lawanlah karena dia adalah syaitan’". (HR Bukhari dan Muslim).

Dari ‘Abdullah bin ‘Umar ra, ia berkata, “Rasulullah saw. bersabda, ‘Jika salah seorang kamu sedang shalat, maka janganlah membiarkan seorang pun melintas di depannya. Jika ia bersikeras (tetap mau melintas), maka lawanlah karena ia bersama qarin (jin yang selalu menyuruh berbuat jahat)’ (HR Muslim).

Jadi...?

Karena melewati orang shalat hukumnya tidak boleh, jadi ya tunggu saja sampai selesai. Sebab mau wudhu tidak bisa, karena tidak boleh melewati orang shalat. Mau shalat juga tidak sah, karena wudhu'nya sudah batal.

Berarti tidak ada solusinya? Tidak juga. solusi tetap ada asal kita banyak akal.

Kenapa antum tidak mengantungi botol spray untuk wudhu' saja. Bentuknya kecil berisi air putih biasa. Masuk ke dalam kantong kemeja atau kanton celana. Botol itu ada sprayer dan kalau ditekan, tetes-tetes air akan menyembur ke luar.

Semprotkan saja tetes-tetes air itu ke wajah, tangan hingga siku, kepala dan kedua kaki hingga mata kaki. Nah, antum sudah selesai berwudhu' di tempat kejadian.

Praktis, aman, mudah, dan syar'i. Sayangnya belum ada pihak-pihak yang terpikir untuk memproduksinya. Padahal realitas keseharian kita menunjukkan perlunya kita bisa berwudhu dimana saja kapan saja dalam segala keadaan.

Antum tertarik untuk memproduksinya? Jangan lupa nanti keuntungannya diinfakkan untuk dakwah di warna islam ya.

Wallahu a'lam bishshawab, wassalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,

Ahmad Sarwat, Lc
www.warnaislam.com

06 April 2009

Termasuk Syirik: Memakai Gelang, Benang dan Sejenisnya Sebagai Penangkal Mara Bahaya

Firman Allah 'Azza wa Jalla:
"Katakanlah (Muhammad kepada kaum musyrikin): Terangkanlah kepadaku tentang apa-apa yang kamu seru selain Allah. Jika Allah menghendaki untuk menimpakan suatu bahaya kepadaku, apakah mereka mampu menghilangkan bahaya itu. Atau jika Allah menghendaki untuk melimpahkan suatu rahmat kepadaku, apakah mereka mampu menahan rahmat-Nya? Katakanlah: Cukuplah Allah bagiku, hanya kepadaNya-lah bertawakal orang-orang yang berserah diri." (Az-Zumar: 38)

Imran bin Husein , menuturkan bahwa Nabi saw melihat seorang laki-laki terdapat ditangannya gelang kuningan, maka beliau bertanya:
'Apakah ini?' Orang itu menjawab: 'Penangkal sakit.' Nabipun bersabda: 'Lepaskan itu, karena dia hanya akan menambah kelemahan pada dirimu; sebab jika kamu mati sedang gelang itu masih ada pada tubuhmu, kamu tidak akan beruntung selama-lamanya.' (HR Imam Ahmad dengan sanad yang bisa diterima)

Dari riwayat Imam Ahmad pula dari 'Uqbah bin Amir dalam hadits marfu':
"Barangsiapa menggantungkan tamimah, semoga Allah tidak mengabulkan keinginannya, dan barangsiapa menggantungkan wada'ah, semoga Allah tidak memberi ketenangan pada dirinya. Disebutkan dalam riwayat lain: Barangsiapa menggantungkan tamimah, maka dia telah berbuat syirik."

Tamimah: sesuatu yang dikalungkan di leher anak-anak sebagai penangkal atau pengusir penyakit, pengaruh jahat yang disebabkan rasa dengki seseorang dan lain sebagainya.

Wada'ah: sesuatu yang diambil dari laut, menyerupai rumah kerang; menurut anggapan orang-orang jahiliyah dapat digunakan sebagai penangkal penyakit. Termasuk dalam pengertian ini adalah jimat.
Ibnu Abi Hatim meriwayatkan dari Hudzaifah, bahwa ia melihat seorang laki-laki ditangannya ada benang untuk mengobati sakit panas, maka dia putuskan benang itu seraya membaca firman Allah : "Dan sebagian besar dari mereka itu beriman kepada Allah swt, hanya saja mereka pun berbuat syirik (kepadaNya)."

30 Maret 2009

Syirik

Syirik adalah perbuatan dosa yang harus ditakuti dan dijauhi.
1. Riya' termasuk perbuatan syirik.
2. Riya' termasuk syirik ashghar (kecil).

Syirik ada 2 macam:
a. Syirik akbar (besar) yaitu memperlakukan sesuatu selain Allah sama dengan Allah, dalam hal-hal yang merupakan hak khusus bagi-Nya.
b. Syirik ashghar (kecil) yaitu perbuatan yang disebutkan dalam Al Qur'an dan Hadits sebagai suatu syirik tetapi belum sampai ke tingkat syirik akbar.

Adapun perbedaan antara keduanya:
c. Syirik akbar menghapuskan seluruh amal, sedangkan syirik ashghar hanya menghapuskan amal yang disertainya saja.
d. Syirik akbar mengakibatkan pelakunya kekal di dalam neraka, sedang syirik ashghar tidak sampai demikian.
e. Syirik akbar menjadikan pelakunya keluar dari Islam, sedang syirik ashghar tidak menyebabkan keluar dari Islam.

3. Syirik ashghar ini adalah perbuatan dosa yang paling dikhawatirkan oleh Rasulullah terhadap para sahabat, padahal mereka ini adalah orang-orang shaleh.
4. Surga dan neraka adalah dekat.
5. Dekatnya surga dan neraka telah sama-sama disebutkan dalam satu hadits.
6. Barangsiapa mati dalam keadaan tidak berbuat syirik kepada Allah sedikitpun pasti masuk surga. Tetapi barangsiapa mati dalam keadaan berbuat sesuatu syirik kepada-Nya, pasti masuk neraka, sekalipun dia termasuk orang yang paling banyak ibadahnya.
7. Masalah penting yaitu: bahwa Nabi Ibrahim memohon kepada Allah untuk diri dan anak cucunya supaya dijauhkan dari perbuatan menyembah berhala.
8. Nabi Ibrahim mengambil pelajaran dari keadaan sebagian besar manusia, yaitu bahwa mereka itu adalah sebagaimana kata beliau: "Tuhanku! Sesungguhnya berhala-berhala itu telah menyesatkan banyak manusia..." (Ibrahim: 36)
9. Tafsiran kalimat Laa ilaha illa Allah, sebagaimana dalam hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari, yaitu: pembersihan diri dari syirik dan pemurnian ibadah kepada Allah.
10. Keutamaan orang yang dirinya bersih dari syirik.

18 Maret 2009

Tidak Memahami Makna Laa Ilaaha Illallah Dengan Pemahaman Yang Baik

Oleh: Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani

Mayoritas kaum muslimin sekarang ini yang telah bersaksi Laa Ilaaha Illallah (Tidak ada sesembahan yang berhak diibadahi kecuali Allah) tidak memahami makna Laa Ilaaha Illallah dengan baik, bahkan barangkali mereka memahami maknanya dengan pemahaman yang terbalik sama sekali. Saya akan memberikan suatu contoh untuk hal itu : Sebagian di antara mereka (Dia adalah Syaikh Muhammad Al-Hasyimi, salah seorang tokoh sufi dari thariqah Asy-Syadziliyyah di Suriah kira-kira 50 tahun yang lalu) menulis suatu risalah tentang makna Laa Ilaaha Illallah, dan menafsirkan dengan "Tidak ada Rabb (pencipta dan pengatur) kecuali Allah" !! Orang-orang musyrik pun memahami makna seperti itu, tetapi keimanan mereka terhadap makna tersebut tidaklah bermanfaat bagi mereka. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman :
"Artinya : Dan sesungguhnya jika kamu tanyakan kepada mereka : 'Siapakah yang menciptakan langit dan bumi ?' Tentu mereka akan menjawab : 'Allah'. " [Luqman : 25].
Orang-orang musyrik itu beriman bahwa alam semesta ini memiliki Pencipta yang tidak ada sekutu bagi-Nya, tetapi mereka menjadikan tandingan-tandingan bersama Allah dan sekutu-sekutu dalam beribadah kepada-Nya. Mereka beriman bahwa Rabb (pengatur dan pencipta) adalah satu (esa), tetapi mereka meyakini bahwa sesembahan itu banyak. Oleh karena itu, Allah membantah keyakinan ini yang disebut dengan ibadah kepada selain Allah di samping beribadah kepada Allah melalui firman-Nya :
"Artinya :Dan orang-orang yang mengambil perlindungan selain Allah (berkata) : 'Kami tidak menyembah mereka melainkan supaya mereka mendekatkan kami kepada Allah dengan sedekat-dekatnya'". [Az-Zumar : 3].
Kaum musyrikin dahulu mengetahui bahwa ucapan Laa Ilaaha Illallah mengharuskannya untuk berlepas diri dari peribadatan kepada selain Allah Azza wa Jalla. Adapun mayoritas kaum muslimin sekarang ini, menafsirkan kalimat thayyibah Laa Ilaaha Illallah ini dengan : "Tidak ada Rabb (pencipta dan pengatur) kecuali Allah". Padahal apabila seorang muslim mengucapkan Laa Ilaaha Illallah dan dia beribadah kepada selain Allah disamping beribadah kepada Allah, maka dia dan orang-orang musyrik adalah sama secara aqidah, meskipun secara lahiriah adalah Islam, karena dia mengucapkan lafazh Laa Ilaaha Illallah, sehingga dengan ungkapan ini dia adalah seorang muslim secara lafazh dan secara lahir. Dan ini termasuk kewajiban kita semua sebagai da'i Islam untuk menda'wahkan tauhid dan menegakkan hujjah kepada orang-orang yang tidak mengetahui makna Laa Ilaaha Illallah dimana mereka terjerumus kepada apa-apa yang menyalahi Laa Ilaaha Illallah. Berbeda dengan orang-orang musyrik, karena dia enggan mengucapkan Laa Ilaaha Illallah, sehingga dia bukanlah seorang muslim secara lahir maupun batin. Adapun mayoritas kaum muslimin sekarang ini, mereka orang-orang muslim, karena Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda :
"Artinya : Apabila mereka mengucapkan (Laa Ilaaha Illallah), maka kehormatan dan harta mereka terjaga dariku kecuali dengan haknya, dan perhitungan mereka atas Allah Subhanahu wa Ta'ala". ]Hadits Shahih diriwayatkan oleh Al-Bukhari (25) dan pada tempat lainnya, dan Muslim (22), dan selainnya, dari hadits Ibnu Umar Radhiyallahu anhum]
Oleh karena itu, saya mengatakan suatu ucapan yang jarang terlontar dariku, yaitu : Sesungguhnya kenyataan mayoritas kaum muslimin sekarang ini adalah lebih buruk daripada keadaan orang Arab secara umum pada masa jahiliyah yang pertama, dari sisi kesalahpahaman terhadap makan kalimat tahyyibah ini, karena orang-orang musyrik Arab dahulu memahami makna Laa Ilaaha Illallah, tetapi mereka tidak mengimaninya. Sedangkan mayoritas kaum muslimin sekarang ini mereka mengatakan sesuatu yang tidak mereka yakini, mereka mengucapkan : 'Laa Ilaaha Illallah' tetapi mereka tidak mengimani -dengan sebenarnya- maknanya. (Mereka menyembah kubur, menyembelih kurban untuk selain Allah, berdo'a kepada orang-orang yang telah mati, ini adalah kenyataan dan hakikat dari apa-apa yang diyakini oleh orang-orang syi'ah rafidhah, shufiyah, dan para pengikut thariqah lainnya. berhaji ke tempat pekuburan dan tempat kesyirikan dan thawaf di sekitarnya serta beristighatsah (meminta tolong) kepada orang-orang shalih dan bersumpah dengan (nama) orang-orang shalih adalah merupakan keyakinan-keyakinan yang mereka pegang dengan kuat).

Oleh karena itu, saya meyakini bahwa kewajiban pertama atas da'i kaum muslimin yang sebenarnya adalah agar mereka menyeru seputar kalimat tauhid ini dan menjelaskan maknanya secara ringkas. Kemudian dengan merinci konsekuensi-kosekuensi kalimat thayyibah ini dengan mengikhlaskan ibadah dan semua macamnya untuk Allah, karena ketika Allah Azza wa Jalla menceritakan perkataan kaum musyrikin, yaitu : "Artinya : Kami tidak menyembah mereka melainkan supaya mereka mendekatkan kami kepada Allah dengan sedekat-dekatnya". [Az-Zumar : 3]
Allah menjadikan setiap ibadah yang ditujukan bagi selain Allah sebagai kekufuran terhadap kalimat thayyibah Laa Ilaaha Illallah.

Oleh karena itu, pada hari ini saya berkata bahwa tidak ada faedahnya sama sekali upaya mengumpulkan dan menyatukan kaum muslimin dalam satu wadah, kemudian membiarkan mereka dalam kesesatan mereka tanpa memahami kalimat thayyibah ini, yang demikian ini tidak bermanfaat bagi mereka di dunia apalagi di akhirat !.

Kami mengetahui sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam
"Artinya : Barangsiapa mati dan dia bersaksi bahwa tidak ada sesembahan yang berhak diibadahi kecuali Allah dengan ikhlas dari hatinya, maka Allah mengharamkan badannya dari Neraka" dalam riwayat lain : "Maka dia akan masuk Surga". [Hadits Shahih, diriwayatkan oleh Ahmad (5/236), Ibnu Hibban (4) dalam Zawa'id dan dishahihkan oleh Al-Albani dalam Ash-Shahihah (3355)].
Maka mungkin saja orang yang mengucapkan kalimat thayyibah dengan ikhlas dijamin masuk Surga. meskipun setelah mengucapkannya menerima adzab terlebih dahulu. Orang yang meyakini keyakinan yang benar terhadap kalimat thayyibah ini, maka mungkin saja dia diadzab berdasarkan perbuatan maksiat dan dosa yang dilakukannya, tetapi pada akhirnya tempat kembalinya adalah Surga.

Dan sebaliknya barangsiapa mengucapkan kalimat tauhid ini dengan lisannya, sehingga iman belum masuk kedalam hatinya, maka hal itu tidak memberinya manfaat apapun di akhirat, meskipun kadang-kadang memberinya manfaat di dunia berupa kesalamatan dari diperangi dan dibunuh, apabila dia hidup di bawah naungan orang-orang muslim yang memiliki kekuatan dan kekuasaan. Adapun di akhirat, maka tidaklah memberinya manfaat sedikitpun kecuali apabila :
Dia mengucapkan dan memahami maknanya.
Dia meyakini makna tersebut, karena pemahaman semata tidaklah cukup kecuali harus dibarengi keimanan terhadap apa yang dipahaminya.
Saya menduga bahwa kebanyakan manusia lalai dari masalah ini ! Yaitu mereka menduga bahwa pemahaman tidak harus diiringi dengan keimanan. Padahal sebenarnya masing-masing dari dua hal tersebut (yaitu pemahaman dan keimanan) harus beriringan satu sama lainnya sehingga dia menjadi seorang mukmin. Hal itu karena kebanyakan ahli kitab dari kalangan Yahudi dan Nashrani mengetahui bahwa Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam adalah seorang rasul yang benar dalam pengakuannya sebagai seorang rasul dan nabi, tetapi pengetahuan mereka tersebut yang Allah Azza wa Jalla telah mepersaksikannya dalam firman-Nya.
"Artinya : Mereka (ahlul kitab dari kalangan Yahudi dan Nashara) mengenalnya (Muhammad) seperti mereka mengenal anak-anaknya sendiri ...." [Al-Baqarah : 146 & Al-An'am : 20]
Walaupun begitu, pengetahuan itu tidak bermanfaat bagi mereka sedikitpun ! Mengapa ? Karena mereka tidak membenarkan apa-apa yang diakui oleh beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam berupa nubuwah (kenabian) dan risalah (kerasulan). Oleh karena itu keimanan harus didahului dengan ma'rifah (pengetahuan). Dan tidaklah cukup pengetahuan semata-mata, tanpa diiringi dengan keimanan dan ketundukan, karena Al-Maula Jalla Wa' ala berfirman dalam Al-Qur'an :
"Artinya : Maka ketahuilah bahwa tidak ada sesembahan yang berhak diibadahi kecuali Allah dan mohon ampunlah atas dosa mu ......." [Muhammad : 19].
Berdasarkan hal itu, apabila seorang muslim mengucapkan Laa Ilaaha Illallah dengan lisannya, maka dia harus menyertakannya dengan pengetahuan terhadap kalimat thayyibah tersebut secara ringkas kemudian secara rinci. Sehingga apabila dia mengetahui, membenarkan dan beriman, maka dia layak untuk mendapatkan keutamaan-keutamaan sebagaimana yang dimaksud dalam hadits-hadits yang telah saya sebutkan tadi, diantaranya adalah sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam sebagai isyarat secara rinci :
"Artinya : Barangsiapa mengucapkan Laa Ilaaha Illallah, maka bermanfaat baginya meskipun satu hari dari masanya". [Hadits Shahih. Dishahihkan oleh Al-Albani dalam As-Silsilah Ash-Shahihah (1932) dan beliau menyandarkan kepada Sa'id Al-A'rabi dalam Mu'jamnya, dan Abu Nu'aim dalam Al-Hidayah (5/46) dan Thabrani dalam Mu'jam Al-Ausath (6533), dan daia dari Hadits Abu Hurairah Radhiyallahu 'Anhu]
Yaitu : Kalimat thayyibah ini -setelah mengetahui maknanya- akan menjadi penyelamat baginya dari kekekalan di Neraka. Hal ini saya ulang-ulang agar tertancap kokoh di benak kita.

Bisa jadi, dari tidak melakukan konsekuensi-konsekuensi kalimat thayyibah ini berupa penyempurnaan dangan amal shalih dan meninggalkan segala maksiat, akan tetapi dia selamat dari syirik besar dan dia telah menunaikan apa-apa yang dituntut dan diharuskan oleh syarat-syarat iman berupa amal-amal hati -dan amal-amal zhahir/lahir, menurut ijtihad sebagian ahli ilmu, dalam hal ini terdapat perincian yang bukan disini tempat untuk membahasnya- (Ini adalah aqidah Salafus Shalih, dan ini merupakan batas pemisah kita dengan khawarij dan murji'ah). Da dia berada dibawah kehendak Allah, bisa jadi dia masuk ke Neraka terlebih dahulu sebagai balasan dari kemaksiatan-kemaksiatan yang dia lakukan atau kewajiban-kewajiban yang ia lalaikan, kemudian kalimat thayyibah ini menyelamtkan dia atau Allah memaafkannya dengan karunia dan kemuliaan-Nya. Inilah makna sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam yaitu :

Artinya : Barangsiapa mengucapkan Laa Ilaaha Illallah, maka ucapannya ini akan memberi manfaat baginya meskipun satu hari dari masanya". [Hadits Shahih. Dishahihkan oleh Al-Albani dalam As-Silsilah Ash-Shahihah (1932) dan beliau menyandarkan kepada Sa'id Al-A'rabi dalam Mu'jamnya, dan Abu Nu'aim dalam Al-Hidayah (5/46) dan Thabrani dalam Mu'jam Al-Ausath (6533), dan daia dari Hadits Abu Hurairah Radhiyallahu 'Anhu]
Adapun orang yang mengucapkan dengan lisannya tetapi tidak memahami maknanya, atau memahami maknanya tetapi tidak mengimani makna tersebut, maka ucapan Laa Ilaaha Illaallah-nya tidak memberinya manfaat di akhirat, meskipun di dunia ucapan tersebut masih bermanfaat apabila ia hidup di bawah naungan hukum Islam.

Oleh karena itu, harus ada upaya untuk memfokuskan da'wah tauhid kepada semua lapisan masyarakat atau kelompok Islam yang sedang berusaha secara hakiki dan bersungguh-sungguh untuk mencapai apa yang diserukan oleh seluruh atau kebanyakan kelompok-kelompok Islam, yaitu merealisasikan masyarakat yang Islami dan mendirikan negara Islam yang menegakkan hukum Islam di seluruh pelosok bumi manapun yang tidak berhukum dengan hukum yang Allah turunkan.

Kelompok-kelompok tersebut tidak mungkin merealisasikan tujuan yang telah mereka sepakati dan mereka usahakan dengan sungguh-sungguh, kecuali memulainya dengan apa-apa yang telah dimulai oleh Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, agar tujuan tersebut bisa menjadi kenyataan.

[Disalin dari buku At-Tauhid Awwalan Ya Du'atal Islam, edisi Indonesia TAUHID, Prioritas Pertama dan Utama, oleh Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani, hal 16-26, terbitan Darul Haq, penerjemah Fariq Gasim Anuz]

17 Maret 2009

Tafsir "Tauhid" Dan Syahadat "Laa ilaha illa Allah"

Firman Allah 'Azza wa jalla:
"Orang-orang yang diseru oleh kaum musyrikin itu, mereka sendiri senantiasa berusaha untuk mendekatkan diri kepada Tuhan mereka, siapa diantara mereka yang lebih dekat (kepadaNya), dan mereka mengharapkan rahmat-Nya serta takut akan siksa-Nya, sesungguhnya siksa Tuhanmu adalah sesuatu yang (harus) ditakuti." (Al-Isra': 57)
"Dan (ingatlah) ketika Ibrahim berkata kepada bapak dan kaumnya; Sesungguhnya aku melepaskan diri dari segala apa yang kamu sembah, kecuali Allah saja Tuhan yang telah menciptakan aku, karena hanya Dia yang akan menunjukiku (kepada jalan kebenaran)." (Az-Zukhruf: 26-27)

"Mereka, menjadikan orang-orang alim dan rahib-rahib mereka sebagai tuhan-tuhan selain Allah, dan (mereka mempertuhankan pula) Al-Masih putera Maryam, padahal mereka itu tiada lain hanyalah diperintahkan untuk beribadah kepada Satu Sembahan, tiada Sembahan yang haq selain Dia. Maha Suci Allah dari perbuatan syirik mereka." (At-Taubah: 31)

"Dan diantara manusia ada orang-orang yang menyembah tandingan-tandingan selain Allah, yaitu dengan mencintainya sebagaimana mereka mencintai Allah. Adapun orang-orang yang beriman amat sangat cintanya kepada Allah..." (Al-Baqarah: 165)

Diriwayatkan dalam Shahih (Muslim), bahwa Nabi saw bersabda:
"Barangsiapa mengucapkan Laa ilaha illa Allah dan mengingkari sesembahan selain Allah, haramlah harta dan darahnya, sedang hisab (perhitungan)nya adalah terserah kepada Allah 'Azza wa Jalla."

12 Maret 2009

Da'wah Kepada Syahadat "Laa ilaha illa Allah"

Firman Allah 'Azza wa jalla:
"Katakanlah: Inilah jalan (agama)ku, aku dan orang-orang yang mengikutiku mengajak (kamu) hanya kepada Allah dengan penuh pengertian dan keyakinan. Maha Suci Allah, dan aku tiada termasuk orang-orang yang berbuat syirik (kepada-Nya)." (Yusuf: 108)

Ibnu 'Abbas ma menuturkan bahwa Rasulullah saw tatkala mengutus Mu'adz ke Yaman, bersabdalah beliau kepadanya:
"Sungguh, kamu akan mendatangi kaum Ahli Kitab, maka hendaklah pertama kali da'wah yang kamu sampaikan kepada mereka ialah syahadat Laa ilaha illa Allah - dalam riwayat lain disebutkan: "Supaya mereka mentauhidkan Allah" - Jika mereka telah mematuhi apa yang kamu da'wahkan itu, maka sampaikanlah kepada mereka bahwa Allah swt mewajibkan shalat lima waktu sehari semalam. Jika mereka telah mematuhi apa yang kamu sampaikan itu, maka sampaikanlah kepada mereka bahwa Allah swt mewajibkan kepada mereka zakat yang diambil dari orang-orang kaya diantara mereka untuk diberikan kepada orang-orang fakir. Dan jika mereka telah mematuhi apa yang kamu sampaikan, maka jauhkanlah dirimu dari harta pilihan mereka, dan jagalah dirimu dari do'a orang mazhlum (teraniaya), karena sesungguhnya tiada suatu tabir penghalang pun antara doanya dan Allah." (H.R. Bukhari dan Muslim)

Al-Bukhari dan Muslim meriwayatkan pula dari Sahl bin Sa'ad , bahwa Rasulullah saw semasa perang Khaibar bersabda:
"Demi Allah, niscaya akan kuserahkan bendera (komando perang) ini besok hari kepada orang yang mencintai Allah serta Rasul-Nya dan dia dicintai Allah serta Rasul-Nya; semoga Allah menganugerahkan kemenangan melalui tangannya." Maka semalam suntuk orang-orang pun memperbincangkan siapakah diantara mereka yang akan diserahi bendera itu. Pagi harinya mereka mendatangi Rasulullah masing-masing mengharap untuk diserahi bendera tersebut. Lalu bersabdalah beliau: "Dimanakah 'Ali bin Abu Thalib?" Dijawab: "Dia sakit kedua belah matanya." Mereka pun mengutus seorang utusan kepadanya dan didatangkanlah dia. Lantas Nabi meludah pada kedua belah matanya dan berdoa untuknya, seketika itu dia sembuh seakan-akan tidak pernah terkena penyakit. Lalu Rasulullah menyerahkan kepadanya bendera dan bersabda: "Melangkahlah ke depan dengan tenang sampai kamu tiba di tempat mereka, kemudian ajaklah mereka kepada Islam dan sampaikanlah kepada mereka hak Allah dalam Islam yang wajib mereka laksanakan. Demi Allah, bahwa Allah memberi petunjuk satu orang lewat dirimu, benar-benar lebih baik bagimu daripada unta-unta merah."

Unta-unta merah adalah harta kekayaan yang sangat berharga dan menjadi kebanggaan orang Arab pada masa itu.

10 Maret 2009

Takut Kepada Syirik

Firman Allah 'Azza wa Jalla:
"Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, tetapi Dia mengampuni segala dosa selain (syirik) itu bagi siapapun yang dikehendaki-Nya." (An-Nisaa': 116)
Al-Khalil Ibrahim 'alaihissalam berkata:
"...dan jauhkanlah aku dan anak cucuku dari (perbuatan) menyembah berhala-berhala." (Ibrahim: 35)

Diriwayatkan dalam satu hadits, Rasulullah saw bersabda:
"Sesuatu yang paling aku khawatirkan kepada kamu sekalian adalah perbuatan syirik kecil. Ketika ditanya tentang maksudnya, beliau menjawab: Yaitu riya'." (HR Ahmad, Ath-Thabarani, Ibnu Abid-Dunya dan Al Baihaqi dalam kitab Az-Zuhd)
Diriwayatkan dari Ibnu Mas'ud bahwa Rasulullah bersabda:
"Barang siapa mati dalam keadaan menyembah sesembahan selain Allah, masuklah ia ke dalam neraka." (HR Bukhari)

Muslim meriwayatkan dari Jabir bahwa Rasulullah saw bersabda:
"Barang siapa menemui Allah (mati) dalam keadaan tidak berbuat syirik kepada-Nya sedikit pun, pasti masuk surga, tetapi barang siapa menemui-Nya (mati) dalam keadaan berbuat sesuatu syirik kepada-Nya, pasti masuk neraka."

03 Maret 2009

Barang Siapa yang Mengamalkan Tauhid dengan Semurni-murninya Pasti Masuk Surga Tanpa Hisab

Firman Allah SWT, yang artinya :
"Sesungguhnya Ibrahim adalah seorang imam yang menjadi teladan, senantiasa patuh kepada Allah dan menghadapkan diri (hanya kepada-Nya); dan sama sekali ia tidak pernah termasuk orang-orang yang berbuat syirik (kepada Allah)." (An-Nahl: 120)
"Dan orang-orang yang mereka itu tidak berbuat syirik (sedikitpun) kepada Tuhan mereka." (Al- Mu'minun: 59)

Hushain bin 'Abdurrahman menuturkan:
"Suatu ketika aku berada di sisi Sa'id bin Jubair, lalu ia bertanya: Siapakah diantara kalian melihat bintang yang jatuh semalam? Aku pun menjawab: Aku. Kemudian kataku: Ketahuilah, sesungguhnya aku ketika itu tidak dalam keadaan shalat, tetapi terkena sengatan kalajengking. Ia bertanya: Lalu apa yang kamu perbuat? Jawabku: Aku meminta ruqyah. Ia bertanya lagi: Apakah yang mendorong dirimu untuk melakukan hal itu? Jawabku: Yaitu: sebuah hadits yang dituturkan oleh Asy-Sya'bi kepada kami. Ia bertanya lagi: Dan apakah hadits yang dituturkan kepadamu itu? Kataku: Dia menuturkan kepada kami hadits dari Buraidah ibn Al-Hushaib:
"Tidak boleh ruqyah kecuali karena 'ain atau terkena sengatan..."

Sa'id pun berkata: Sungguh telah berbuat baik orang yang mengamalkan apa yang telah didengarnya; tetapi Ibnu 'Abbas menuturkan kepada kami hadits Rasulullah saw bahwa beliau bersabda:
"Telah dipertunjukkan kepadaku umat-umat. Aku melihat seorang nabi, bersamanya beberapa orang; dan seorang nabi, bersamanya satu dan dua orang; serta seorang nabi, dan tak seorangpun bersamanya. Tiba-tiba ditampakkan kepadaku suatu jumlah yang banyak; akupun mengira bahwa mereka itu adalah umatku, tetapi dikatakan kepadaku: Ini adalah Musa bersama kaumnya. Lalu tiba-tiba aku melihat lagi suatu jumlah besar pula, maka dikatakan kepadaku: ini adalah umatmu, dan bersama mereka ada tujuh puluh ribu orang yang mereka itu masuk surga tanpa hisab dan tanpa adzab. Kemudian bangkitlah beliau dan segera memasuki rumahnya. Maka orang-orangpun memperbincangkan tentang siapakah mereka itu. Ada diantara mereka yang berkata: Mungkin saja mereka itu yang menjadi sahabat Rasulullah . Ada lagi yang berkata: Mungkin saja mereka itu orang-orang yang dilahirkan dalam lingkungan Islam, sehingga tidak pernah mereka berbuat syirik sedikitpun kepada Allah. Dan mereka menyebutkan lagi beberapa perkara. Ketika Rasulullah keluar, mereka memberitahukan hal tersebut kepada beliau. Maka beliau bersabda: Mereka itu adalah orang-orang yang tidak meminta ruqyah, tidak meminta supaya lukanya ditempel dengan besi yang dipanaskan, tidak melakukan tathayyur dan mereka pun bertawakkal kepada Tuhan mereka. Lalu berdirilah 'Ukasyah bin Mihshan dan berkata: Mohonkanlah kepada Allah agar aku termasuk golongan mereka. Beliau menjawab: kamu termasuk golongan mereka. Kemudian berdirilah seorang yang lain dan berkata: Mohonkanlah kepada Allah agar aku juga termasuk golongan mereka. Beliau menjawab: Kamu sudah kedahuluan 'Ukasyah." (HR Bukhari dan Muslim)

Ruqyah, maksudnya disini ialah penyembuhan dengan pembacaan ayat-ayat Al Qur'an atau do'a-do'a.

'Ain ialah pengaruh jahat yang disebabkan oleh rasa dengki seseorang melalui matanya; disebut juga kena mata.

Tathayyur ialah merasa pesimis, merasa bernasib sial, atau beramal nasib buruk, karena melihat burung, binatang lainnya atau apa saja.

*****

27 Februari 2009

Mengenal Nabi Muhammad SAW

Beliau adalah Muhammad bin ‘Abdulâh bin ‘Abdul Muthalib bin Hasyim. Hasyim adalah termasuk suku Quraisy, suku Quraisy termasuk bangsa ‘Arab, sedang bangsa ‘Arab adalah termasuk keturunan Nabi Ismâ’îl a.s, putera Nabi Ibrâhîm Al-Khalil. Semoga Allâh melimphkan kepadanya dan kepada Nabi kita sebaik-baiknya shalawat dan salam.

Beliau berumur 63 tahun; diantaranya 40 tahun sebelum Beliau menjadi nabi dan 23 tahun sebagai nabi serta rasûl.
Beliau diangkat sebagai nabi dengan surat “Iqra” (Yakni Surat Al-Alaq (96) : 1-5) dan diangkat sebagai rasul dengan surat “Al-Muddatstsir”.
Tempat asal Beliau adalah Makkah.
Beliau diutus Allâh untuk menyampaikan peringatan menjauhi syirik dan mengajak kepada tauhid.
Dalilnya :

“Hai orang yang berkemul (berselimut), bangunlah, lalu berilah peringatan!, dan Tuhanmu agungkanlah, dan pakaianmu bersihkanlah, dan perbuatan dosa (menyembah berhala) tinggalkanlah, dan janganlah kamu memberi (dengan maksud) memperoleh (balasan) yang lebih banyak. Dan untuk (memenuhi perintah) Tuhanmu, bersabarlah.”
(Surat Al-Muddatstsir (74) : 1-7)

Peringatan :

“Sampaikanlah Peringatan” : menyampaikan peringatan menjauhi syirik dan mengajak kepada tauhid.
“Agungkanlah Tuhanmu” : Agungkanlah Ia dengan berserah diri dan beribadah kepada-Nya semata-mata.
“Sucikanlah pakaianmu” : Sucikanlah segala amalmu dari perbuatan syirik.
“Tinggalkanlah berhala-berhala itu” : jauhkan dan bebaskan dirimu darinya serta orang-orang yang memujanya.

Beliau melaksanakan perintah ini dengan tekun dan gigih selama sepuluh tahun, mengajak kepada tauhid. Setelah sepuluh tahun itu Beliau dimi’rajkan (diangkat naik) ke atas langit dan disyariatkan kepada Beliau shalât lima waktu. Beliau melakukan shalât di Makkah selama tiga tahun. Kemudian, sesudah itu, Beliau diperintahkan untuk berhijrah ke Madinah.

Hijrah, pengertiannya, ialah : pindah dari lingkungan syirik ke lingkungan Islâmi.
Hijrah ini merupakan kewajiban yang harus dilaksanakan umat Islâm. Dan kewajiban tersebut hukumnya tetap berlaku sampai hari Kiamat.
Dalil yang menunjukkan kewajiban hijrah, yaitu firman Allâh Ta’âla :

“Sesungguhnya orang-orang yang diwafatkan malaikat dalam keadaan menganiaya diri sendiri (Yang dimaksud dengan orang-orang yang zhalim terhadap diri mereka sendiri dalam ayat ini ialah orang-orang penduduk Makkah yang sudah masuk Islâm tetapi mereka itu tidak mau hijrah bersama Nabi, padahal mereka mampu dan sanggup. Mereka ditindas dan dipaksa oleh orang-orang kafir supaya ikut bersama mereka pergi ke perang Badar, akhirnya ada di antara mereka yang terbunuh.), (kepada mereka) malaikat bertanya: "Dalam keadaan bagaimana kamu ini?". Mereka menjawab: "Adalah kami orang-orang yang tertindas di negeri (Makkah)". Para malaikat berkata: "Bukankah bumi Allâh itu luas, sehingga kamu dapat berhijrah di bumi itu?". Orang-orang itu tempatnya neraka Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali, kecuali mereka yang tertindas baik laki-laki atau wanita ataupun anak-anak yang tidak mampu berdaya upaya dan tidak mengetahui jalan (untuk hijrah), mereka itu, mudah-mudahan Allâh mema`afkannya. Dan adalah Allâh Maha Pema`af lagi Maha Pengampun.”
(Surat An-Nisâ (4) : 97-99)

Dan firman Allâh Ta’âla, artinya:

“Hai hamba-hamba-Ku yang beriman, sesungguhnya bumi-Ku luas, maka sembahlah Aku saja.” (Surat Al-Ankabût (29) : 56)

Al-Baghawi (Abu Muhammad Al-Husein bin Mas’ud bin Muhammad Al-Farra – atau Ibnu Al-Farra – Al-Baghawi (436 – 510 H = 1044 – 1117 M). Seorang ahli dalam bidang fiqh, hadits dan tafsir. Di antara karyanya : At-Tahdzîb (fiqh), Syarh As-Sunnah (hadits), Lubâb At-Ta’wîl fî Ma’âlim At-Tanzîl (tafsir).), rahimahullâh, berkata : “Ayat ini, sebab turunnya, adalah ditujukan kepada orang-orang muslim yang masih berada di Makkah, yang mereka itu belum juga berhijrah. Karena itu, Allâh menyeru kepada mereka dengan sebutan orang-orang yang beriman”

Adapun dalil dari Sunnah yang menunjukkan kewajiban hijrah, yaitu sabda Rasûlullâh saw :

“Hijrah tetap akan berlangsung selama pintu taubat belum ditutup, sedang pintu taubat tidak akan ditutup sebelum matahari terbit dari Barat”
(H.R. Ahmad dalam musnadnya jilid 4 hal. 99; Sunan Abu Dawûd kitan Al-Jihad bab 2; dan Sunan Ad-Darimi kitan As-Sair bab 70)

Setelah Nabi Muhammad menetap di Madinah, disyariatkan kepada beliau zakat, puasa, haji, adzan, jihad, amar ma’ruf dan nahi munkar serta syariat-syariat Islâm lainnya.
Beliau pun melaksanakan untuk menyampaikan hal ini dengan tekun dan gigih selama sepuluh tahun . Sesudah itu wafatlah beliau, sedang agamanya tetap dalam keadaan lestari.
Inilah agama yang beliau bawa : Tiada suatu kebaikan yang tidak beliau tunjukkan kepada umatnya dan tiada suatu keburukan yang tidak beliau peringatkan kepada umatnya supaya dijauhi. Kebaikan yang beliau tunjukkan ialah tauhid serta segala yang dicintai dan diridhoi Allâh, sedang keburukan yang beliau peringatkan supaya dijauhi ialah syirik serta segala yang dibenci dan tidak disenangi Allâh.
Nabi Muhammad saw, diutus oleh Allâh kepada seluruh umat manusia, dan diwajibkan kepada seluruh jin dan manusia untuk mentaatinya.

Firman Allâh Ta’âla yang artinya:

“Katakanlah: "Hai manusia sesungguhnya aku adalah utusan Allâh kepadamu semua …….”
(Surat Al-A’râf (7) : 158)

Dan melalui Beliau, Allâh telah menyempurnakan agama-Nya untuk kita.
Firman Allâh Ta’âla yang artinya:

“……Pada hari ini (Maksudnya ialah : hari Jum’at ketika wukuf di Arafah, pada waktu Haji Wada’) telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu ni`mat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu…..”
(Surat Al-Mâ’idah (5) : 3)

Adapun dalil yang menunjukkan bahwa Beliau saw juga wafat, ialah firman Allâh Ta’âla :

“Sesungguhnya kamu akan mati dan sesungguhnya mereka akan mati (pula). Kemudian sesungguhnya kamu pada hari kiamat akan berbantah-bantah di hadapan Tuhanmu.”
(Surat Az-Zumar (39) : 30-31)

Manusia sesudah mati, mereka nanti akan dibangkitkan kembali. Dalilnya, firman Allâh Ta’âla :

“Dari bumi (tanah) itulah Kami menjadikan kamu dan kepadanya Kami akan mengembalikan kamu dan daripadanya Kami akan mengeluarkan kamu pada kali yang lain.”
(Surat Thâhâ (20) : 55)

Dan firman Allâh Ta’âla :

“Dan Allâh menumbuhkan kamu dari tanah dengan sebaik-baiknya, kemudian Dia mengembalikan kamu ke dalam tanah dan mengeluarkan kamu (daripadanya pada hari kiamat) dengan sebenar-benarnya.”
(Surat Nuh (71) : 17–18)

Setelah manusia dibangkitkan, mereka akan dihisab dan diberi balasan sesuai dengan amal perbuatan mereka. Dalilnya, firman Allâh Ta’âla :

“Dan hanya kepunyaan Allâh-lah apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi supaya Dia memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat jahat terhadap apa yang telah mereka kerjakan dan memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat baik dengan pahala yang lebih baik (surga).”
(Surat An-Najm (53) : 31)

Barangsiapa yang tidak mengimani kebangkitan ini, maka dia adalah kafir. Sesuai firman Allâh Ta’âla :

“Orang-orang yang kafir mengatakan, bahwa mereka sekali-kali tidak akan dibangkitkan. Katakanlah: "Tidak demikian, demi Tuhanku, benar-benar kamu akan dibangkitkan, kemudian akan diberitakan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan". Yang demikian itu adalah mudah bagi Allâh.”
(Surat At-Taghâbun (64) : 7)

Allâh telah mengutus semua rasûl sebagai penyampai kabar gembira dan pemberi peringatan. Sebagaimana firman Allâh Ta’âla :

“(Mereka kami utus) selaku rasul-rasul pembawa berita gembira dan pemberi peringatan agar supaya tidak ada alasan bagi manusia membantah Allâh sesudah diutusnya rasul-rasul itu…..”
(Surat An-Nisâ’ (4) : 165)

Rasûl pertama adalah Nabi Nûh, ‘alaihis-salam (Selain dalil dari Al-Qur-ân yang disebutkan Penulis, yang menunjukkan bahwa Nabi Nûh adalah rasûl pertama, di sana ada juga hadits shahih yang menyatakan bahwa Nabi Nûh adalah rasûl pertama yang diutus kepada penduduk bumi ini, seperti hadits riwayat Al-Bukhârî dalam shahihnya kitan Al-Anbiya bab 3 dan riwayat Muslim dalam shahihnya kitab Al-Iman bab 84. Adapun Nabi Adam, ‘alaihis-salam, menurut sebuah hadits yang diriwayatkan dari Abu Dzar Al-Ghifari, radhiyallâhu ‘anhû, beliau adalah Nabi pertama. Dan disebutkan dalam hadits ini bahwa jumlah para Nabi ada 124.000 orang, dari jumlah tersebut sebagai rasûl 315 orang, dan dalam riwayat lain disebutkan 310 orang lebih. Lihat : Imam Ahmad, Al-Musnad, jilid 5 hal. 178, 179 dan 265), dan rasûl terakhir adalah Nabi Muhammad, shalallâhu ‘alaihi wa sallam, serta Beliaulah penutup para Nabi.

Dalil yang menunjukkan bahwa rasûl pertama adalah Nabi, berdasarkan firman Allâh Ta’âla :

“Sesungguhnya Kami telah memberikan wahyu kepadamu sebagaimana Kami telah memberikan wahyu kepada Nuh dan nabi-nabi yang kemudiannya……………”
(Surat An-Nisâ’ (4) : 163)

Dan Allâh telah mengutus kepada setiap umat seorang rasûl, mulai dari Nabi Nûh sampai Nabi Muhammad, dengan memerintahkan mereka untuk beribadah kepada Allâh semata-mata dan melarang mereka beribadah kepada thâghût. Firman Allâh Ta’âla :

“Dan sesungguhnya Kami telah mengutus rasûl pada tiap-tiap umat (untuk menyerukan): "Sembahlah Allâh (saja), dan jauhilah Thâghût itu"………”
(Surat An-Nahl (16) : 36)

Dengan demikian, Allâh telah mewajibkan kepada seluruh hamba-Nya supaya bersikap kafir kepada thâghût dan hanya beriman kepada-Nya.

Ibnu Al-Qayyim (Abû ‘Abdillâh, Muhammad bin Abu Bakr bin Ayyub bin Sa’d As-Zur’I Ad-Dimasyqi, terkenal dengan Ibnu Al-Qayyim atau Ibnu Qayyim Al-Jauziyah (691-751 H = 1292 – 1350 M). Seorang ‘ulama yang giat dan gigih dalam mengajak umat Islâm pada zamannya untuk kembali kepada tuntunan Al-Qur-ân dan Sunnah serta mengikuti jejak para salaf shaleh. Mempunyai banyak karya tulis, antara lain : Madârij As-Sâlikîn, Zâd Al-Ma’âd, Tharîq Al-Hijratain wa Bâb As-Sa’âdatain, AT-Tibyân fi Aqsâm Al-Qur-ân, Miftâh Dâr As-Sa’âdah.), rahimahullâh Ta’âla, telah menjelaskan pengertian thâghût tersebut dengan mengatakan :

“Thâghût ialah setiap yang diperlakukan manusia secara melampaui batas (yang telah ditentukan oleh Allâh), seperti dengan disembah, atau diikuti, atau dipatuhi”

Dan thâghût itu banyak macamnya, tokoh-tokohnya ada 5 (lima), yaitu :
1. Iblis, yang telah dilaknat oleh Allâh;
2. Orang yang disembah, sedang dia sendiri rela;
3. Orang yang mengajak manusia untuk menyembah dirinya;
4. Orang yang mengaku tahu sesuatu yang ghaib; dan
5. Orang yang memutuskan sesuatu tanpa berdasarkan hukum yang telah diturunkan oleh Allâh.
Allâh Ta’âla berfirman :

“Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islâm); sesungguhnya telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat. Karena itu barangsiapa yang ingkar kepada Thâghût dan beriman kepada Allâh, maka sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang amat kuat yang tidak akan putus. Dan Allâh Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.”
(Surat Al-Baqarah (2) : 256)

Ingkar kepada semua thâghût dan iman kepada Allâh saja, sebagaimana dinyatakan dalam ayat tadi, adalah hakekat syahadat “Lâ ilâha illallâh”.
Dan diriwayatkan dalam hadits, Rasûlullâh saw bersabda :

“Pokok agama ini adalah Islâm (Silahkan melihat kembali pengertian Islâm yang disebutkan oleh Penulis di hal. 18), dan tiangnya adalah shalât, sedang ujung tulang punggungnya adalah jihad fî sabîlillâh” ( Hadits shahih riwayat Ath-Thabarani dari Ibnu ‘Umar radhiyallâhu ‘anhuma; dan riwayat at-Tirmidzi dalam Al-Jâmi’ Ash-Shahih kitab Al-Imân bab 8)

Hanya Allâh-lah yang Maha Tahu, Semoga shalawat dan salam senantiasa dilimpahkan Allâh kepada Nabi Muhammad, kepada keluarga dan para sahabatnya.

Ushulu Tsalatsa