29 Februari 2020

Sirah Nabi Bag 72: Orang Yahudi Khawatir


اَللّٰهُمَّ صَلِّ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَ عَلَى آلِ سَيِّدِنَا مُحَمَّد

Orang Yahudi Khawatir

Mereka yang tidak suka itu adalah orang-orang Yahudi. Padahal, suasana damai di Madinah sejak Rasulullah ﷺ datang sangatlah menguntungkan perdagangan kaum Yahudi. Namun, orang-orang Yahudi tidak rela melihat kaum Muslimin bertambah sejahtera dan Islam semakin menguat. Dakwah Islam sulit sekali menembus kalangan Yahudi karena kaum Yahudi tidak mengakui adanya seorang nabi yang bukan dari bangsa mereka. Itulah ajaran mereka.

Begitu pun, seandainya saja para pemimpin Yahudi sudah menghalangi dakwah Rasulullah ﷺ, tentu banyak umat mereka yang memeluk Islam. Di antara segelintir yang berislam itu adalah seorang rabbi (pendeta Yahudi) yang bernama Abdullah bin Salam.

Setelah memeluk Islam, Abdullah bin Salam pun mengajak keluarganya untuk turut serta. Usahanya berhasil. Seluruh keluarga Abdullah bin Salam bersama-sama memeluk Islam. Namun, Abdullah bin Salam masih merahasiakan keislamannya kepada teman-teman Yahudinya.

“Ya Rasulullah, saya khawatir kaumku akan menghinaku dan merendahkan aku jika mereka tahu aku masuk Islam,” demikian kata Abdullah kepada Rasulullah ﷺ,
“sudikah kiranya Anda menanyakan tentang saya kepada kaum saya.”

Rasulullah ﷺۢ pun mengabulkan permintaan itu. Beliau menanyakan kepada orang Yahudi mengenai pendapat mereka tentang Abdullah bin Salam.

Ternyata orang-orang Yahudi berkata yang baik-baik tentang Abdullah bin Salam.
“Dia pemimpin kami, pendeta kami, dan cendekiawan kami.”

Mendengar hal itu, Abdullah bin Salam pun keluar menemui kaumnya dan berkata,
“Aku telah memeluk Islam. Kalau kalian menganggapku sebagai pemimpin, pendeta, dan cendekiawan, kalian bisa memercayaiku bahwa sungguh agama yang dibawa Rasulullah adalah agama yang benar.”

Namun, apa yang terjadi? Wajah orang-orang Yahudi pucat kehilangan darah karena begitu terkejut. Sesaat, tidak seorang pun yang bicara. Kemudian, bukannya berpikir jernih, mereka menanggapi Abdullah bin Salam dengan marah,
“Kamu pasti sudah dihinggapi kegilaan dengan meninggalkan agama kita.”

Setelah itu, kata-kata kotor dan tidak baik mulai mereka lontarkan. Abdullah bin Salam dicaci dengan berbagai fitnah dan diumpat dengan kata-kata yang amat kasar.

Demikianlah, sejak saat itu, kaum Yahudi mulai bersepakat untuk menghancurkan Islam.

Orang Yahudi Kecewa

Sebelum Rasulullah ﷺ diutus, orang-orang Yahudi sudah mengetahui dari Taurat bahwa dalam waktu dekat akan ada seorang nabi yang diangkat Allah ﷻ. Namun, mereka menduga bahwa nabi itu akan lahir dari kalangan Yahudi. Mereka suka membanggakan diri terhadap orang-orang Arab,

“Sesungguhnya hampir datang seorang nabi yang akan segera dibangkitkan. Kami akan mengikutinya dan membantunya memerangi kalian, sebagaimana dulu kami memerangi kaum ‘Ad dan ‘Iram.”

Namun, justru ketika nabi yang diharapkan itu datang, mereka malah ingkar, tidak mau percaya, dan mendustakan segala apa yang telah mereka katakan dan mereka ketahui sendiri. Para pendeta Yahudi mengejek dan menggunakan segala tipu daya untuk menghalangi seruan Rasulullah ﷺ.

Beberapa ketua Yahudi mendatangi Rasulullah ﷺ dan bertanya congkak,

“Hai Muhammad! Allah yang telah menciptakan segenap makhluk, lalu siapa yang menciptakan Allah?”

Mendengar pertanyaan sekeji itu, wajah Rasulullah ﷺ berubah karena menahan marah. Seketika, turunlah Malaikat Jibril menenangkan Rasulullah ﷺ seraya menyampaikan firman Allah ﷻ yang pernah diturunkan di Mekah untuk menjawab,

قُلْ هُوَ اللَّهُ أَحَدٌ

Katakanlah: Dialah Allah, Yang Maha Esa.
Surah Al-Ikhlas (112:1)

اللَّهُ الصَّمَدُ

Allah adalah Tuhan yang bergantung kepada-Nya segala sesuatu.
Surah Al-Ikhlas (112:2)

لَمْ يَلِدْ وَلَمْ يُولَدْ

Dia tiada beranak dan tidak pula diperanakkan,
Surah Al-Ikhlas (112:3)

وَلَمْ يَكُنْ لَهُ كُفُوًا أَحَدٌ

dan tidak ada seorang pun yang setara dengan Dia.
Surah Al-Ikhlas (112:4)

Sesudah Rasulullah ﷺ membaca ayat tersebut, para ketua Yahudi terdiam dan saling mengejek, ia berkata,

“Muhammad, coba engkau sifatkan kepada kami, bagaimana Allah itu. Berapa hasta tinggi-Nya, bagaimana lengan-Nya, bagaimana….”

Sudah tentu Rasulullah ﷺ menjadi sangat marah, lebih marah daripada yang pertama. Namun, Jibril kembali turun memadamkan rasa marah Rasulullah ﷺ sambil menyampaikan firman Allah ﷻ untuk menjawab pertanyaan lancang itu,

وَمَا قَدَرُوا اللَّهَ حَقَّ قَدْرِهِ وَالْأَرْضُ جَمِيعًا قَبْضَتُهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَالسَّمَاوَاتُ مَطْوِيَّاتٌ بِيَمِينِهِ ۚ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَىٰ عَمَّا يُشْرِكُونَ

Dan mereka tidak mengagungkan Allah dengan pengagungan yang semestinya padahal bumi seluruhnya dalam genggaman-Nya pada hari kiamat dan langit digulung dengan tangan kanan-Nya. Maha Suci Tuhan dan Maha Tinggi Dia dari apa yang mereka persekutukan.
Surah Az-Zumar (39:67)

Ajaran Yahudi tidak pernah menarik hati orang Arab karena orang Yahudi kurang mengajarkan nilai-nilai kesatriaan yang dijunjung tinggi orang Arab. Mereka juga sering menyembunyikan Taurat dan tidak mau mengajarkannya kepada orang lain.

Bani Israil

Dalam Al Qur’an, orang Yahudi disebut Bani Israil, artinya keturunan Israil. Israil adalah panggilan orang untuk Nabi Ya’qub. Nabi Ya’qub-lah yang menurunkan bangsa Yahudi.

Bersambung

Sirah Nabi Bag 71: Kesederhanaan Rasulullah

اَللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَ عَلَى آلِ مُحَمد

Kesederhanaan Rasulullah

Kesederhanaan Rasulullah dalam berpakaian sama dengan kesederhanaan beliau dalam hal makanan.

Suatu hari, ada seorang wanita memberikan sehelai pakaian kepada beliau.

Kebetulan saat itu beliau memang memerlukan pakaian.

Namun, kemudian datang seorang laki-laki yang meminta pakaian itu.

Tanpa berpikir panjang lagi, Rasulullah pun memberikan pakaian itu.

Pakaian beliau biasanya terdiri atas sebuah baju dalam dan baju luar yang terbuat dari wol, katun, atau sebangsa serat.

Sesekali, beliau tidak menolak pakaian agak mewah yang dibuat dari tenunan Yaman jika ada acara yang menghendaki demikian.

Alas kaki yang digunakan Rasulullah juga amat sederhana.

Tidak pernah beliau menggunakan sepatu kecuali hadiah dari Najasy.

Sungguh pun begitu, bukan berarti beliau menyiksa diri dengan semua kesederhanaan itu.

Beliau hanya mengendalikan dan menjaga diri agar tidak berlebih-lebihan.

Allah berfirman,

وَظَلَّلْنَا عَلَيْكُمُ الْغَمَامَ وَأَنْزَلْنَا عَلَيْكُمُ الْمَنَّ وَالسَّلْوَىٰ ۖ كُلُوا مِنْ طَيِّبَاتِ مَا رَزَقْنَاكُمْ ۖ وَمَا ظَلَمُونَا وَلَٰكِنْ كَانُوا أَنْفُسَهُمْ يَظْلِمُونَ

Dan Kami naungi kamu dengan awan, dan Kami turunkan kepadamu manna dan salwa.

Makanlah dari makanan yang baik-baik yang telah Kami berikan kepadamu; dan tidaklah mereka menganiaya Kami; akan tetapi merekalah yang menganiaya diri mereka sendiri.

Surah Al-Baqarah (2:57)

وَابْتَغِ فِيمَا آتَاكَ اللَّهُ الدَّارَ الْآخِرَةَ ۖ وَلَا تَنْسَ نَصِيبَكَ مِنَ الدُّنْيَا ۖ وَأَحْسِنْ كَمَا أَحْسَنَ اللَّهُ إِلَيْكَ ۖ وَلَا تَبْغِ الْفَسَادَ فِي الْأَرْضِ ۖ إِنَّ اللَّهَ لَا يُحِبُّ الْمُفْسِدِينَ

Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat,

dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi

dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik, kepadamu,

dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi.

Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan.

Surah Al-Qasas (28:77)

Suatu ketika, Ali bin Abi Thalib bertanya tentang sunnah Rasulullah.

Rasulullah pun menjawab,

"Makrifat (mendekatkan diri kepada Allah) adalah modalku,

akal pikiran adalah sumber agamaku,

cinta adalah dasar hidupku,

rindu adalah kendaraanku,

berzikir kepada Allah adalah kawan dekatku,

keteguhan adalah perbendaharaanku,

duka adalah kawanku,

ilmu adalah senjataku,

ketabahan adalah pakaianku,

kerelaan adalah sasaranku,

fakir adalah kebanggaanku,

menahan diri adalah pekerjaanku,

keyakinan adalah makananku,

kejujuran adalah perantaraku,

ketaatan adalah ukuranku,

berjihad adalah perangaiku,

dan hiburanku adalah shalat."

Rantai Emas

Suatu ketika Rasulullah melihat Fathimah Az-Zahra, putrinya, sedang memakai rantai emas.

Rasulullah bersabda,

"Fathimah, gembirakah jika orang berkata, Di tangan putri Rasulullah ada seikat rantai dari api neraka ?"

Fathimah kemudian menjual rantai itu dan uangnya digunakan untuk membebaskan seorang budak.

Rasulullah pun berkata,

"Segala puji bagi Allah yang telah menyelamatkan Fathimah dari api neraka."


Rasulullah Belajar Bertani

Rasulullah tidak menempatkan dirinya sebagai seorang raja, meskipun banyak orang Anshar menginginkannnya.

Seorang raja biasanya tinggal menikmati uang dan makanan.

Tidak demikian dengan Rasulullah.

Beliau mewajibkan bagi dirinya sendiri bekerja agar bisa makan.

Beliau ikut belajar bertani, padahal saat itu usianya sudah di atas 53 tahun.

Apalagi seperti kebanyakan orang Mekah, bertani adalah suatu pekerjaan baru yang masih asing bagi beliau.

Rasulullah juga menganjurkan agar kaum pria meringankan beban pekerjaan kaum wanita.

Demikian pula sebaliknya, beliau juga mempersilahkan kaum wanita yang tidak sedang sibuk dengan urusan rumah tangga, untuk turut membantu pria bekerja.

Maka, banyaklah kaum wanita yang bekerja, termasuk mereka yang di Mekah dulu terbiasa hidup berkecukupan di balik dinding rumahnya.

Asma binti Abu Bakar adalah contoh Muslimah yang bekerja dengan tangannya sendiri.

Ia tidak peduli meski ayahnya adalah saudagar kaya yang sukses.

Abu Bakar membawa seluruh kekayaannya saat berhijrah, tetapi beliau infakkan semuanya untuk memberikan santunan kepada mereka yang tidak mampu bekerja.

Rasulullah segera menghimbau sahabat-sahabatnya yang mampu untuk mengikuti jejak Abu Bakar.

Tidak pantas rasanya jika ada Muslim berpakaian mewah, sedangkan saudaranya keluar rumah dengan bajunya compang-camping.

Malu rasanya jika ada Muslim kenyang memakan daging dan roti, sedangkan saudara-saudaranya hanya mampu memakan kurma basah.

Kesejahteraan kaum Muslimin pun meningkat dengan pasti.

Apalagi setelah Rasulullah meminta para saudagar kaya dari Muhajirin dan Anshar membeli tanah-tanah kosong untuk dijadikan lahan pertanian.

Maka, sejumlah besar kaum Muhajirin pun mendapat lahan pekerjaan.

Akibatnya, hasil panen meningkat dan membanjiri pasar-pasar Madinah.

Dengan cepat kaum Muhajirin sudah tidak lagi menjadi beban saudara-saudara Anshar mereka.

Namun, ada kalangan yang tidak menyukai perubahan ini.

"Jika dibiarkan begini, orang-orang miskin itu akan meremehkan kita !

Bayangkan, Muhammad mengajarkan bahwa dalam tiap harta orang kaya ada hak orang miskin !

Enak betul mereka !" demikian kata salah seorang yang tidak suka itu.

Bersambung

28 Februari 2020

Sirah Nabi Bag 70: Rasa Sayang Rasulullah ﷺ

اَللّٰهُمَّ صَلِّ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَ عَلَى آلِ سَيِّدِنَا مُحَمَّد

Rasa Sayang Rasulullah ﷺ

Rasulullah ﷺ adalah orang yang paling penyayang. Apabila beliau tahu ada orang yang sedang menunggu, padahal beliau sedang shalat, beliau percepat shalat itu dan beliau tanya apa keperluannya. Sesudah beliau memenuhi keperluan orang tadi, beliau lanjutkan kembali ibadahnya.

Dalam rumah tangga, Rasulullah ﷺ ikut memikul beban keluarga. Beliau ikut mencari pakaian, menambal baju yang berlubang, serta memerah susu kambing. Beliau juga membetulkan sendiri sepatunya yang rusak. Beliau penuhi sendiri semua keperluan beliau, mulai mengambil minum sampai mengurus unta.

Beliau duduk dan makan bersama dengan para pembantu dan mengurus keperluan orang yang lemah, menderita, dan miskin. Apalagi melihat ada orang yang membutuhkan sesuatu, beliau dan keluarganya mengalah, sekali pun beliau saat itu juga dalam kekurangan. Tidak ada sesuatu yang disimpan untuk esok, bahkan kelak ketika beliau wafat. Baju besi beliau sedang tergadai di tangan seorang Yahudi karena beliau memerlukan uang untuk belanja keluarga.

Beliau sangat baik hati, mudah tersenyum, dan selalu memenuhi janji. Suatu ketika ada delegasi dari Raja Najasyi dari Habasyah datang berkunjung. Beliau sendiri yang melayani mereka. Para sahabat datang menegur, “Wahai Rasulullah, sudah cukuplah, bukankah ada orang lain untuk mengerjakannya?”

“Mereka sangat menghormati sahabat-sahabat kita ketika berhijrah ke tempat mereka,” jawab Rasulullah ﷺ. “Saya ingin membalas sendiri kebaikan mereka.”

Begitu setianya beliau sehingga selalu ada yang menyebut nama Khadijah, kenangan indah muncul bagai pelangi menghiasi hati beliau. Suatu ketika, ada seorang wanita datang. Beliau menyambutnya begitu gembira dan beliau tanyai wanita itu baik-baik. Ketika wanita itu sudah pergi, beliau berkata, “Ketika masih ada Khadijah, ia suka mengunjungi kami. Mengingat hubungan baik masa lampau adalah termasuk iman.”

Begitu halus perasaan Rasulullah ﷺ, begitu lembut hatinya, sampai beliau biarkan cucunya bermain-main dengannya ketika beliau sedang shalat. Bahkan beliau shalat dengan membawa Umamah, cucu beliau dari Zainab. Umamah beliau taruh di atas bahu. Saat beliau sujud, beliau letakkan Umamah, jika beliau berdiri, Umamah ditaruh lagi keatas bahunya.

Rasulullah ﷺ Menyayangi Binatang

Kebaikan dan kasih sayang Rasulullah ﷺ tidak terbatas kepada sesama manusia saja, tetapi juga kepada binatang. Suatu ketika, beliau pernah bangun dan membukakan pintu untuk seekor kucing yang sedang berlindung di tempat itu. Beliau juga pernah merawat seekor ayam jantan yang sedang sakit-sakitan.

Rasulullah ﷺ juga mengelus-elus seekor kuda penuh rasa sayang dengan lengan baju beliau. Suatu ketika, dilihatnya Aisyah menaiki seekor unta. Aisyah merasa sukar mengendalikan unta yang agak bandel itu sehingga Aisyah menarik-narik tali kekang dengan tidak sabar. Kemudian, Rasulullah ﷺ mendekat dan menegur lembut,
“Hendaknya engkau berlaku lemah lembut, ya Aisyah.”

Meskipun demikian, kasih sayang, kelembutan, dan rasa persaudaraan yang Rasulullah ﷺ ajarkan bukan berarti menunjukkan kelemahan. Rasa kasih sayang dan kelembutan selalu harus bersama sikap yang adil. Rasulullah ﷺ mengajarkan bahwa tanpa keadilan, persaudaraan sejati tidak mungkin ada.

Sabda beliau,
“Barang siapa menyerang kamu, seranglah dengan seimbang, seperti mereka menyerang kamu.”

Pada saat lain, Rasulullah ﷺ juga berkata,
“Hukum qishas (membalas perbuatan dengan seimbang, misalnya pembunuh yang terbukti bersalah harus dibalas dibunuh pula) berarti kelangsungan hidup bagi kamu, hai orang-orang yang mengerti.”

Jadi, kasih sayang yang diajarkan Rasulullah ﷺ juga mengandung unsur kekuatan. Oleh sebab itu, seorang Muslim bisa bersikap lemah lembut sekaligus tegas jika memang diperlukan. Jika seseorang tidak dapat bersikap tegas, ia akan menjadi bulan-bulanan orang-orang berhati jahat.

Rasulullah ﷺ mengajarkan bahwa jiwa seorang Muslim harus kuat, tidak mengenal kata menyerah kecuali kepada Allah ﷻ. Seorang Muslim yang taat kepada Allah ﷻ tidak merasa lemah apabila menghadapi rintangan.

Menangkap Burung untuk Permainan

Dalam hadist riwayat Nasa’i dan Ibnu Hibban, Rasulullah ﷺ bersabda,

“Barang siapa menangkap seekor burung hanya untuk bermain-main, kelak pada hari kiamat, burung itu akan mengadu kepada Allah ﷻ, “Wahai Tuhanku, orang itu telah membunuh aku untuk mainan belaka, tidak untuk mengambil manfaat dariku.”

Keseharian Rasulullah ﷺ

Rasulullah ﷺ mengajarkan kepada kita bahwa, tidak boleh ada rasa takut dalam hati seorang Muslim, kecuali jika ia melakukan perbuatan maksiat dan dosa. Jiwa itu tidak akan menjadi kuat jika berada dalam kekuasaan orang lain. Karena itulah, Rasulullah ﷺ mengajak para sahabatnya berhijrah ke Madinah.

Jiwa akan jadi lemah jika sudah dikuasai oleh hawa nafsu. Nafsu akan harta, kendaraan, pakaian, makanan, dan banyak lagi. Jika seseorang sudah mencintai harta dunia seperti itu, kekuatan rohaninya melemah dan tidak lagi mampu berjuang, beribadah, serta berbakti layaknya seorang Muslim sejati.

Rasulullah ﷺ adalah contoh yang sangat ideal dalam mengendalikan hawa nafsu. Jiwa Rasulullah ﷺ sudah begitu kuat sehingga tidak begitu peduli jika segala yang dimilikinya akan habis akibat beliau sangat suka memberi kepada orang lain. Sampai-sampai, ada orang yang berkata,
“Dalam memberi, Rasulullah seperti sudah tidak takut kekurangan.”

Rasulullah ﷺ mengajarkan agar kitalah yang menguasai kehidupan dunia, bukan kehidupan dunia yang menguasai kita. Beliau tidak menganjurkan kita agar hidup miskin, tetapi hidup sederhana dan tidak berlebihan.

Alas tidur Rasulullah ﷺ bukanlah kasur yang empuk, melainkan hanya terdiri atas kulit yang dilapisi serat. Tidak pernah beliau makan sampai kenyang. Beliau selalu menyudahi makannya sebelum kenyang. Tidak pernah Rasulullah ﷺ makan roti dari tepung gandum dua hari berturut-turut. Sebagian besar makanan beliau adalah bubur.

Pada hari lain, Rasulullah ﷺ makan kurma. Jarang sekali beliau dan keluarganya dapat makan roti sop (roti yang dibasahi kuah kaldu dan daging). Bahkan sering sekali beliau harus menahan lapar. Beliau pernah mengganjal perutnya dengan batu yang dikaitkan dengan ikat pinggangnya agar rasa laparnya tertahan.

Namun, bukan berarti Rasulullah ﷺ berpantang makan makanan enak. Beliau dikenal suka sekali makan kaki kambing muda, labu, madu, dan manisan walupun amat jarang beliau dapatkan. Begitulah cara Rasulullah ﷺ mengendalikan diri terhadap makanan.

Bersambung

Sirah Nabi Bag 69: Menikah dengan Aisyah

اَللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَ عَلَى آلِ مُحَمد

Menikah dengan Aisyah

Suasana damai dan tentram menyelimuti Kota Madinah.

Pada saat itulah Rasulullah yang sudah menikahi Aisyah binti Abu Bakar di Mekah, merayakan pernikahan beliau tersebut.

Ketika itu, Aisyah sudah menjelang remaja.

Beliau adalah seorang gadis yang lemah lembut dengan air muka yang manis dan sangat disukai banyak orang karena pandai bergaul.

Pernikahan ini membuat persahabatan Rasulullah dengan Abu Bakar Ash Shiddiq semakin erat.

Setelah menikah, Aisyah berpindah dari rumah ayahnya ke rumah Rasulullah di samping masjid.

Tidak terkira rasa bahagia Aisyah.

Ia melihat pada diri Rasulullah ada sesuatu yang lain dibandingkan kebanyakan orang.

"Rasulullah adalah suami sekaligus ayahku," demikian pikir Aisyah dalam hati.

"Beliau adalah suami yang penuh cinta kasih tapi juga tidak berkeberatan ikut bermain-main bersamaku.

Subhanallah, beliau benar-benar manusia yang luar biasa.

Aku benar-benar mencintainya setulus hatiku untuk selamanya, dari dunia sampai akhirat kelak."

Setelah menikah dengan Aisyah yang cerdas dan periang, beban pikiran Rasulullah terkurangi.

Mengurus umat satu kota penuh memerlukan konsentrasi yang amat tinggi hingga menyebabkan rasa lelah yang luar biasa.

Namun, jika beliau pulang ke rumah dan bertemu Aisyah, segala lelah dan beban berat terasa hilang.

Canda, senyum, dan bakti Aisyah menumbuhkan rasa riang dan semangat baru dalam hati Rasulullah.

Tidak terkira besarnya kasih sayang Rasulullah kepada Aisyah.

Suasana hati Rasulullah yang tenteram mengimbas luas kepada penduduk Madinah.

Mereka merasakan kehidupan bersama Rasulullah jauh lebih baik daripada kehidupan mereka dahulu.

Mungkin saat ini sebagian orang justru dalam keadaan lebih miskin dari dahulu.

Akan tetapi, ketenangan  dan kebahagiaan hidup bersama Islam jauh lebih mahal daripada apa pun, tidak akan terbeli oleh seberapa besar pun harta yang dapat dikumpulkan.

Maka dari itu, kaum Muslimin pun melaksanakan tugas-tugas agama dengan penuh semangat.

Mereka mulai menunaikan zakat dan mengerjakan shaum.

Sedikit demi sedikit, ajaran Islam mulai menemukan kekuatannya.

Ummu Abdillah

Untuk menghibur Aisyah dari kesedihan karena tidak memiliki putra dan agar istri tercintanya itu merasa diperhatikan dan disayang, Rasulullah mengizinkan Aisyah mengangkat putra saudarinya, Asma binti Abu Bakar.

Keponakan Aisyah itu bernama Abdillah sehingga Aisyah dikenal orang dengan panggilan Ummu Abdillah.

Akhlaq dan Budi Pekerti Rasulullah

Rasulullah mengajarkan bahwa kehidupan dalam Islam itu dilandasi oleh rasa persaudaraan.

Beliau bahkan mengatakan bahwa tidak sempurna iman seseorang sebelum ia mencintai saudaranya seperti mencintai dirinya sendiri.

_Seseorang bertanya kepada Rasulullah,
"Perbuatan apakah yang baik dalam Islam ?"_

Beliau menjawab,

"Sudi memberi makan dan memberi salam kepada orang yang engkau kenal dan yang tidak engkau kenal."

Rasulullah menjadikan dirinya teladan tertinggi bagi setiap Muslim.

Beliau amat rendah hati dan tidak mau diagung-agungkan walaupun beliau adalah manusia terbaik.

Beliau bersabda,

"Jangan memujaku seperti orang-orang Nasrani yang memuja anak Maryam. Aku adalah hamba Allah.

Sebut saja aku hamba Allah dan utusan-Nya."

Pernah suatu ketika, beliau mengunjungi para sahabat yang sedang berkumpul.

Serempak mereka berdiri menyambutnya seperti layaknya orang lain menyambut orang yang mereka hormati.

Namun, Rasulullah tidak menyukai hal itu. Beliau bersabda,

"Jangan kamu berdiri seperti orang-orang asing yang mau saling diagungkan."

Setiap kali mengunjungi para sahabatnya, Rasulullah tidak pernah memilih-milih tempat duduk.

Beliau duduk begitu saja di mana pun ada tempat luang.

Ia bergurau dengan para sahabat, bergaul erat dengan mereka, diajaknya mereka berbincang-bincang.

Jika para sahabat kebetulan disertai anak-anak mereka, Rasulullah mengajak anak-anak itu bermain-main.

Kemudian, didudukkannya anak-anak itu dipangkuan beliau.

Rasulullah tidak pernah menolak undangan.

Beliau selalu datang apabila diundang, baik oleh orang merdeka, budak sahaya, maupun orang miskin.

Dikunjunginya orang yang sakit walaupun letaknya jauh di ujung kota.

Orang yang datang minta maaf selalu beliau maafkan.

Beliau selalu yang memulai memberi salam kepada orang yang dijumpai.

Beliau pasti selalu yang lebih dulu mengulurkan tangan menjabat sahabat-sahabatnya.

Tidak akan pernah lagi kita menjumpai seorang pemimpin yang begitu lembut dan begitu menyayangi rakyatnya, pemimpin yang hidup sederhana seperti kebanyakan rakyatnya, pemimpin yang mampu memberi nasihat dan teladan, pemimpin yang selalu siap memberi dan mendapat tempat di lubuk hati terdalam setiap orang yang mengenalnya.

لَقَدْ جَاءَكُمْ رَسُولٌ مِنْ أَنْفُسِكُمْ عَزِيزٌ عَلَيْهِ مَا عَنِتُّمْ حَرِيصٌ عَلَيْكُمْ بِالْمُؤْمِنِينَ رَءُوفٌ رَحِيمٌ

"Sungguh telah datang kepadamu seorang rasul dari kaummu sendiri, berat terasa olehnya penderitaan yang kamu alami, (dia) sangat menginginkan (keimanan dan keislaman) bagimu, penyantun dan penyayang terhadap orang-orang yang beriman."

Surah At-Taubah (9:128)

Shalat Rasulullah

Shalat Rasulullah adalah shalat yang paling indah dibanding semua sahabatnya.

Beliau melakukan shalat seakan sedang berjumpa dengan orang yang paling ia sayangi sehingga sulit rasanya untuk berpisah.

Shalat beliau seakan-akan merupakan suatu pertemuan terakhir dengan orang yang dicintainya.

Shalat beliau begitu khusyuk, seolah-olah beliau sedang bercakap-cakap dan memandang Allah.

Bersambung

27 Februari 2020

Sirah Nabi Bag 68: Bertani dan Berdagang


اَللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَ عَلَى آلِ مُحَمد

Bertani dan Berdagang

Pada awal kehidupan mereka di Madinah, kaum Muhajirin benar-benar mengalami masa yang sulit.

Sampai suatu hari, pernah paman Rasulullah, Hamzah bin Abdul Muthalib, datang kepada beliau dengan perut lapar sambil bertanya kalau-kalau Rasulullah punya sesuatu untuk dimakan.

Berdagang adalah salah satu pekerjaan yang banyak dikuasai kaum Muhajirin.

Abdurrahman bi Auf yang sudah dipersaudarakan Rasulullah dengan Sa'ad bin Rabi pernah ditawari Sa'ad separuh hartanya.

Namun, Abdurrahman menolak pemberian itu.

Ia hanya minta ditinjukkan jalan ke pasar.

Di sana, mulailah Abdurrahman berdagang mentega dan keju.

Dalam waktu tidak terlalu lama, berkat kepandaiannya berdagang, Abdurrahman bin Auf berhasil meraih kekayaannya kembali.

Dapat pula ia menikahi dan memberikan mas kawin kepada seorang Muslimah dari Madinah.

Sesudah itu, Abdurrahman bin Auf pun memiliki kafilah-kafilah yang pulang dan pergi membawa barang perdagangan.

Selain Abdurrahman, banyak pula kaum Muhajirin yang melakukan pekerjaan serupa.

Begitu pandainya penduduk Mekah berdagang sampai orang mengatakan bahwa dengan perdagangan, orang Mekah dapat mengubah pasir menjadi emas.

Sementara itu, kaum Muhajirin yang lain, seperti Abu Dzar, Umar, dan Ali bin Abu Thalib memilih pekerjaan sebagai petani.

Keluarga-keluarga mereka terjun menggarap tanah milik orang-orang Anshar bersama pemiliknya.

Selain mereka, ada pula kaum Muhajirin yang tetap mengalami kesulitan hidup.

Sungguh pun begitu, mereka tidak mau menjadi beban orang lain.

Mereka membanting tulang melakukan pekerjaan apa pun yang halal.

Ada lagi segolongan orang Arab yang datang ke Madinah dan menyatakan masuk Islam.

Namun, keadaan mereka amat miskin dan serba kekurangan sampai ada yang tidak mempunyai tempat tinggal.

Rasulullah menyediakan tempat tinggal untuk mereka di selasar masjid yang di sebut shuffah.

Mereka yang tinggal di tempat itu di sebut ahli Shuffah.

Belanja mereka diberikan oleh kaum Muslimin yang berkecukupan, baik dari kaum Muhajirin maupun dari kaum Anshar.

Di Madinah kaum Muslimin sudah mengerjakan shalat lima waktu.

Namun, dengan jumlah yang semakin banyak, sulitlah semua orang tahu bahwa waktu shalat telah tiba.

Riwayat Adzan

"Kita gunakan saja bendera, ya Rasulullah," usul seorang sahabat.

"Bendera tidak membangunkan orang tidur, gunakan saja terompet," usul yang lain.

"Terompet mungkin terlalu keras, bagaimana dengan lonceng ?" tambah sesorang.

"Mungkin tidak perlu semua itu, cukuplah menyuruh seseorang berseru, 'Ash Shalah !" usul sahabat yang lain.

Rasulullah pun menyetujui usul terakhir ini.

Lalu beliau bersabda, "Ya Bilal, bangunlah dan panggillah orang dengan 'Ash Shalah !"

Maka, apabila waktu shalat tiba, Bilal pun berseru-seru,

"Ash shalatu jami'ah !

Shalatlah berjamaah !

Shalatlah berjamaah !"

Sampai suatu malam, Abdullah bin Zaid yang berada dalam keadaan setengah tertidur melihat seorang laki-laki membawa genta.

_Abdullah ingin membelinya untuk memanggil shalat.
Orang itu berkata,_

"Akan kutunjukkan yang lebih baik daripada itu.

Berserulah Allahu Akbar !

Allahu Akbar !

Asyhadu allaa ilaaha illallah !

Asyhadu allaa ilaaha illallah !

Asyhadu anna Muhammadar Rasulullah !

Asyhadu anna Muhammadar Rasulullah !

Hayya 'alasshalah !

Hayya 'alasshalah !

Hayya 'alal falah !

Hayya 'alal falah !

Allahu Akbar !

Allahu Akbar !

Laa ilaaha illallah !"

Kemudian, orang tersebut berdiri ke tempat yang agak jauh dan mengajarkan bacaan iqamat.

Keesokan harinya, Abdullah bin Zaid mengabarkan mimpinya kepada Rasulullah.

Dengan wajah berseri, Rasulullah bersabda,

"Itu mimpi yang benar, Insya Allah.

Pergilah engkau menemui Bilal karena Bilal itu suaranya lebih tinggi dan lebih panjang.

Ajarkanlah Bilal segala apa yang diucapkan orang dalam mimpimu itu.

Hendaklah Bilal memanggil orang shalat dengan cara demikian itu !"

Bilal pun kemudian mengumandangkan adzan dan iqamat seperti yang diajarkan Abdullah bin Zaid kepadanya.

Mendengar Bilal, Umar bin Khattab datang tergopoh-gopoh menemui Rasulullah sambil berkata,

"Ya Rasulullah !

Demi Zat yang telah mengutus engkau dengan benar, sungguh semalam saya telah bermimpi bertemu seseorang dan berseru sebagaimana yang diucapkan Bilal."

Rasulullah pun bersabda,

"Segala puji bagi Allah, demikian itulah yang lebih tetap."

Seorang Laki-Laki Penduduk Syurga

Semakin lama, Bilal semakin dekat di hati Rasulullah, yang kemudian menyatakan Bilal sebagai seorang laki-laki penduduk surga.

Akan tetapi, sikap Bilal tidak berubah.

Ia tetap seorang yang mulia, besar hati, dan selalu memandang dirinya tidak lebih dari seorang Habasyah yang pernah menjadi budak belian.

Perjanjian dengan Kaum Yahudi

Sejak dari dulu Madinah bukan hanya dihuni oleh orang-orang Arab saja, melainkan juga kaum Yahudi.

Ada tiga keluarga besar Yahudi yang menetap di Madinah.

Bani Quraizhah, Bani Nadhir, dan Bani Qainuqa.

Orang-orang Arab yang tinggal di Madinah dari suku Aus dan suku Khazraj pernah saling bermusuhan selama puluhan tahun.

Setiap suku dipengaruhi oleh orang-orang Yahudi.

Namun, ketika Islam datang mempersaudarakan mereka, lenyaplah rasa permusuhan itu untuk selamanya.

Sejak saat itu, kaum Yahudi kehilangan pengaruh mereka atas orang Arab di Madinah.

Semakin hari, semakin gemilang dan majulah kaum Muslimin.

Hal itu tidak diterima dengan rela oleh kaum Yahudi.

Mereka pun mendirikan persatuan sendiri untuk menghalangi kemajuan Islam.

Melihat gelagat tidak baik ini, Rasulullah pun mengirimkan surat perjanjian kepada orang Yahudi.

Isinya kurang lebih sebagai berikut :

1. Janganlah kaum Yahudi dan Muslimin saling mendengki.

2. Janganlah kaum Yahudi dan Muslimin saling membenci.

3. Hendaklah kaum Yahudi dan Muslimin hidup bersama satu bangsa.

4. Hendaklah kaum Yahudi dan Muslimin mengerjakan ajarannya masing-masing dan tidak saling mengganggu.

5. Jika kaum Yahudi di serang musuh dari luar, Muslimin wajib membantunya.

6. Jika kaum Muslimin yang diserang, Yahudi wajib datang membantu.

7. Jika Kota Madinah diserang dari luar, kaum Yahudi dan Muslimin harus mempertahankannya bersama-sama.

Pada bagian akhir perjanjian disepakati bahwa apabila timbul perselisihan antara kedua belah pihak, Rasulullah akan menjadi hakimnya.

Demikian dalam perjanjian ini tercantum kebebasan beragama, keselamatan harta benda, dan kebebasan mengutarakan pendapat.

Kota Madinah dan sekitarnya menjadi tempat yang terhormat bagi seluruh penduduk karena penghuninya saling menghormati dan saling membela.

Perjanjian ini menunjukkan bahwa Rasulullah adalah pemimpin yang sangat cerdas.

Perjanjian ini belum pernah dilakukan oleh rasul-rasul terdahulu.

Suka Menipu dan Berkhianat

Perjanjian antara kaum Muslimin dan Yahudi ini kemudian dirusak oleh tabiat kaum Yahudi yang suka menipu dan berkhianat.

Makanya kaum Yahudi tidak senang dengan isi perjanjian yang telah disepakati tersebut, lalu mereka melanggarnya dengan berbagai penipuan dan pengkhianatan.

Bersambung

Sirah Nabi Bag 67: Nama Yatsrib Menjadi Madinah


اَللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَ عَلَى آلِ مُحَمد

Nama Yatsrib Menjadi Madinah

Yatsrib berasal dari nama Yatsrib bin Mahlail.

Ia adalah keturunan raja-raja Amaliqah yang dahulu pernah berkuasa di kota itu.

Setelah Rasulullah hijrah, beliau mengganti nama Yatsrib menjadi Madinah.

Cuaca di Kota Madinah sangat kering.

Pada musim dingin suhunya sangat rendah dan pada musim panas suhunya jauh lebih panas dari pada Mekah.

Banyak sahabat Muhajirin yang tidak kuat dengan cuaca tersebut dan jatuh sakit.

Mereka dilanda demam tinggi yang melemahkan tubuh.

Abu Bakar, Bilal, dan Amir bin Fuhairah termasuk yang jatuh sakit.

Saat sakit, Abu Bakar sering berkata,

"... mati itu lebih dekat dari pada tali sepatu kita."

Sementara itu, Bilal tidak suka berkata apa-apa jika sedang sakit.

Namun, ketika sakitnya hilang, ia sering menangis karena merindukan Mekah sambil berkata,

"Apakah aku dapat berjalan malam hari di lembah yang di sekelilingku ada pohon-pohon idzkir dan jalil (nama pohon yang banyak terdapat di Mekah).

Dan apakah pada suatu hari aku dapat sampai lagi ke tempat air Majinnah dan apakah dapat terlihat lagi olehku Gunung Syamah dan Gunung Thafil (dua buah gunung dekat Mekah)."

Akan halnya dengan Amir bin Fuhairah, jika menderita demam tinggi sering bersyair,

"Sungguh aku mendapati mati sebelum merasakannya ..."

Rasulullah amat prihatin dengan sakit beberapa orang sahabat akibat cuaca panas tersebut.

Beliau juga mendengar keluhan-keluhan mereka.

Karena itu, Rasulullah pun berdoa kepada Allah,

"Ya Allah, berikanlah kami rasa cinta pada Kota Madinah sebesar rasa cinta kami pada Mekah, atau bahkan lebih !

Ya Allah, berilah berkah pada pekerjaan kami untuk mencari nafkah, sehatkanlah Kota Madinah ini untuk kami, dan pindahkanlah panasnya ke tempat lain yang Engkau kehendaki."

Allah mengabulkan doa Rasulullah itu dan memindahkan panas Kota Madinah ke Dusun Juhfah yang letaknya 82 mil dari Madinah.

Selain berdoa dan mengatasi masalah cuaca, Rasulullah pun melakukan hal lain yang sangat indah agar kaum Muhajirin yang berasal dari Mekah tumbuh rasa cintanya pada Madinah.

Tabarruk

Tabarruk adalah mengaharapkan berkah.

Suatu ketika, saat Rasulullah tidur, datanglah Ummu Sulaim.

Melihat keringat Rasulullah yang sangat harum menetes, Ummu Sulaim menadahnya.

Tidak lama kemudian, Rasulullah bangun dan bertanya,

"Apa yang sedang kamu lakukan, wahai Ummu Sulaim ?"

Ummu Sulaim menjawab, "Kami mengharap berkahnya untuk anak-anak kecil kami,"

Rasulullah kemudian berkata, "Engkau benar."


Saling Bersaudara

Suatu hari, Rasulullah mengumpulkan para sahabat Muhajirin dan Anshar.

Di hadapan mereka, beliau bersabda, "Hendaklah kalian bersaudara dalam agama Allah dua orang - dua orang."

Para sahabat saling pandang. Beberapa di antara mereka tersenyum.

Kemudian, Rasulullah bersabda, "Hamzah bin Abdul Muthalib, singa Allah dan singa Rasul-Nya, bersaudara dengan Zaid bin Haritsah, putra angkat Rasulullah."

Kemudian Rasulullah menyebut nama-nama sahabat lain yang saling dipersaudarakan.

Seorang Muhajirin dipersaudarakan dengan seorang dari Anshar.

Tercatat dalam sejarah, ada seratus orang yang saling dipersaudarakan.

Lima puluh dari Anshar dan lima puluh dari Muhajirin.

Tujuan Rasulullah mempersaudarakan para sahabatnya adalah untuk menghilangkan rasa asing dalam diri sahabat Muhajirin di Kota Madinah.

Selama itu, persaudaraan ini ditujukan untuk menunjukkan bahwa semua orang Islam bersaudara.

Selain itu, juga agar setiap Muslim menjadi saling menolong yang kuat menolong yang lemah, yang mampu menolong yang kekurangan.

Buah persaudaraan ini akan dirasakan terus selama tahun-tahun sulit yang kelak ditempuh Rasulullah dan para sahabatnya di Madinah.

Ternyata, kalangan Anshar memperlihatkan sikap ramah yang luar biasa kepada saudara-saudara Muhajirin mereka.

Sudah sejak semula golongan Anshar menyambut gembira kaum Mihajirin.

Mereka begitu mengerti bahwa kaum Muhajirin meninggalkan segala yang mereka miliki, termasuk harta benda dan seluruh kekayaan di Mekah.

Sebagian besar dari mereka memasuki Madinah dengan perut lapar tanpa ada lagi yang dapat dimakan.

Apalagi mereka memang bukan orang berada dan berkecukupan.

Tentu saja sebagai kaum yang berbudi, kaum Muhajirin tidak begitu saja terlena dengan bantuan saudara-saudara Anshar mereka.

Kaum Muhajirin berusaha melakukan banyak pekerjaan agar mereka bisa kembali mandiri secepatnya.

Persaudaraan Sejati

Aqidah Islamiyah adalah dasar persaudaraan sejati.

Tidak mungkin dua orang yang berlainan agama bisa bersaudara seerat dua orang yang sama agamanya.

Rasulullah menghimpun hati para sahabatnya begitu dekat, sehingga tidak ada perbedaan di antara mereka kecuali ketakwaan dan amal shalih.

Bersambung

26 Februari 2020

Sirah nabi bag 66: Tempat Rasulullah ﷺ Menginap


اَللّٰهُمَّ صَلِّ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَ عَلَى آلِ سَيِّدِنَا مُحَمَّد

Tempat Rasulullah ﷺ Menginap

Semua keluarga di Yatsrib berebut menawarkan diri menjadi tuan rumah kepada Rasulullah ﷺ. Semuanya ingin agar Rasulullah ﷺ bersedia tinggal di lingkungan mereka. Rasulullah ﷺ mengetahui bahwa jika ia menentukan pilihan, keluarga yang tidak terpilih akan malu dan kecewa. Karena itu, beliau memasrahkan pilihan itu kepada Allah ﷻ. Dengan halus, beliau berkata kepada semua kepala keluarga,

“Biarkanlah untaku ini berjalan karena ia diperintah oleh Allah dan akan berhenti ditempat yang Allah kehendaki.”

Kaum Muslimin mengikuti Al Qushwa yang berjalan perlahan-lahan. Di suatu tempat milik dua orang anak yatim, unta Rasulullah ﷺ itu berhenti dan merebahkan perutnya ke pasir. Rasulullah ﷺ mengajak Al Qushwa berjalan lagi. Namun, tidak lama kemudian, ia kembali ke tempat semula dan merebahkan perutnya lagi ke pasir.

“Inilah tempat kediamanku, in syaa Allah,” demikian sabda Rasulullah ﷺ. Kemudian, beliau berdoa empat kali,

“Ya Allah, semoga Engkau menempatkan aku di tempat kediaman yang diberkahi dan Engkaulah sebaik-baik yang memberi tempat kediaman.”

Rasulullah ﷺ membeli tanah dari kedua anak yatim tersebut.

Rasulullah ﷺ turun dan bertanya,

“Di mana rumah saudaraku yang paling dekat dari sini?”

Dengan penuh gembira,

“Abu Ayyub segera menjawab, “Saya, ya Rasulullah! Itu rumah saya!”

Rasulullah ﷺ tersenyum dan berkata,

“Baiklah Abu Ayyub, jika Anda berkenan, aku akan tinggal di rumah Anda untuk sementara waktu. Silahkan sediakan tempat untukku.”

Abu Ayyub tergopoh-gopoh memasuki rumahnya karena begitu gembira. Disiapkannya tempat untuk Rasulullah ﷺ serapi mumgkin. Kemudian, ia kembali menghadap Rasulullah ﷺ dan berkata,

“Ya Rasulullah, sungguh saya sudah menyediakan tempat beristirahat bagi Tuan. Dengan berkah Allah, silahkan berdiri dan masuk ke dalam.”

Gentong Pecah

Rasulullah ﷺ tinggal di rumah Abu Ayyub. Abu Ayyub ingin Rasulullah ﷺ tinggal di lantai atas, tetapi Rasul ﷺ menolak. Suatu ketika gentong Abu Ayyub pecah dan airnya tumpah. Abu Ayyub dan istrinya segera menggunakan selimut satu-satunya untuk menyerap air agar tidak menetes ke tempat tinggal Rasulullah ﷺ. Setelah itu, Abu Ayyub mendesak Rasulullah ﷺ agar tinggal di atas. Akhirnya Rasulullah ﷺ pun bersedia tinggal di atas.

Mendirikan Masjid

Tujuh bulan lamanya, Rasulullah ﷺ dan keluarganya tinggal di rumah Abu Ayyub. Selama itu, Abu Ayyub, Sa’ad bin Ubadah, As’ad bin Zurarah, dan yang lainya mengirim makanan untuk keluarga Rasulullah ﷺ secukup-cukupnya. Setiap pagi dan petang, Ummu Ayyub memasak makanan dan tidak mereka makan sebelum terlebih dahulu mereka sajikan kepada Rasulullah ﷺ dan keluarganya. Demikianlah budi Abu Ayyub dan keluarganya kepada Rasulullah ﷺ.

Rasulullah ﷺ tinggal di rumah Abu Ayyub sampai beliau mendirikan masjid dan rumah sendiri. Ketika akan mendirikan masjid, Rasulullah ﷺ memgumpulkan Bani Najjar yang menjadi pemilik tanah ditempat itu.

“Wahai Bani Najjar,” demikian sabda Rasulullah ﷺ,

“hendaklah kalian tawarkan harga kebun-kebun ini kepadaku karena aku akan membelinya.”

“Ya Rasulullah, kami tidak akan menghargai kebun-kebun itu karena mengharap ridha Allah saja.”

Namun, Rasulullah ﷺ tetap meminta mereka memberikan harga walaupun
rendah. Akhirnya, Abu Bakar membayar harganya sebesar sepuluh dinar.

Setelah itu, bersama para sahabat, Rasulullah ﷺ membenahi tanah itu, membersihkan pohon, dan membongkar serta memindahkan kuburan yang sudah rusak. Setelah itu barulah mendirikan masjid.

Rasulullah ﷺ meletakkan batu pertama, lalu beliau meminta Abu Bakar meletakkan batu selanjutnya, kemudian beliau menyuruh Umar bin Khattab, setelah itu Utsman bin Affan, dan terakhir Ali bin Abu Thalib. Beliau bersabda,

“Mereka itulah khalifah-khalifah setelah aku.”

Setelah itu, semua orang bekerja keras dengan gembira dan penuh semangat. Sambil bekerja, Rasulullah ﷺ bersyair,

“Ya Allah sesungguhnya pahala itu pahala akhirat,
maka kasihilah sahabat-sahabat Anshar dan Muhajirin.”

Para sahabat menjawab syair Rasulullah ﷺ,

“Jika kami duduk termenung, padahal Nabi bekerja,
yang demikian itu sungguh perbuatan yang tidak pantas.”

Batu diangkat, diletakkan, disusun, dan disisipkan sampai akhirnya masjid pun selesai. Pagarnya dari batu dan tanah, tiangnya dari batang-batang kurma, atapnya pelepah kurma. Kiblatnya menghadap ke Baitul Maqdis. Ketika itu, Ka’bah belum menjadi kiblat.
Di sisi masjid, didirikan dua buah kamar untuk tempat tinggal Rasulullah ﷺ dan keluarganya. Sungguh, sebuah masjid sederhana yang penuh berkah.

Warna Masjid

Umar bin Khattab pernah berkata tentang bagaimana sebuah masjid dibangun. Kata beliau,

“Lindungilah orang-orang dari tampias hujan. Janganlah kalian mewarnai (dinding masjid) dengan warna merah atau kuning sehingga dapat menimbulkan fitnah.”

Bersambung

Sirah Nabi bag 65: Shalat Jum'at Pertama


اَللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَ عَلَى آلِ مُحَمد

Shalat Jum'at Pertama

Rasulullah berangkat dari Quba pada Jum'at pagi.

Beliau diiringi para sahabat Muhajirin dan Anshar.

Sebagian berkendaraan, sebagian lagi berjalan kaki.

Ketika waktu shalat Jum'at tiba, Rasulullah tengah melewati Wadi Ranuna.

Tempat itu dekat dengan perkampungan Bani Amr bin Auf.

Rasulullah berhenti dan mendirikan shalat Jum'at bersama para sahabatnya.

Itulah shalat Jum'at pertama yang didirikan Rasulullah.

Dalam shalat itu, Rasulullah berkhutbah,

"Wahai seluruh manusia hendaklah kalian mengerjakan amal kebaikan demi kalian sendiri.

Sungguh kalian mengetahui, demi Allah, sesungguhnya akan datang suatu hari ketika salah satu dari kalian dikejutkan oleh suara gemuruh, sehingga ia akan melupakan harta apa pun yang dimilikinya.

Pada hari itu, Allah akan berfirman kepadanya langsung tanpa ada yang menerjemahkan dan menghalang-halangi. Firman-Nya,

"Tidaklah telah datang seorang Rasul kepadamu lalu ia menyampaikan ajaran kepadamu dan Aku telah memberikan harta kepadamu serta Aku telah memberikan banyak karunia kepadamu.

Namun, semua itu kamu gunakan untuk dirimu sendiri."

"Saat itu, ia akan melihat ke kanan dan ke kiri, tetapi tidak melihat apa pun. Namun, ketika melihat ke muka, ia akan menatap Neraka Jahanam.

Siapa pun yang dapat menjaga wajahnya dari bahaya api neraka, walaupun dengan separuh kurma, hendaklah ia banyak menyebut kalimat thayyibah karena kalimat thayyibah itu adalah sesuatu yang indah yang akan diberi balasan sampai tujuh ratus kali lipat.

Keselamatan dan rahmat Allah serta barokah-Nya semoga dilimpahkan atas kamu dan atas Rasulullah."

Pada saat shalat Jum'at itu, Rasulullah berkhutbah setelah shalat didirikan.

Baru pada kemudian hari, Rasulullah mengubah cara itu sehingga khutbah dilakukan sebelum shalat Jum'at dilakukan.

Rasulullah pun melanjutkan perjalanan.

Setiap kali melewati sebuah perkampungan, orang-orang selalu berebut menawarkan tempat bersinggah dan beristirahat kepada beliau.

Namun, selalu mengulang jawaban yang sama,

"Biarkanlah unta ini berjalan, sesungguhnya ia diperintah Allah agar berhenti ditempat yang dikehendaki-Nya."

Tiba di Madinah

Kota Yatsrib dipenuhi bermacam perhiasan indah untuk menyambut kedatangan Rasulullah.

Ketika beliau tiba, seluruh kaum Muslimin perempuan dan laki-laki, anak-anak dan budak belian, keluar rumah untuk menyambut kedatangan Rasulullah yang telah lama mereka nantikan.

Anak-anak lelaki dan para budak laki-laki ramai-ramai berbaris di jalan seraya bersorak,

"Telah datang Muhammad! Telah datang Rasulullah !

Ya Muhammad !

Ya Rasulullah !"

Para pemuda dan laki-laki dewasa menghunus pedang dan tombak sebagai tanda siap mati membela Rasulullah.

Kaum Muslimin yang mengiringi Rasulullah dari Quba berseru bersama,

"Telah datang Nabi Allah !

Telah datang Nabi Allah !

Telah datang Nabi Allah !"

Sementara itu, anak-anak perempuan naik ke atas rumah seraya bersama membaca syair,

"Kami anak-anak perempuan keturunan Najjar, hai orang yang cinta bertetangga dengan Nabi Muhammad !"

Mendengar sambutan yang begitu hangat dan penuh sayang itu, Rasulullah bertanya,

"Apakah kalian semua cinta kepadaku ?"

"Ya, sudah tentu ya Rasulullah !" jawab semuanya.

Dengan hati bergetar penuh kasih, Rasulullah bersabda,

"Allah mengetahui bahwa hatiku sangat mencintai kalian semua."

Ada orang yang menangis, ada juga orang yang tersenyum saat mendengar pernyataan cinta dari Rasulullah yang begitu mulia, yang begitu mereka cintai, dan yang begitu mereka rindukan.

Maka rebana-rebana pun berbunyi dan kaum wanita berpantun.

طلع البدر علينا  ¤  من ثنية الوداع

Thola’al badru ‘alaynâ min tsaniyyatil wadâ’i

وجب الشکر علينا  ¤  ما دعا لله داع

Wajabasy-syukru ‘alaynâ mâ da’â lillâhi dâ’î

أيها المبعوث فينا  ¤  جئت بالأمر المطاع

Ayyuhâl mab’ûtsu fînâ ji'ta bil amril muthô’i

Telah terbit purnama di atas kita.

Dari kampung Tsaniyyatil Wada.

Wajiblah kita bersyukur akan apa yang diserukan penyeru.

_Duhai orang yang diutus kepada kami.
Engkau datang dengan perintah yang ditaati._

Demikian seterusnya, pantun-pantun kehormatan diucapkan oleh kaum Muslimin laki-laki dan perempuan ketika mereka menyambut kedatangan Rasulullah.

Itu adalah suatu saat yang amat membahagiakan dan tidak akan pernah terulang lagi dalam sejarah, suatu penyambutan yang begitu tulus dan penuh cinta.

Muhajirin yang Pertama

Abu Salamah bin Abdul Asad adalah Muhajirin yang pertama tiba di Madinah.

Setelah itu, menyusul Amir bin Rabi'ah bersama istrinya, Laila binti Abi Hasymah.

Beliaulah wanita Muhajirin yang pertama tiba di Madinah.

Bersambung

25 Februari 2020

Sirah nabi Bag 64: Rasulullah Tiba Di Quba


اَللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَ عَلَى آلِ مُحَمد

Rasulullah Tiba di Quba

Kaum Muslimin di Yatsrib sudah mendengar bahwa Rasulullah telah meninggalkan Mekah.

Oleh sebab itu mereka menanti-nanti dan berharap-harap kedatangan beliau.

Bahkan beberapa dari mereka pergi ke Quba, suatu kampung yang letaknya beberapa mil dari Yatsrib untuk menyambut Rasulullah.

Setiap pagi mereka pergi bersama-sama ke tempat itu.

Jika sampai siang Rasulullah belum datang, mereka pergi dan berteduh sebentar di tempat lain.

Ketika petang tiba, dan Rasulullah belum juga tiba, mereka pulang ke Yatsrib.

Begitu terus setiap hari.

Rasulullah dan rombongan memang masih agak jauh dari Yatsrib.

Suatu hari ketika panas matahari tengah begitu terik, Rasulullah tiba di Quba.

Saat itu, penduduk Quba juga sudah banyak yang memeluk Islam.

Mereka juga tengah menanti-nanti kedatangan Rasulullah.

Namun, tidak seorang pun yang sudah mengenal wajah Rasulullah dan Abu Bakar.

Oleh sebab itu, ketika beliau dan Abu Bakar berteduh di bawah pohon kurma, tidak seorang pun yang datang menyambut.

Sampai akhirnya, lewatlah seorang Yahudi yang mengetahui Rasulullah dan Abu Bakar yang tengah berteduh itu.

Yahudi itu segera naik ke tempat yang tinggi dan berteriak sekeras-kerasnya,

"Hai orang-orang Arab !

Itulah orang yang kamu harap-harap dan kamu nanti-nanti kedatangannya !Ia telah berada di sini !

Ia telah datang !"

Demikian teriak orang Yahudi itu berulang-ulang.

Orang-orang Quba datang berduyun-duyun ke tempat Rasulullah berteduh.

Ketika tiba, mereka memberi hormat kepada Abu Bakar.

Melihat itu, Abu Bakar segera membuka selendangnya dan meneduhi Rasulullah.

Barulah orang-orang sadar bahwa mereka telah salah menyalami orang.

Orang-orang meminta Rasulullah beristirahat selama beberapa hari di Quba.

Rasulullah pun mengabulkan permintaan itu.

Beliau tinggal di rumah seorang sahabat Anshar bernama Kaltsum bin Hadam.

Kerinduan pada Rasulullah

Banyak penduduk Muslim Yatsrib yang belum melihat Nabi Muhammad.

Kerinduan akan sosok Rasulullah melambung saat menanti kedatangan beliau.

Mereka ingin bertemu laki-laki yang telah menderita jiwa dan raga dalam berjuang, terusir dari kampung halaman, tetapi tetap bersemangat, percaya diri, kokoh, berhati tulus, dan terus berdakwah, tanpa pernah berhenti.

Hijrah Ali bin Abu Thalib

Bagaimana dengan Ali bin Abu Thalib, sesuai dengan pesan Rasulullah, setelah mengembalikan barang-barang titipan kepada pemiliknya, Ali bin Abu Thalib berangkat hijrah.

Ali pergi mengawal keluarga Rasulullah dan keluarga Abu Bakar.

Mereka adalah Fatimah, Ummu Kultsum, Saudah, Ummu Aiman dan anaknya, Usamah.

Selain itu juga turut istri Abu Bakar, Ummu Ruman dan anak-anaknya, Aisyah, Asma, dan Abdullah.

Juga ada orang-orang Muslim lain yang lemah dan tidak berdaya.

Terbayang dengan jelas betapa beratnya tugas Ali bin Abu Thalib saat berhijrah.

Apalagi mereka semua kekurangan, sehingga Ali bin Abu Thalib harus berjalan kaki menempuh jarak lebih dari 400 kilometer di tengah padang pasir itu.

Selama perjalanan, mereka berhenti dan bersembunyi pada siang hari untuk menghindari kejaran pasukan Quraisy.

Jika malam tiba, barulah mereka berangkat dan meneruskan perjalanan.

Akhirnya, tibalah rombongan hijrah Ali bin Abu Thalib di Quba.

Di sana, mereka berjumpa dengan Rasulullah yang masih berada di tempat itu.

Begitu jauh dan beratnya perjalanan, kaki Ali bin Abu Thalib membengkak dan dipenuhi luka di sana-sini.

Rasulullah merasa sangat iba kepada sepupunya ini.

Beliau berdoa kepada Allah memohon agar Allah berkenan menyembuhkan semua luka di kaki Ali dan memulihkan kekuatannya seperti sedia kala.

Dengan kedua tangan beliau yang mulia itu, Rasulullah mengusap kaki Ali bin Abu Thalib.

Alhamdulillah, segera saja pulihlah semua luka, kempislah bengkak, dan lenyaplah semua rasa sakit dari kaki Ali bin Abu Thalib.

Saat Ali bin Abu Thalib dan orang-orang yang dikawalnya tiba di Quba, Rasulullah telah berhenti di sana selama lebih dari sepuluh hari.

Dalam sepuluh hari itu, beliau dan para sahabat yang lain telah membangun sebuah masjid.

Itulah masjid pertama dalam sejarah Islam.

Di dalam Al Qur'an, Allah menyebut masjid itu dengan nama Masjid Taqwa.

Sampai kini, masjid itu dikenal sebagai Masjid Quba.


Masjid Quba

Rasulullah adalah orang pertama yang meletakkan batu untuk mendirikan Masjid Quba.

Setelah itu, beliau menyuruh Abu Bakar lalu Umar bin Khattab dan setelahnya Utsman bin Affan.

Ammar bin Yasir adalah orang yang pertama kali membangun temboknya.

Kemudian, para sahabat Muhajirin dan Anshar membangunnya bersama-sama.

Begitu masjid selesai kaum Muslimin di Quba menyangka Rasulullah akan tinggal di Quba lebih lama lagi.

Namun, Allah memerintahkan Rasulullah untuk berangkat ke Yatsrib.

Begitu mengetahui hal itu, dengan wajah sedih, Kaum Muslimin Quba mendatangi Rasulullah dan bertanya pelan,

"Ya Rasulullah apakah Tuan memang menghendaki rumah yang lebih baik daripada rumah kami ?"

Rasulullah mengerti betapa besar rasa sayang kaum Muslimin Quba terhadap dirinya.

Beliau pun menjawab dengan kata-kata yang sangat halus,

"Oh tidak begitu, Allah memerintahkan saya berangkat ke Yatsrib.

Karenanya, hendaklah Tuan-Tuan membiarkan unta saya terus melanjutkan perjalanan."

Sebelum berangkat, Rasulullah berdiri di Masjid Quba.

Para sahabat berkumpul dihadapan beliau.

Rasulullah bertanya kepada mereka,

"Apakah Anda sekalian orang-orang beriman ?"

Semuanya terdiam, tidak seorang pun yang berani menjawab.

Kemudian, Rasulullah bertanya lagi,

"Apakah Anda sekalian orang-orang yang beriman ?"

Kembali semua orang terdiam kecuali Umar bin Khattab.

Saat itu Umar menjawab,

"Ya Rasulullah, sesungguhnya mereka semua orang-orang beriman dan saya termasuk salah seorang dari mereka."

Rasulullah bertanya lagi,

"Apakah anda sekalian percaya pada keputusan Allah ?"

Kali ini semuanya menjawab, "Ya."

"Apakah Anda sekalian bersabar akan malapetaka yang menimpa ?"

"Ya, ya Rasulullah."

"Dan apakah Anda sekalian "Bersyukur saat mendapat kebahagiaan ?"

"Ya, kami bersyukur ya Rasulullah."

"Demi Tuhan, kalau begitu Anda sekalian orang-orang beriman."


Mengapa Masjid  Dibangun Lebih Dulu ?

Masyarakat Islam tidak akan tegak jika tidak ada masjid.

Oleh karena itu, perbedaan pangkat, kekayaan, kedudukan, dan lainnya akan terhapus jika umat Islam selalu bertemu setiap hari di masjid untuk menyembah Allah.

Masjid juga merupakan tempat berkumpulnya kaum Muslimin untuk mempelajari syariat Allah.

Bersambung

Sirah Nabi bag 63: Buraidah


اَللّٰهُمَّ صَلِّ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَ عَلَى آلِ سَيِّدِنَا مُحَمَّد

Buraidah

Tidak hanya Suraqah bin Malik yang mengincar hadiah seratus ekor unta. Pemimpin Kabilah Banu Sahmin yang bernama Buraidah bin Al Hasib Al Aslami juga keluar mencari beliau. Ia memimpin tujuh puluh orang prajurit dan menyusuri jalan-jalan ke arah Yatsrib. Di suatu tempat, tiba-tiba saja secara kebetulan mereka bertemu rombongan Rasulullah ﷺ.

“Kepung!” perintah Buraidah. Beberapa detik kemudian, tujuh puluh pedang, tombak, dan panah mengurung Rasulullah ﷺ dan memaksa beliau berhenti. Buraidah menegur Rasulullah ﷺ. Beliau pun menjawabnya. Kemudian, sebelum Buraidah sempat bertanya lagi, Rasulullah ﷺ mendahuluinya, “Siapa Anda?”

“Saya Buraidah bin Al Hasib.”

Dengan tenang Rasulullah ﷺ berkata kepada Abu Bakar, “Mudah-mudahan suasana mencekam ini kembali menjadi lebih baik.”

Kemudian, beliau memandang kembali Buraidah dan bertanya, “Dari keturunan siapa Anda?”

“Dari desa Aslam, keturunan Sahmin.”

Kembali Rasulullah ﷺ memalingkan wajahnya ke Abu Bakar dan berkata, “Kita telah selamat dan keluar dari jangkauan panah mereka.”

“Siapakah engkau?” Kali ini Buraidah yang bertanya.

“Saya Muhammad bin Abdullah bin Abdul Muttalib.”

Dengan kehendak Allah ﷻ, saat itu juga Buraidah mengucapkan dua kalimat syahadat dan memeluk Islam.
Melihat pemimpin mereka memeluk Islam, tujuh puluh orang pasukan pengepung pun mengikuti jejaknya.

Setelah itu, Buraidah dan pasukannya mengawal rombongan Rasulullah ﷺ sampai keluar dari wilayah mereka.

Dalam situasi diburu dan dikejar pun, Rasulullah ﷺ tetap mampu mengumpulkan pengikut, berkat ketenangan, kekuatan iman, dan pertolongan Allah ﷻ.

Penyebaran Islam di Yatsrib

Pesatnya perkembangan Islam di Yatsrib tidak lepas dari jasa Mush’ab bin Umair yang diutus Rasulullah ﷺ ke Yatsrib untuk mengajarkan Islam. Mush’ab yang cerdas dan berhati lembut mampu membuat orang yang memusuhinya menjadi kawan.

Berikut ini adalah salah satu kisah kecemerlangan dakwah Mush’ab bin Umair.

Jauh sebelum Rasulullah ﷺ dan kaum Muslimin Mekah berhijrah, di Yatsrib, Mush’ab bin Umair sedang mengajarkan Islam kepada sekelompok orang di kebun Bani Zafar. Sa’ad bin Muadz tidak senang mendengar berita ini. Ia lalu mendatangi Usaid bin Hudhair. Kedua orang ini adalah para pemimpin kaumnya.

“Usaid temui orang Mekah itu. Dia datang ke daerah kita dan mengajarkan agama baru kepada orang-orang kita. Agama itu bisa membuat orang lemah dan miskin bangkit melawan kita.”

Mendengar itu, Usaid pergi menjinjing tombak ke kebun Bani Zafar. Ditegurnya Mush’ab bin Umair dengan tombak teracung. Namun, Mush’ab berkata tenang, “Maukah kau duduk dulu dan mendengarkan? Kalau kau tidak menyukainya, aku bersedia pergi dari sini.”

Usaid berpikir sejenak, “Baiklah, itu cukup adil.”

Kemudian, ia duduk dan mendengarkan Mush’ab. Semakin lama, hati Usaid makin tertarik. Akhirnya, ia memeluk Islam saat itu juga. Setelah itu, ia menemui Sa’ad bin Muadz.

“Apa? Jadi sekarang justru engkau ikut memeluk agama baru itu?” teriak Sa’ad marah.

Ia pun bergegas menemui Mush’ab sambil menyandang pedangnya. Namun, apa yang terjadi pada Usaid, terjadi pula pada Sa’ad. Begitu mendengar penjelasan Mush’ab tentang Islam, ia begitu tertarik sehingga menjadi Muslim saat itu juga.

Setelah itu, tanpa membuang waktu, ia pergi menemui kaumnya dan berseru, “Hai Banu Abdul Asyhal, apa yang kalian ketahui tentang diriku?”

“Engkau adalah pemimpin kami, yang paling dekat dengan kami, engkau punya pendapat dan pengalaman yang terpuji.”

Maka kata-katamu, baik wanita maupun pria, bagiku adalah suci selama kalian beriman kepada Allah dan utusan-Nya,” demikian seru Sa’ad bin Muadz.

Sejak saat itu, seluruh suku Abdul Asysal memeluk Islam.

Amr bin Jamuh

Keberanian kaum Muslimin di Yatsrib benar-benar di luar dugaan kaum Muslimin di Mekah. Para pemuda di sana dengan sangat berani mempermainkan berhala-berhala orang-orang yang masih musyrik.

Amr bin Jamuh adalah seorang bangsawan dari Banu Salamah. Ia mempunyai sebuah berhala bernama Manat yang terbuat dari kayu. Setelah itu para pemuda dari Banu Salamah masuk Islam, diam-diam mereka mengambil Manat pada malam hari dan memasukkan berhala kayu itu ke dalam lubang penuh lumpur.

“Manat! Kemana Tuhanku itu?” seru Amr bin Jamuh. Pagi-pagi sekali, ia sudah datang ke tempat penyembahan dan kebingungan mencari Manat yang hilang. Setelah mencari kesana kemari, ia menemukan Manat tersuruk di tempat yang sangat kotor.

Amr segera mengambil, mencuci, dan membersihkan tuhannya itu sampai bersih dan meletakkannya lagi di tempat semula.

“Siapa yang berani mengganggu Manat, akan kutebas lehernya!” ancam Amr bin Jamuh kepada orang-orang disekitarnya.

Namun, pada malam harinya para pemuda Muslim kembali mengambil dan memasukkan Manat ke lubang yang kotor dan berlumpur. Sambil menuduh-nuduh dan memgancam-ancam, Amr bin Jamuh kembali mencuci dan membersihkan tuhannya.

Begitulah terjadi berkali-kali sampai akhirnya rasa kesal Amr bin Jamuh berbalik pada Manat. Amr mengalungkan pedang pada Manat sambil berkata pada tuhannya itu, “Kalau kau memang berguna, bertahanlah! Kusertakan pedang ini bersamamu!”

Keesokan harinya, Amr sudah kembali kehilangan Manat. Ia menemukan tuhannya itu di dalam sumur bersama bangkai seekor anjing. Sementara itu, pedangnya hilang.

“Mengapa kau tidak membela dirimu? Mengapa kau biarkan dirimu terhina?” keluh Amr tidak berdaya.

Beberapa orang pemuka masyarakat yang sudah memeluk Islam mendekati Amr dan memgajaknya berbicara. Saat itu, sadarlah Amr bin Jamuh betapa sesatnya ia selama ini. Setelah itu, tanpa ragu lagi ia memeluk Islam dan menjadi Muslim yang taat.

Bersambung

24 Februari 2020

Sirah Nabi bag 62: Menuju Yatsrib


اَللّٰهُمَّ صَلِّ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَ عَلَى آلِ سَبِّدِنَا مُحَمَّد

Menuju Yatsrib

Tiga hari tiga malam lamanya, Rasulullah ﷺ dan Abu Bakar tinggal di Gua Tsur. Selama tiga hari itu pula, musyrikin Quraisy kelabakan. Abdullah bin Abu Bakar menjalankan tugasnya dengan sangat baik. Setiap hari ia memata-matai pembicaraan orang Quraisy dan menyampaikan ke Gua Tsur ketika petang tiba. Asma binti Abu Bakar setiap sore mengantarkan makanan bersama Abdullah. Sementara itu, Amir bin Fuhairah yang menggembalakan kambing di luar Gua Tsur selalu memerah susu kambing agar Rasulullah ﷺ dan Abu Bakar tidak kehausan sekaligus memberi tahu jika ada orang yang mendekat. Ketiga orang itu menjalankan tugasnya dengan tenang sehingga tidak satu pun orang Quraisy yang mencurigai gerak-gerik mereka.

Setelah tiga hari, kepanikan di kota Mekah sudah agak mereda. Saat itu lah Rasulullah ﷺ dan Abu Bakar berangkat ke Madinah. Mereka diiringi Abdullah bin Uraiqith, seorang penunjuk jalan yang saat itu masih kafir. Ketika akan berangkat, ternyata tidak ada tali yang dapat digunakan untuk menggantungkan makanan dan minuman di pelana unta. Asma memecahkan masalah itu. Dengan sigap ia merobek sabuknya menjadi dua helai kain panjang. Sejak saat itu, Asma dikenal dengan Dzatun Nithaqain (yang bersabuk dua).

Dengan cerdik Rasulullah ﷺ memilih jalan yang sulit dan tidak bisa dilalui orang. Beliau memilih jalan memutar ke tepi laut. Mereka berusaha secepatnya menjauhi Mekah dan menghindari daerah pemukiman.

Di Mekah orang ribut mendengar sebuah pengumuman yang sangat menarik,
“Siapa pun yang dapat menemukan Muhammad dan membawanya sampai ke Mekah, akan mendapat hadiah 100 ekor unta.”

Dengan cepat, berita itu menyebar sampai ke dusun-dusun yang jauh. Suraqah bin Malik, kepala kabilah Bani Mudlij, turut mendengar berita itu.

Suatu saat, ia didatangi seorang anggota kabilahnya yang datang tergopoh-gopoh.

“Tuan, tadi saya melihat dari jauh ada beberapa unta lewat di tepi pantai. Mungkin itulah Muhammad!”

“Bukan, itu orang lain!” kata Suraqah.

Namun, setelah berkata begitu, Suraqah cepat-cepat pulang dan mengambil senjata lengkap. Ia pacu kudanya ke arah yang ditunjukkan orang tadi.
Ternyata yang di buru Suraqah memang benar rombongan Rasulullah ﷺ.

Suraqah bin Malik

Dengan cepat, Suraqah telah berada di belakang rombongan Rasulullah ﷺ. Abu Bakar yang selalu waspada menoleh dan melihat musuh mendekat,

“Ya Rasulullah, ada orang mengejar kita! Kita tentu akan tertangkap!”

Namun, Rasulullah ﷺ tetap tenang. Tanpa menoleh ke belakang, beliau bersabda,

“Tenanglah sahabatku, jangan bersusah hati. Sesungguhnya Allah bersama kita.”

Kemudian, Rasulullah ﷺ berdoa, “Ya Allah, cukupkanlah kami akan dia (Suraqah) sekehendak Engkau.”

Saat itu juga, kuda Suraqah tergelincir dan penunggangnya terpelanting. Suraqah terdiam sejenak. Ia merasa ada yang tidak beres. Suraqah pun memaksa kudanya bangkit dan mengejar lagi.

Dengan keras kepala, Suraqah memaksa berdiri kudanya yang hampir tidak mampu bangkit. Ia lalu kembali mengejar. Untuk ketiga kalinya, namun Suraqah terjatuh lagi. Saat itu hilanglah niat jahat dalam hatinya. Ia memanggil-manggil Rasulullah ﷺ.

Beliau pun berhenti dan membiarkan Suraqah mendekat.

“Maafkan saya, beribu-ribu maaf!” kata Suraqah.
“Jangan engkau balas perbuatan saya, wahai Muhammad! Berilah saya sebuah surat jaminan bahwa engkau tidak akan membalas saya saat engkau dan agamamu kelak telah menguasai seluruh jazirah Arab.”

Rasulullah ﷺ tersenyum dan mengabulkannya.

“Tahukah Anda bahwa orang-orang Quraisy menjanjikan 100 ekor unta bagi siapa pun yang dapat membawa Anda kembali” ucap Suraqah.

Rasulullah ﷺ kembali tersenyum menyejukkan hati.
Dengan penuh semangat, Suraqah menawarkan bekal dan peralatan untuk perjalanan jauh. Namun, Rasulullah ﷺ menolaknya dengan halus. Beliau hanya berpesan agar Suraqah merahasiakan pertemuan ini.

Sebelum kembali berangkat, Rasulullah ﷺ bersabda,

“Ya Suraqah, suatu saat kelak engkau akan berpakaian dan memakai perhiasan, gelang, serta emas yang biasa di pakai raja-raja Persia.”

Dengan hati dipenuhi rasa bahagia, Suraqah memandang wajah Rasulullah ﷺ yang pergi menjauh.

Memerah Susu

Tidak lama kemudian, rombongan Rasulullah ﷺ melewati kemah seorang ibu yang bernama Ummu Ma’bad. Mereka pun berhenti untuk membeli kurma, daging, dan susu. Tempat seperti itu memang biasa menyediakan perbekalan untuk para musyafir yang lewat. Namun sayang, apa yang mereka inginkan ternyata sudah habis. Ummu Ma’bad yang baik hati merasa iba.

“Demi Allah, seandainya ada sesuatu yang Tuan-Tuan butuhkan, silahkan mengambilnya,Tuan-Tuan tidak perlu membayar.”

Rasulullah ﷺ melihat kambing kurus dan bertanya,

“Bagaimana keadaan kambing itu, Ummu Ma’bad? Apakah ia bisa mengeluarkan susu?”

“Kambing itu adalah kambing yang sakit-sakitan Tuan. Ia sama sekali tidak menghasilkan susu.”

“Apakah engkau memperkenankan saya memerah susunya? tanya Rasulullah ﷺ lagi.

“Silahkan jika memang Tuan mengira ia dapat menghasilkan susu.”

Dengan izin Allah ﷻ, kambing sakit-sakitan itu menghasilkan susu ketika Rasulullah ﷺ memerahnya. Susu itu beliau berikan kepada Abu Bakar, lalu Abdullah bin Uraiqith, dan terakhir untuk beliau sendiri. Sesudah itu, beliau memerahkan susu untuk Ummu Ma’bad. Dan, beliau memerahkan segelas lagi untuk suami Ummu Ma’bad.

“Ambillah ini satu gelas buat Abu Ma’bad jika nanti ia datang.”

Setelah itu, Rasulullah ﷺ dan rombongannya pun meneruskan perjalanan. Sesudah matahari terbenam, datanglah Abu Ma’bad. Melihat segelas susu telah disediakan untuknya, ia keheranan dan bertanya pada istrinya, dari mana segelas susu ini Ummu Ma’bad?”

“Ini dari kambing kita yang sakit-sakitan.”

Kemudian Ummu Ma’bad bercerita panjang lebar. Abu Ma’bad segera keluar dan memerah susu kambing yang kurus itu.

Ternyata sejak saat itu sampai mati kambing kurus itu selalu menghasilkan banyak susu.

Abu Ma’bad berkata kepada istrinya,

“Sungguh, saya bercita-cita apabila kelak saya dapat berjumpa dengan orang yang kau ceritakan itu, saya hendak menjadi pengikut dan sahabatnya.”

Bersambung

Sirah nabi bag 61: Memburu Rasulullah ﷺ


اَللّٰهُمَّ صَلِّ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَ عَلَى آلِ سَيِّدِنَا مُحَمَّد

Memburu Rasulullah ﷺ

Di Mekah, musyrikin Quraisy tampak panik. Para pembesar berkumpul sepagi mungkin. Dengan segera, pasukan berkuda disebar ke beberapa perkampungan seputar Mekah, untuk mencari Rasulullah ﷺ.

“Mengapa Muhammad bisa lolos? Bukankah kita telah mengepung begitu rapat sampai tidak seekor ular gurun pun dapat lolos?” teriak seorang pembesar.

Semua orang terdiam. Mereka berusaha mencari jawabannya. Namun, tidak seorang pun bisa menjelaskan apa yang terjadi.

“Sudahlah, itu tidak penting!” akhirnya seseorang berseru.

“Sekarang yang paling mendesak adalah menemukan Muhammad secepat mungkin! Ada yang punya usul?”

“Panggil pencari jejak paling ahli! Suruh dia melacak jejak Muhammad!”

Usul itu segera dijalankan. Pencari jejak yang amat ahli itu mengikuti jejak yang ditinggalkan Rasulullah ﷺ. Pasukan bersenjata lengkap mengikuti di belakangnya dengan wajah tidak sabar. Sebagian besar dari mereka adalah para pemuda yang semalam ditugaskan menyergap Rasulullah ﷺ.

Setelah bekerja dengan teliti, pencari jejak itu menarik napas sambil menggeleng, “Jejaknya sudah terhapus oleh orang yang lalu lalang tadi pagi!”

“Gawat!” gemas seseorang. “Apa kau punya usul lain, pencari jejak?”

“Siapa sahabatnya? Kita bisa bertanya kepada sahabat Muhammad yang paling dekat!”

Orang Quraisy saling pandang dan serempak bergumam, “Abu Bakar!”

Dipimpin Abu Jahal, pasukan pencari itu tiba di rumah Abu Bakar. Asma binti Abu Bakarlah yang keluar membukakan pintu.

“Di mana ayahmu?” bentak Abu Jahal.

“Dia pergi dan saya tidak tahu ke mana perginya,” jawab Asma dengan berani.

“Jangan berdusta! Katakan ke mana perginya?”

“Saya tidak tahu! Di rumah hanya ada ibu dan saudari saya.”

“Ah, terlalu!” sambil bersungut, Abu Jahal menampar wajah Asma keras-keras.

Sarang Laba-Laba

Ketika mereka keluar kota dan menjajaki beberapa jalan, sang pencari jejak menemukan jejak mencurigakan. Kemudian, satu kelompok pasukan berkuda mengikuti jejak itu sampai tiba di kaki Gunung Tsur. Namun, di situ jejak terputus. Mereka kebingungan.

“Ke mana arah kita? Ke kanan atau ke kiri?” tanya komandan pasukan. “Apakah Muhammad masuk ke dalam gua itu atau terus mendaki ke puncak?”

“Aku tidak tahu,” geleng si Pencari Jejak.

Namun, lewatlah seorang gembala dan mereka menanyainya.

“Mungkin saja mereka ke dalam gua itu,” jawab sang gembala.
“Tapi aku tidak melihat ada orang yang menuju ke sana.”

Di dalam gua, keringat dingin Abu Bakar keluar, ketika mendengarnya,

“Bagaimana kalau mereka sampai masuk ke dalam sini? Bukan keselamatanku yang aku khawatirkan, melainkan keselamatan Rasulullah!” kata Abu Bakar dalam hati.

Beberapa pemuda naik dan melongok-longok ke mulut gua. Jantung Abu Bakar hampir lepas. Ia berbisik, “Ya Rasulullah, kalau ada yang menengok ke bawah, pasti kita akan terlihat.”

Rasulullah ﷺ menjawab mantap, “jangan takut Abu Bakar, sesungguhnya Allah bersama kita.”

Para pemuda itu turun, kembali ke pasukannya.

“Mengapa kalian tidak masuk ke dalam gua?” tanya komandan mereka dingin.

“Gua itu tertutup sarang laba-laba! Tidak mungkin Muhammad masuk ke dalam tanpa merusaknya!”

“Lagi pula ada dua ekor merpati hutan bersarang tepat di mulut gua!” lapor yang lain. “Jika Muhammad ﷺ masuk ke dalam, sarang itu juga pasti akan rusak.”

Komandan pasukan mengalihkan mukanya ke arah lain sambil menghela napas, “Baiklah, naik kudamu! Kita cari ke arah lain!” Pasukan pun menjauh.

Sarang laba-laba dan burung merpati yang menutupi gua itu adalah pertolongan yang diberikan Allah ﷻ. Padahal sebelum Rasulullah ﷺ dan Abu Bakar masuk, tidak ada laba-laba dan burung merpati yang bersarang.
Selain laba-laba dan burung merpati, di mulut gua juga mendadak tumbuh sebatang pohon yang menghalangi sebagian jalan masuk.
Di dalam, Abu Bakar menarik napas lega. Keimanannya kepada Allah ﷻ dan Rasul-Nya ﷺ semakin bertambah kuat.

Perjuangan Anak Muda

Abdullah bin Abu Bakar dan saudarinya, Asma binti Abu Bakar, masih muda ketika mereka membantu hijrah Rasulullah ﷺ dan ayah mereka. Abdullah bertugas mencari berita di tengah kaum Quraisy, sedangkan Asma mengirimkan makanan ke gua. Itulah ciri khas para pemuda Muslim sepanjang zaman. Mereka tidak hanya tekun beribadah ritual, tetapi juga mengerahkan seluruh kesanggupanya untuk berjuang.

Menenteramkan Kakek

Abu Quhafah adalah ayah Abu Bakar. Dia buta. Setelah Abu Bakar hijrah, Abu Quhafah mendatangi Asma. Sang kakek khawatir Abu Bakar tidak meninggalkan sepeser pun untuk putrinya.
Memang demikian, karena Abu Bakar membawa semua uangnya untuk perjuangan Islam di Madinah.
Asma membungkus batu dan berkata, Ayah telah meninggalkan banyak uang untuk kami. Abu Quhafah meraba batu itu dan hatinya tentram karena ia menyangka Abu Bakar memang meninggalkan uang yang banyak.

Bersambung

23 Februari 2020

Antara ikhlas dan bangga


Apakah ikhlas itu?
Apakah sikap bangga (bangga terhadap diri sendiri, bangga kepada keyakinan kelompok, bangga terhadap pemahaman) bisa mengotori ikhlas?

Ikhlas secara bahasa adalah memurnikan sesuatu dan mengosongkannya dari selain-Nya.
Maka sesuatu disebut murni, jika ia bersih dari yang mengotori nya dan terbebas dari nya, dan perbuatan yang murni, bersih dari kotoran-kotoran, maka itu disebut ikhlas.

Allah SWT berfirman:

وَاِ نَّ لَـكُمْ فِيْ الْاَ نْعَا مِ لَعِبْرَةً ۗ نُّسْقِيْكُمْ مِّمَّا فِيْ بُطُوْنِهٖ مِنْۢ بَيْنِ فَرْثٍ وَّدَمٍ لَّبَنًا خَا لِصًا سَآئِغًا لِّلشّٰرِبِيْنَ

"Dan sungguh, pada hewan ternak itu benar-benar terdapat pelajaran bagi kamu. Kami memberimu minum dari apa yang ada dalam perutnya (berupa) susu murni antara kotoran dan darah, yang mudah ditelan bagi orang yang meminumnya."
(QS. An-Nahl 16: Ayat 66)

Maka susu yang KHALISH adalah yang selamat dan bersih dari darah, kotoran, dan segala sesuatu yang dapat mengotori dan mengeruhkan kejernihannya.

Kalau dikaitkan dengan amal, ibadah, keyakinan, dan lainnya, maka ikhlas adalah melakukan semua hal diatas hanya semata-mata untuk Allah SWT.

Allah SWT berfirman:

قُلْ اِنَّ صَلَا تِيْ وَنُسُكِيْ وَ مَحْيَايَ وَمَمَا تِيْ لِلّٰهِ رَبِّ الْعٰلَمِيْنَ ۙ 

"Katakanlah (Muhammad), Sesungguhnya sholatku, ibadahku, hidupku, dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan seluruh alam,"

لَا شَرِيْكَ لَهٗ ۚ وَبِذٰلِكَ اُمِرْتُ وَاَ نَاۡ اَوَّلُ الْمُسْلِمِيْنَ

"tidak ada sekutu bagi-Nya; dan demikianlah yang diperintahkan kepadaku dan aku adalah orang yang pertama berserah diri (muslim)."
(QS. Al-An'am : Ayat 162- 163)


Wallahu a'lam

Cahaya Qur'an, GBJ, 23 Pebruari 2020

QS Al-Baqoroh ayat 45

QS Al-Baqoroh ayat 45:


 Jadikanlah sabar dan shalat sebagai penolongmu. Dan sesungguhnya yang demikian itu sungguh berat, kecuali bagi orang-orang yang khusyu'


Makna menjadikan sholat sebagai penolong adalah sesungguhnya didalam sholat terdapat bacaan ayat-ayat Al-Qur'an yang menyeru manusia agar menjahuhi kenikmatan dunia yang fana dan mencintai akhirat yang kekal abadi selama-lamanya. Dengan mengingat makna ini, maka sholat menjadi pemicu bagi pelakunya untuk senantiasa taat kepada Allah SWT dan bersungguh-sungguh.
sebagaimana riwayat dari Hudzaifah, dia berkata : Rosulullah SAW jika menghadapi suatu perkara maka beliau segera melakukan sholat.
Demikian juga diceritakan dalam sebuah riwayat bahwa suatu ketika Rosulullah SAW melihat Abu Hurairoh RA telungkup diatas perutnya, maka beliau bertanya: "Adakah engkau sakit perut?", ia menjawab : Benar wahai Rosulullah, Maka beliau bersabda :
"Bangun dan sholatlah, sesungguhnya dalam sholat itu terdapat kesembuhan". [HR Ibnu Majah]

Makna "demikian itu sungguh berat"
maknanya adalah sesungguhnya ia [sabar dan sholat] sangat besar dan berat.

Makna "kecuali bagi orang-orang yang khusyu'
artinya, orang-orang yang tunduk dan patuh dengan perintah-Nya, takut dengan siksa-Nya, dan yakin dengan janji dan ancaman-Nya. dan membenarkan apa yang diturunkan Allah [Al-Qur'an]

sumber : Cahaya Qur'an

Sirah Nabi Bag 60: Dikepung


اَللّٰهُمَّ صَلِّ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَ عَلَى آلِ سَيِّدِنَا مُحَمد

Dikepung

Abu Bakar berpesan kepada putranya, Abdullah, agar setiap hari mendengarkan rencana-rencana Quraisy saat mereka tahu Rasulullah ﷺ telah berangkat hijrah:

“Abdullah, setiap petang pergilah ke Gua Tsur tempat Rasulullah ﷺ dan aku bersembunyi. Ajaklah adikmu, Asma. Suruh ia membawa makanan untuk kami.”

Abu Bakar juga menugasi pembantunya, Amir bin Fuhaira, agar menggembalakan kambing-kambingnya di dekat Gua Tsur selama Rasulullah dan Abu Bakar sembunyi di situ. Amir bertugas memerah susu kambing untuk minum Rasulullah ﷺ dan Abu Bakar, sekaligus memberi peringatan jika orang-orang Quraisy itu mendekat.

Malam pun tiba, Rasulullah ﷺ telah besiap-siap. Beliau meminta Ali bin Abu Thalib untuk tidur di atas tempat tidur beliau dan menggunakan selimut yang biasa beliau kenakan.

Kemudian, datanglah para pembunuh ke rumah Rasulullah ﷺ. Mereka adalah para pemuda kekar yang berasal dari berbagai kabilah. Pembunuh-pembunuh itu bersenjata lengkap dan mengepung rumah Rasulullah ﷺ dari segala penjuru: depan, belakang, dan samping. Disertai para ketua kabilah, jumlah semuanya hampir seratus orang. Tampaknya tidak ada celah sedikit pun untuk meloloskan diri.

Menurut sebuah riwayat, salah seorang dari mereka mengintai ke dalam rumah Rasulullah ﷺ dengan memanjat. Konon, setiap kali ia memanjat, terdengarlah suara tangis seorang anak perempuan. Orang itu pun segera turun. Begitulah yang terjadi berkali-kali.

Menurut adat kesopanan Quraisy, terhinalah seorang ksatria yang memasuki rumah orang yang akan dibunuhnya dan hinalah seorang ksatria yang sampai merusak keamanan seorang perempuan. Anak perempuan tadi adalah seorang keluarga Rasulullah ﷺ yang terbangun dari tidurnya.

Demikianlah, para pembunuh terus berusaha mengintai untuk memastikan apakah Rasulullah ﷺ masih berada di rumah atau tidak. Ketika melihat Ali bin Abu Thalib yang tidur dengan berselimut, mereka menyangka itu adalah Rasulullah ﷺ. Dengan demikian, tenanglah mereka.

Rasulullah ﷺ Meloloskan Diri

Ketika saatnya tiba, Rasulullah ﷺ keluar rumah dengan sangat perlahan. Beliau mengambil segenggam pasir dan menaburkannya ke kepala para pengepung sambil membaca doa. Dengan pertolongan Allah, para pengepung itu tidak dapat melihat Rasulullah ﷺ ke luar rumah. Bahkan semuanya jadi mengantuk dan tertidur. Rasulullah ﷺ pun pergi.

Tidak lama kemudian, Abu Bakar datang. Setelah tahu apa yang terjadi, Abu Bakar segera menyusul Rasulullah ﷺ dan berhasil menemui beliau di tengah perjalanan menuju Gua Tsur. Pagi hampir tiba ketika tiba-tiba muncul seorang laki-laki tua yang tidak seorang pun pernah melihatnya. Orang tua itu berseru nyaring untuk membangunkan para pengepung, “Hai orang banyak! Kamu semua di sini sedang menunggu apa? Mengapa kalian tertidur demikian pulas?”

“Kami sedang menunggu Muhammad! Bukankah ia masih tidur di dalam!”

Orang itu menggeleng-geleng,
“Kasihan …. kasihan …. kasihan sekali kalian! Muhammad sudah pergi dari tadi setelah menaburkan pasir di kepala kalian!”

Para pemuda gagah itu bangkit, sambil membersihkan pasir di kepala mereka,
“Aduh, pasir di kepala kita! Sungguh keterlaluan! Keterlaluan!”

Salah seorang dengan gemas menggedor-gedor pintu rumah Rasulullah ﷺ. “Muhammad! Muhammad! Muhammad!”

Mereka kemudian menyerbu masuk dengan pedang terhunus. Hanya dalam waktu beberapa detik, mereka mengelilingi tempat tidur Rasulullah ﷺ.
Dengan kasar, selimut ditarik dan pedang-pedang terangkat siap untuk dihujamkan. Namun, Ali bin Abu Thalib yang tidur di tempat Rasulullah itu segera melompat bangun dan siap menghadapi maut.
Wajah para pemuda itu membeku pucat melihat bukan Rasulullah ﷺ yang berbaring.

“Mana Muhammad?” hardik mereka kasar.

“Aku tidak tahu!” jawab Ali bin Abu Thalib.

Para pemuda itu kemudian menggiring Ali bin Abu Thalib ke dekat Ka’bah. Di sana mereka memukul, menendang, dan menampar wajah beliau. Namun, Ali lebih baik mati daripada mengatakan di mana Rasulullah ﷺ berada. Dengan putus asa, mereka pun melepaskan Ali bin Abu Thalib yang telah bertahan demikian berani.

Di Gua Tsur

Saat itu Rasulullah dan Abu Bakar tiba di Gua Tsur. Selama berjalan, Abu Bakar sebentar-sebentar melangkah di muka Rasulullah ﷺ, lalu disamping, kemudian pindah ke belakang. Demikian berulang-ulang.

“Abu Bakar, saya tidak mengerti perbuatanmu ini?” ucap Rasulullah ﷺ.

“Ya Rasulullah, saya takut kita diikuti pengintai. Untuk mengelabuhi mereka, saya berpindah-pindah berjalan di dekat Anda.”

Saat itu Rasulullah ﷺ berjalan dengan kaki telanjang. Padahal beliau tidak biasa berjalan tanpa alas kaki. Akibatnya, kaki Rasulullah ﷺ dipenuhi luka. Tiba di Gua Tsur, Abu Bakar meminta Rasulullah ﷺ menunggu sebentar di luar. Abu Bakar tahu Gua Tsur banyak dihuni binatang-binatang liar, buas, dan berbisa seperti ular dan kalajengking. Tidak seorang manusia pun berani masuk ke dalamnya.

Abu Bakar pun masuk dan membersihkan gua tanpa menghiraukan bahaya yang mengancam. Ia merobek pakaiannya secarik demi secarik untuk menutup semua lubang yang terlihat. Setelah itu, dengan pakaian terkoyak-koyak, ia menyingkirkan batu-batu. Mendadak seekor ular yang bersembunyi di balik bebatuan itu menggigit kakinya dengan keras. Sakit sekali bekas gigitan itu seperti hendak meledakkan kepalanya. Namun, Abu Bakar menahan rasa sakit itu dan terus bekerja tanpa bersuara.

Setelah selesai, Rasulullah ﷺ pun masuk. Demikian lelahnya beliau hingga tertidur dengan meletakkan kepala di pangkuan Abu Bakar. Saat itu, rasa sakit bekas gigitan ular semakin terasa menyengat sampai-sampai air mata Abu Bakar menetes-netes. Setitik air mata itu menetes di muka Rasulullah ﷺ. Beliau bangun dengan terkejut.

“Mengapa engkau menangis wahai Abu Bakar?”

“Saya digigit ular, ya Rasulullah.”

“Oh, mengapa tidak engkau katakan dari tadi?”

“Saya takut membangunkan engkau.”

Rasulullah ﷺ memeriksa luka Abu Bakar dan mengusapnya. Seketika itu juga, bengkak dan rasa sakitnya lenyap. Kemudian, Rasulullah ﷺ bertanya,

“Kemana pakaianmu?”

Abu Bakar menceritakan semua yang terjadi. Rasulullah ﷺ terharu. Beliau pun berdoa, “Ya Allah, letakkan Abu Bakar kelak pada hari Kiamat pada derajatku!”

Bersambung

Sirah Nabi Bag 59: Umar dan Hamzah Hijrah


اَللّٰهُمَّ صَلِّ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَ عَلَى آلِ سَيِّدِنَا مُحَمَّد

Umar dan Hamzah Hijrah

Akhirnya berangkatlah kaum Muslimin secara berangsur-angsur.
Yang tinggal di Mekah saat itu hanyalah Rasulullah ﷺ, Abu Bakar, Ali bin Abi Thalib, Hamzah, Umar bin Khattab, dan beberapa gelintir orang yang tidak menemukan cara untuk meloloskan diri. Ketika Abu Bakar meminta izin untuk berhijrah, Rasulullah ﷺ menjawab, “Jangan tergesa-gesa, mungkin saja Allah memerintahkan aku berhijrah dengan disertai seorang kawan.”

Akhirnya, Hamzah pun berangkat bersama beberapa orang. Namun, beda dengan saudara-saudara Muslimnya yang berangkat dengan sembunyi-sembunyi. Hamzah bin Abdul Mutthalib berangkat terang-terangan sambil menyandang pedang. Sorot matanya seolah-olah berkata,

“Siapa pun yang berani mencegahku pergi, akan menghadapi tebasan pedang!”

Melihat sorot mata itu, tidak seorang Quraisy pun yang berani bertanya-tanya.

Setelah itu, Umar bin Khattab pun menyusul. Ia pergi bersama beberapa orang lemah dan miskin yang tidak mungkin dibiarkan pergi jika dikawal seorang pelindung yang disegani Quraisy.

Sambil menyandang pedang, meletakkan busurnya di pinggang. Umar bin Khattab pergi melewati Ka’bah. Tangannya menggenggam anak-anak panah. Di hadapan para pembesar Quraisy yang sedang duduk-duduk disitu, ia berkata,

“Siapa di antara kalian yang ingin ibunya merasakan kematian anaknya, yang ingin anaknya menjadi yatim, dan istrinya menjadi janda, temuilah aku di belakang lembah ini.”

Namun, tidak seorang pun beranjak memenuhi tantangan itu. Melihat tantangannya tidak terjawab, Umar bin Khattab melompat ke atas kuda dan pergi memimpin rombongan hijrah. Kepergiannya diikuti tatapan penuh rasa takut sekaligus benci orang-orang yang memusuhi Islam.

Kini, tinggallah Rasulullah ﷺ, Abu Bakar, dan Ali bin Abu Thalib yang belum berhijrah. Melihat Rasulullah ﷺ sendirian, para pemuka Quraisy merencanakan sesuatu yang jahat untuk mencelakakan beliau.

Quraisy Mengincar Rasulullah ﷺ

Pada sebuah pertemuan bernama Darun Nadwah, para pemimpin Quraisy berkumpul untuk menentukan sikap terhadap Rasulullah ﷺ.

“Sudah berkali-kali kita membicarakan kepergian Muhammad dan pengikutnya ke Yatsrib, tetapi sampai saat ini tidak ada satu pun tindakan yang bisa kita lakukan!” ujar seseorang.

“Betul, padahal persoalan ini begitu gawat buat kita. Sadarilah oleh kalian, jika Muhammad dan pengikutnya berkumpul di Yatsrib, suatu saat bisa saja mereka datang ke sini untuk menyerang kita!”

“Dan kafilah-kafilah dagang kita!” jerit yang lain. “Kafilah-kafilah dagang kita harus melalui daerah pinggiran Yatsrib untuk bisa sampai ke Syam! Apa jadinya jika perdagangan kita mereka tutup? Kita akan kelaparan dan menderita! Persis seperti kita mengurung Muhammad dan keluarganya selama beberapa tahun di Syi’ib Abu Thalib!”

Semua orang bergidik ngeri membayangkan kemungkinan itu. Sejenak tidak seorang pun tahu harus berkata apa. Sampai akhirnya, seseorang memecahkan keheningan,

“Kita harus segera bertindak! Kemukakan usul kalian tentang apa yang harus kita lakukan!”

“Masukkan dia dalam kurungan besi dan tutup pintunya rapat-rapat, kemudian kita awasi biar dia mengalami nasib seperti penyair-penyair semacamnya sebelum dia, seperti Zuhair dan Nabighah!”

Namun pendapat ini tidak mendapat dukungan yang lain.

“Kita usir dia! Buang saja dia keluar Mekah!”

Namun, nanti dia bisa bergabung dengan pengikutnya di Yatsrib!”

Akhirnya mereka menyetujui usul Abu Jahal yang sangat kejam,

“kita ambil seorang anak muda yang tangguh dan terpandang dari setiap suku. Kemudian suruh mereka menusuk Muhammad secara bersama-sama dengan pedang-pedang yang telah diasah setajam mungkin. Bani Abdu Manaf dan Bani Hasyim tidak akan bisa membalas kematian Muhammad karena seluruh suku di sini terlibat pembunuhan itu! Paling-paling kita hanya harus membayar ganti rugi yang bisa kita tanggung bersama-sama!”

Persiapan Hijrah Rasulullah ﷺ

Pada hari dilaksanakannya rapat untuk membunuh Rasulullah ﷺ. Jibril turun dan menyampaikan firman Allah ﷻ yang membongkar rencana Quraisy tersebut. Setelah itu, Jibril berkata,

“Ya Rasulullah! Jangan Anda tidur malam ini di atas tempat tidur yang biasa, sesungguhnya Allah menyuruh Anda agar berangkat hijrah ke Yatsrib.”

Jibril juga menyampaikan bahwa kawan hijrah Rasulullah ﷺ adalah Abu Bakar. Setelah mendengar perintah tersebut, tanpa membuang waktu lagi, Rasulullah ﷺ pergi ke rumah Abu Bakar.

Saat itu, tengah hari. Panas matahari terasa membakar kepala. Rasulullah ﷺ berjalan sambil menutup muka dan kepala. Begitu tiba di depan rumah Abu Bakar, beliau segera memanggil-manggil sahabatnya itu.

Abu Bakar terkejut,

“Rasulullah sampai memerlukan datang di tengah panas yang amat menyengat begini, pasti ada sesuatu yang penting.”

Tergesa-gesa Abu Bakar keluar menyambut Rasulullah ﷺ dan menyilakan beliau masuk. Rasulullah ﷺ duduk dan berkata,

“Allah telah mengizinkan aku keluar dan hijrah.”

Dengan hati berdebar dan penuh harap, Abu Bakar bertanya,

“Berkawan dengan ….. saya ya Rasulullah?”

Rasulullah ﷺ tersenyum, ” Ya dengan izin Allah.”

Saat itu juga, Abu Bakar menangis karena begitu bahagia. Sudah berbulan-bulan lamanya ia berharap agar Allah ﷻ memberinya kehormatan untuk menemani hijrah Rasulullah ﷺ. Saat ini, impiannya itu menjadi kenyataan.

Abu Bakar bangkit dan menunjukkan dua ekor unta yang sangat bagus,

“Ya Rasulullah ambillah salah satu dari kedua ekor unta ini untuk kendaraan Tuan.”

Rasulullah ﷺ kemudian memilih seekor unta dan beliau namakan Al-Qushwa. Abu Bakar segera berkemas. Beliau memerintahkan kedua putrinya, yaitu Aisyah dan Asma, untuk membantu menyiapkan bekal.

Rasulullah ﷺ cepat-cepat kembali ke rumah dan memanggil Ali bin Abi Thalib. Beliau berpesan agar Ali mengembalikan semua barang orang-orang yang sebelumnya dititipkan kepada Rasulullah ﷺ.

Pemandu

Rasulullah ﷺ dan Abu Bakar menyewa seorang pemandu atau penunjuk jalan bernama Abdullah bin Uraiqith. Ia termasuk orang Quraisy yang tinggal di luar kota Mekah. Ia hafal benar jalan-jalan dan situasi di daerah itu. Ia masih seorang musyrik, tetapi dapat dipercaya.

Daya Tahan Rasulullah ﷺ

Hijrah menandai berakhirnya periode Mekah dalam dakwah Rasulullah ﷺ. Selama 13 tahun berdakwah di Mekah, Rasulullah ﷺ telah menunjukkan daya tahan, kesabaran, dan ketabahan yang luar biasa. Beliau menerima semua perlakuan buruk orang kafir selama bertahun-tahun tanpa amarah, apalagi hingga patah semangat.

Bersambung

Sirah Nabi Bag 58: Ikrar


اَللّٰهُمَّ صَلِّ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَ عَلَى آلِ مُحَمَّد

Ikrar

Mereka mengulurkan tangan kepada Rasulullah ﷺ dan berikrar. Inilah yang tercatat dalam sejarah sebagai Baiat Aqabah kedua. Dalam Ikrar kedua ini, mereka berkata,

“Kami berikrar mendengar dan setia pada waktu suka dan duka, pada waktu bahagia dan sengsara, kami hanya akan berkata yang benar di mana saja kami berada, dan kami tidak takut kritik siapa pun atas jalan Allah ini.”

Rasulullah ﷺ menjabat tangan para lelaki, tetapi tidak menyentuh tangan wanita. Setelah itu, beliau berkata,

“Pilihlah dua belas orang pemimpin dari kalangan Tuan-Tuan yang akan menjadi penanggung jawab masyarakatnya.”

Mereka lalu memilih sembilan orang Khazraj dan tiga orang Aus. Kepada para pemimpin itu, Rasulullah ﷺ berkata,

“Tuan-Tuan adalah penanggung jawab masyarakat seperti pertanggungjawaban pengikut-pengikut Isa binti Maryam. Terhadap masyarakat saya, sayalah yang bertanggung jawab.”

Peristiwa ini selesai tengah malam di celah Gunung Aqabah, jauh dari masyarakat ramai. Saat itu,mereka berharap hanya Allah ﷻ saja yang mengetahui urusan mereka. Namun, ternyata ada orang lain yang kebetulan sedang lewat dan merasa curiga dengan suara-suara dari puncak bukit. Orang itu memanjati lereng gunung dan menyaksikan baiat Aqabah kaum Muslimin.

Ketentuan Perang

Salah satu isi penting ikrar Aqabah kedua ini adalah dicantumkannya ketentuan tentang perang. Pihak Anshar berjanji akan membela Rasulullah ﷺ sekali pun harus berperang dan mengorbankan jiwa. Semua itu dilakukan kaum Anshar tanpa pamrih sama sekali tidak mengharapkan apa pun dari Rasul kecuali keridhaan Allah ﷺ.

Quraisy Terkejut

Orang yang mengintai peristiwa ikrar tadi berteriak, memberi tahu penduduk Quraisy yang tinggal di Mina, tidak jauh dari Aqobah.

“Muhammad dan orang-orang yang pindah agama itu sudah berkumpul! Mereka akan memerangi kamu!”

Walau cuma mendengar selintas, orang itu mengetahui maksud kaum Muslimin. Dengan berteriak keras-keras, ia bermaksud mengacaukan baiat kaum Muslimin. Orang itu berharap kaum Muslimin jadi takut, gelisah, dan membatalkan perjanjian mereka dengan Rasulullah ﷺ.

Namun, tekad kaum Muslimin sudah tidak lagi tergoyahkan. Bahkan, dengan semangat menyala, Abbas bin Ubadah berkata kepada Rasulullah ﷺ,

“Demi Allah yang telah mengutus Tuan atas dasar kebenaran, kalau sekiranya Tuan berkenan, penduduk Mina itu besok akan kami habiskan dengan pedang kami!”

Rasulullah ﷺ menjawab, “Kami tidak diperintahkan untuk itu. Kembalilah ke kemah Tuan-Tuan.”

Dengan cepat dan diam-diam, kaum Muslimin kembali ke kemah mereka dan tidur sampai pagi, seolah-olah tidak pernah terjadi apa pun.

Akan tetapi, pagi itu, orang Quraisy sudah mengetahui berita adanya ikrar. Mereka benar-benar sangat terkejut. Para pemuka Quraisy berkumpul dengan cepat dan segera bertindak. Mereka mendatangi para pemimpin rombongan Aus dan Khazraj.

“Apa yang terjadi? Kami dengar tadi malam kalian menjanjikan sesuatu kepada Muhammad!” ujar pemimpin Quraisy setengah menuduh.

Tidak semua rombongan Aus dan Khazraj adalah Muslim. Kebetulan para pemimpin rombongan adalah mereka yang belum beriman.

“Tidak! Kalian pasti salah! Tidak seorang pun dari rombongan kami keluar perkemahan tadi malam!” bantah para pemimpin rombongan dari Yatsrib itu.

Tadi malam, kaum Muslimin memang bergerak diam-diam. Mereka tidak memberi tahu anggota rombongan yang belum beriman tentang perjanjian mereka dengan Rasulullah ﷺ. Akhirnya, orang-orang Quraisy kembali dengan hati ragu. Sementara itu, dengan tenang, anggota rombongan dari Yatsrib berkemas dan berangkat pulang.

Hijrah

Kaum Anshar atau ‘para penolong’, demikianlah Rasulullah ﷺ menjuluki para sahabat barunya dari kota Yatsrib.
Sebelum kaum Anshar datang, rasanya dakwah Islam akan berputar di sekitar Mekah saja. Padahal, seluruh penduduk Mekah sudah diancam habis-habisan oleh para pemimpin Quraisy agar tidak menjadi pengikut Rasulullah ﷺ. Di mata orang Quraisy, tiba-tiba saja Islam sudah menjadi kuat nun jauh di Yatsrib sana dan itu di luar jangkauan mereka.

Tanpa membuang waktu lagi, Rasulullah ﷺ memerintahkan para sahabatnya menyusul kaum Anshar ke Yatsrib. Dengan sangat cerdik, beliau memerintahkan kaum Muslimin hijrah dengan berpencar-pencar dan diam-diam agar tidak menimbulkan kepanikan Quraisy.

Mulailah mereka berhijrah sendiri-sendiri dalam kelompok-kelompok kecil. Cara seperti itu berbeda dengan yang dilakukan Nabi Musa yang membawa kaumnya berhijrah dalan kelompok besar sekaligus. Ketika orang Quraisy tahu, mereka mulai panik.

“Tahan mereka yang mencoba mengungsi itu! Kurung orang yang mencoba pergi!” perintah seorang pemimpin.

“Mengapa tidak kita bunuh saja?” seru yang lain.

“Apa kamu sudah tidak waras? Kalau kita bunuh, kabilahnya akan menuntut balas!
Quraisy akan dipecah dalam perang saudara! Itu sudah pasti akan menguntungkan Muhammad! Tidak, tidak ada yang di bunuh. Bujuk saja supaya mereka kembali kepada sesembahan lama. Iming-imingi dengan harta kalau perlu. Jika tidak mau juga, siksa dengan keras!”

Demikian keras orang Quraisy bertindak, sampai-sampai ada istri yang dipisahkan dari suaminya. Kalau istrinya orang Quraisy, ia tidak boleh ikut suaminya hijrah. Jika tidak menurut, wanita itu akan mereka kurung.

Semua itu rela dijalani kaum Muslimin. Mereka rela berpisah dari keluarga bahkan meninggalkan harta untuk berhijrah demi kebebasan menyembah Allah ﷺ.

Bersambung

Sirah Nabi Bag 57: Pengiriman Mush’ab bin Umair

اَللّٰهُمَّ صَلِّ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَ عَلَى آلِ سَيِّدِنَا مُحَمَّد

Pengiriman Mush’ab bin Umair

Setelah baiat terlaksana dengan sempurna, semua orang kembali ke perkemahan masing-masing sambil menyimpan kejadian itu baik-baik di dalam hati.

Musim haji pun segera selesai. Ketika rombongan Muslim Yatsrib berangkat pulang. Rasulullah ﷺ menyertakan seorang duta pertama. Tugas duta ini adalah mengajarkan syariat Islam dan pengetahuan agama kepada kaum Muslimin. Selain itu, ia juga berkewajiban menyebarkan ajaran Islam kepada orang-orang yang masih menyembah berhala.

Rasulullah ﷺ memilih Mush’ab bin Umair untuk melaksanakan tugas ini. Mush’ab termasuk pemeluk Islam pertama dan terpercaya dalam pengetahuan tentang hukum-hukum Allah ﷻ, bacaan Al-Qur’an, serta ketaatannya.

Setelah sahabat Rasulullah ﷺ itu datang, semakin banyak orang Yatsrib memeluk Islam. Seiring dengan itu, persatuan Aus dan Khazraj semakin kuat sampai akhirnya hilanglah rasa permusuhan di hati mereka masing-masing.

Jum’at Pertama

Melihat Islam berkembang demikian pesat, orang-orang Yahudi Yastrib amat khawatir. Mereka takut agamanya lenyap terdesak oleh Islam. Oleh karena itu, setiap hari Sabtu mereka berkumpul di suatu tempat dan mengadakan keramaian untuk menunjukkan keagungan agama mereka.

Ketika mendengar hal ini, Rasulullah ﷺ memerintahkan Umair untuk mengumpulkan kaum Muslimin setiap hari Jum’at untuk mengerjakan shalat dua rakaat berjamah. Mush’ab segera mengumpulkan kaum Muslimin di Hazmun-Nabit.
Itulah shalat jum’at pertama dalam sejarah Islam. Shalat pertama itu diikuti oleh empat puluh orang.

Abdurrahman bin Auf

Rasulullah ﷺ juga pernah memerintahkan Abdurrahman bin Auf secara diam-diam pergi ke daerah Damatul Jandal untuk berdakwah. Selama tiga hari, Abdurrahman bin Auf berdakwah sampai akhirnya pemimpin mereka Al Ashbag pun masuk Islam.

Baiat Aqabah Kedua

Satu tahun berikutnya, jumlah jama’ah haji dari Yatsrib lebih banyak, termasuk dalam rombongan itu tujuh puluh lima muslim. Dua di antaranya kaum perempuan.
Saat itu tahun 622 Masehi, tiga belas tahun sudah Rasulullah ﷺ berdakwah dengan lemah lembut, mengalah terhadap segala siksaan, serta menanggung semua kesakitan dengan kesabaran dan pengorbanan.

Tidak selamanya Allah ﷻ mengajarkan umat-NYA untuk terus mengalah. Suatu saat pukulan harus dibalas pukulan, serangan pun harus dibalas serangan. Dengan tujuan inilah Rasulullah ﷺ mengadakan pertemuan dengan ketujuh puluh lima Muslim itu.

Mereka bersepakat bertemu tengah malam di bukit Aqabah pada hari-hari tasyriq. Hari Tasyriq adalah tiga hari berturut-turut setelah hari Raya Qurban (Idhul Adha).

Kali ini mereka tidak bertemu di kaki bukit, tetapi di puncaknya. Semua orang mendaki lereng-lereng Aqabah yang curam, termasuk kedua Muslimah tersebut. Saat itu, Rasulullah ﷺ disertai pamannya, Abbas bin Abdul Muthalib. Abbas menyadari bahwa pertemuan ini dapat berakibat perang terhadap orang yang memusuhi keponakannya.

“Saudara-saudara dari Khazraj,” demikian Abbas berkata, “posisi Muhammad di tengah-tengah kami sudah diketahui bersama. Kami dan mereka yang sepaham dengannya telah melindunginya dari gangguan masyarakat kami sendiri. Dia adalah orang yang terhormat di kalangan masyarakatnya dan mempunyai kekuatan di negerinya sendiri. Namun, dia ingin bergabung dengan Tuan-Tuan juga. Jadi, kalau memang Tuan-Tuan merasa dapat menepati janji seperti yang Tuan-Tuan berikan kepadanya dan dapat melindungi dari mereka yang menentangnya, silahkan Tuan-Tuan laksanakan. Akan tetapi kalau Tuan-Tuan akan menyerahkan dia dan membiarkannya terlantar sesudah berada di tempat Tuan-Tuan, dari sekarang lebih baik tinggalkan saja.”

Orang-orang Yatsrib pun menjawab, “Sudah kami dengar yang Tuan katakan. Sekarang silahkan Rasulullah bicara. Kemukakanlah yang Tuan senangi dan disenangi Allah.”

Setelah membaca ayat Al-Qur’an dan memberi semangat Islam, Rasulullah ﷺ bersabda,

“Saya minta ikrar Tuan-Tuan untuk membela saya seperti membela istri-istri dan anak-anak Tuan-Tuan sendiri.”

Kesetiaan Kaum Anshar

Saad bin Ubadah, seorang pemimpin Anshar berkata kepada Rasulullah ﷺ,

“Hanya kepada kamilah Rasulullah menghendaki sesuatu. Demi jiwaku yang ada ditangan-NYA, andaikan engkau menyuruh agar kami menceburkan diri ke dalam samudra, tentulah kami akan melakukannya.”

Dialog Sebelum Ikrar

Seorang pemuka masyarakat yang tertua disitu, Al Bara’ bin Ma’rur, berkata,

“Rasulullah, kami sudah berikrar. Kami adalah orang peperangan dan ahli bertempur yang sudah kami warisi dari leluhur kami.”

Namun, sebelum Al Bara’ selesai bicara, Abu Haitham bin Tayyihan menyela,

“Rasulullah, kami memutuskan perjanjian dengan orang-orang Yahudi. Namun, apa jadinya kalau apa yang kami lakukan ini lalu kelak Allah memberikan kemenangan kepada Tuan, apakah Tuan akan kembali kepada masyarakat Tuan dan meninggalkan kami?”

Rasulullah ﷺ tersenyum dan berkata,

“Tidak, saya sehidup semati dengan Tuan-Tuan. Tuan-Tuan adalah saya dan saya adalah Tuan-Tuan. Saya akan memerangi siapa saja yang Tuan-Tuan perangi dan saya akan berdamai dengan siapa saja yang Tuan-Tuan ajak berdamai.”

Tatkala mereka siap berikrar, Abbas bin Ubadah menyela,

“Saudara-saudara dari Khazraj, untuk apakah kalian memberikan ikrar kepada orang ini? Kamu menyatakan ikrar dengan dia untuk melakukan perang terhadap yang hitam dan yang merah (perang habis-habisan melawan siapa pun). Kalau Tuan-Tuan merasa bahwa jika harta benda Tuan-Tuan binasa dan para pemuka Tuan-Tuan terbunuh, Tuan-Tuan hendak menyerahkan dia kepada musuh, lebih baik dari sekarang tinggalkan saja dia. Kalau pun itu yang Tuan-Tuan lakukan, ini adalah perbuatan hina dunia dan akhirat.
Sebaliknya, jika Tuan-Tuan dapat menepati seperti yang Tuan-Tuan berikan kepadanya itu, sekali pun harta benda Tuan-Tuan habis dan para pemimpin Tuan-Tuan terbunuh, silahkan saja Tuan-Tuan terima dia. Itulah suatu perbuatan yang baik, dunia dan akhirat.”

Orang-orang pun menjawab,

“Akan kami terima, sekali pun harta benda kami habis dan bangsawan kami terbunuh. Namun, Rasulullah, kalau dapat kami tepati semua ini, apa yang akan kami peroleh?”

Rasulullah ﷺ menjawab dengan tenang dan pasti, “Surga.”

Kepribadian yang Mengagumkan

Kesetiaan kaum Anshar pada saat baiat menunjukkan begitu dalamnya kepercayaan yang tertanam dalam hati mereka kepada Rasulullah ﷺ. Rasulullah ﷺ memiliki kepribadian yang daya pesonanya tidak dapat dijangkau kedalamannya. Siapa pun yang bergaul dengan beliau, pasti akan luluh dalam pesona itu.

Bersambung