27 Februari 2009

Mengenal Nabi Muhammad SAW

Beliau adalah Muhammad bin ‘Abdulâh bin ‘Abdul Muthalib bin Hasyim. Hasyim adalah termasuk suku Quraisy, suku Quraisy termasuk bangsa ‘Arab, sedang bangsa ‘Arab adalah termasuk keturunan Nabi Ismâ’îl a.s, putera Nabi Ibrâhîm Al-Khalil. Semoga Allâh melimphkan kepadanya dan kepada Nabi kita sebaik-baiknya shalawat dan salam.

Beliau berumur 63 tahun; diantaranya 40 tahun sebelum Beliau menjadi nabi dan 23 tahun sebagai nabi serta rasûl.
Beliau diangkat sebagai nabi dengan surat “Iqra” (Yakni Surat Al-Alaq (96) : 1-5) dan diangkat sebagai rasul dengan surat “Al-Muddatstsir”.
Tempat asal Beliau adalah Makkah.
Beliau diutus Allâh untuk menyampaikan peringatan menjauhi syirik dan mengajak kepada tauhid.
Dalilnya :

“Hai orang yang berkemul (berselimut), bangunlah, lalu berilah peringatan!, dan Tuhanmu agungkanlah, dan pakaianmu bersihkanlah, dan perbuatan dosa (menyembah berhala) tinggalkanlah, dan janganlah kamu memberi (dengan maksud) memperoleh (balasan) yang lebih banyak. Dan untuk (memenuhi perintah) Tuhanmu, bersabarlah.”
(Surat Al-Muddatstsir (74) : 1-7)

Peringatan :

“Sampaikanlah Peringatan” : menyampaikan peringatan menjauhi syirik dan mengajak kepada tauhid.
“Agungkanlah Tuhanmu” : Agungkanlah Ia dengan berserah diri dan beribadah kepada-Nya semata-mata.
“Sucikanlah pakaianmu” : Sucikanlah segala amalmu dari perbuatan syirik.
“Tinggalkanlah berhala-berhala itu” : jauhkan dan bebaskan dirimu darinya serta orang-orang yang memujanya.

Beliau melaksanakan perintah ini dengan tekun dan gigih selama sepuluh tahun, mengajak kepada tauhid. Setelah sepuluh tahun itu Beliau dimi’rajkan (diangkat naik) ke atas langit dan disyariatkan kepada Beliau shalât lima waktu. Beliau melakukan shalât di Makkah selama tiga tahun. Kemudian, sesudah itu, Beliau diperintahkan untuk berhijrah ke Madinah.

Hijrah, pengertiannya, ialah : pindah dari lingkungan syirik ke lingkungan Islâmi.
Hijrah ini merupakan kewajiban yang harus dilaksanakan umat Islâm. Dan kewajiban tersebut hukumnya tetap berlaku sampai hari Kiamat.
Dalil yang menunjukkan kewajiban hijrah, yaitu firman Allâh Ta’âla :

“Sesungguhnya orang-orang yang diwafatkan malaikat dalam keadaan menganiaya diri sendiri (Yang dimaksud dengan orang-orang yang zhalim terhadap diri mereka sendiri dalam ayat ini ialah orang-orang penduduk Makkah yang sudah masuk Islâm tetapi mereka itu tidak mau hijrah bersama Nabi, padahal mereka mampu dan sanggup. Mereka ditindas dan dipaksa oleh orang-orang kafir supaya ikut bersama mereka pergi ke perang Badar, akhirnya ada di antara mereka yang terbunuh.), (kepada mereka) malaikat bertanya: "Dalam keadaan bagaimana kamu ini?". Mereka menjawab: "Adalah kami orang-orang yang tertindas di negeri (Makkah)". Para malaikat berkata: "Bukankah bumi Allâh itu luas, sehingga kamu dapat berhijrah di bumi itu?". Orang-orang itu tempatnya neraka Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali, kecuali mereka yang tertindas baik laki-laki atau wanita ataupun anak-anak yang tidak mampu berdaya upaya dan tidak mengetahui jalan (untuk hijrah), mereka itu, mudah-mudahan Allâh mema`afkannya. Dan adalah Allâh Maha Pema`af lagi Maha Pengampun.”
(Surat An-Nisâ (4) : 97-99)

Dan firman Allâh Ta’âla, artinya:

“Hai hamba-hamba-Ku yang beriman, sesungguhnya bumi-Ku luas, maka sembahlah Aku saja.” (Surat Al-Ankabût (29) : 56)

Al-Baghawi (Abu Muhammad Al-Husein bin Mas’ud bin Muhammad Al-Farra – atau Ibnu Al-Farra – Al-Baghawi (436 – 510 H = 1044 – 1117 M). Seorang ahli dalam bidang fiqh, hadits dan tafsir. Di antara karyanya : At-Tahdzîb (fiqh), Syarh As-Sunnah (hadits), Lubâb At-Ta’wîl fî Ma’âlim At-Tanzîl (tafsir).), rahimahullâh, berkata : “Ayat ini, sebab turunnya, adalah ditujukan kepada orang-orang muslim yang masih berada di Makkah, yang mereka itu belum juga berhijrah. Karena itu, Allâh menyeru kepada mereka dengan sebutan orang-orang yang beriman”

Adapun dalil dari Sunnah yang menunjukkan kewajiban hijrah, yaitu sabda Rasûlullâh saw :

“Hijrah tetap akan berlangsung selama pintu taubat belum ditutup, sedang pintu taubat tidak akan ditutup sebelum matahari terbit dari Barat”
(H.R. Ahmad dalam musnadnya jilid 4 hal. 99; Sunan Abu Dawûd kitan Al-Jihad bab 2; dan Sunan Ad-Darimi kitan As-Sair bab 70)

Setelah Nabi Muhammad menetap di Madinah, disyariatkan kepada beliau zakat, puasa, haji, adzan, jihad, amar ma’ruf dan nahi munkar serta syariat-syariat Islâm lainnya.
Beliau pun melaksanakan untuk menyampaikan hal ini dengan tekun dan gigih selama sepuluh tahun . Sesudah itu wafatlah beliau, sedang agamanya tetap dalam keadaan lestari.
Inilah agama yang beliau bawa : Tiada suatu kebaikan yang tidak beliau tunjukkan kepada umatnya dan tiada suatu keburukan yang tidak beliau peringatkan kepada umatnya supaya dijauhi. Kebaikan yang beliau tunjukkan ialah tauhid serta segala yang dicintai dan diridhoi Allâh, sedang keburukan yang beliau peringatkan supaya dijauhi ialah syirik serta segala yang dibenci dan tidak disenangi Allâh.
Nabi Muhammad saw, diutus oleh Allâh kepada seluruh umat manusia, dan diwajibkan kepada seluruh jin dan manusia untuk mentaatinya.

Firman Allâh Ta’âla yang artinya:

“Katakanlah: "Hai manusia sesungguhnya aku adalah utusan Allâh kepadamu semua …….”
(Surat Al-A’râf (7) : 158)

Dan melalui Beliau, Allâh telah menyempurnakan agama-Nya untuk kita.
Firman Allâh Ta’âla yang artinya:

“……Pada hari ini (Maksudnya ialah : hari Jum’at ketika wukuf di Arafah, pada waktu Haji Wada’) telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu ni`mat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu…..”
(Surat Al-Mâ’idah (5) : 3)

Adapun dalil yang menunjukkan bahwa Beliau saw juga wafat, ialah firman Allâh Ta’âla :

“Sesungguhnya kamu akan mati dan sesungguhnya mereka akan mati (pula). Kemudian sesungguhnya kamu pada hari kiamat akan berbantah-bantah di hadapan Tuhanmu.”
(Surat Az-Zumar (39) : 30-31)

Manusia sesudah mati, mereka nanti akan dibangkitkan kembali. Dalilnya, firman Allâh Ta’âla :

“Dari bumi (tanah) itulah Kami menjadikan kamu dan kepadanya Kami akan mengembalikan kamu dan daripadanya Kami akan mengeluarkan kamu pada kali yang lain.”
(Surat Thâhâ (20) : 55)

Dan firman Allâh Ta’âla :

“Dan Allâh menumbuhkan kamu dari tanah dengan sebaik-baiknya, kemudian Dia mengembalikan kamu ke dalam tanah dan mengeluarkan kamu (daripadanya pada hari kiamat) dengan sebenar-benarnya.”
(Surat Nuh (71) : 17–18)

Setelah manusia dibangkitkan, mereka akan dihisab dan diberi balasan sesuai dengan amal perbuatan mereka. Dalilnya, firman Allâh Ta’âla :

“Dan hanya kepunyaan Allâh-lah apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi supaya Dia memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat jahat terhadap apa yang telah mereka kerjakan dan memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat baik dengan pahala yang lebih baik (surga).”
(Surat An-Najm (53) : 31)

Barangsiapa yang tidak mengimani kebangkitan ini, maka dia adalah kafir. Sesuai firman Allâh Ta’âla :

“Orang-orang yang kafir mengatakan, bahwa mereka sekali-kali tidak akan dibangkitkan. Katakanlah: "Tidak demikian, demi Tuhanku, benar-benar kamu akan dibangkitkan, kemudian akan diberitakan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan". Yang demikian itu adalah mudah bagi Allâh.”
(Surat At-Taghâbun (64) : 7)

Allâh telah mengutus semua rasûl sebagai penyampai kabar gembira dan pemberi peringatan. Sebagaimana firman Allâh Ta’âla :

“(Mereka kami utus) selaku rasul-rasul pembawa berita gembira dan pemberi peringatan agar supaya tidak ada alasan bagi manusia membantah Allâh sesudah diutusnya rasul-rasul itu…..”
(Surat An-Nisâ’ (4) : 165)

Rasûl pertama adalah Nabi Nûh, ‘alaihis-salam (Selain dalil dari Al-Qur-ân yang disebutkan Penulis, yang menunjukkan bahwa Nabi Nûh adalah rasûl pertama, di sana ada juga hadits shahih yang menyatakan bahwa Nabi Nûh adalah rasûl pertama yang diutus kepada penduduk bumi ini, seperti hadits riwayat Al-Bukhârî dalam shahihnya kitan Al-Anbiya bab 3 dan riwayat Muslim dalam shahihnya kitab Al-Iman bab 84. Adapun Nabi Adam, ‘alaihis-salam, menurut sebuah hadits yang diriwayatkan dari Abu Dzar Al-Ghifari, radhiyallâhu ‘anhû, beliau adalah Nabi pertama. Dan disebutkan dalam hadits ini bahwa jumlah para Nabi ada 124.000 orang, dari jumlah tersebut sebagai rasûl 315 orang, dan dalam riwayat lain disebutkan 310 orang lebih. Lihat : Imam Ahmad, Al-Musnad, jilid 5 hal. 178, 179 dan 265), dan rasûl terakhir adalah Nabi Muhammad, shalallâhu ‘alaihi wa sallam, serta Beliaulah penutup para Nabi.

Dalil yang menunjukkan bahwa rasûl pertama adalah Nabi, berdasarkan firman Allâh Ta’âla :

“Sesungguhnya Kami telah memberikan wahyu kepadamu sebagaimana Kami telah memberikan wahyu kepada Nuh dan nabi-nabi yang kemudiannya……………”
(Surat An-Nisâ’ (4) : 163)

Dan Allâh telah mengutus kepada setiap umat seorang rasûl, mulai dari Nabi Nûh sampai Nabi Muhammad, dengan memerintahkan mereka untuk beribadah kepada Allâh semata-mata dan melarang mereka beribadah kepada thâghût. Firman Allâh Ta’âla :

“Dan sesungguhnya Kami telah mengutus rasûl pada tiap-tiap umat (untuk menyerukan): "Sembahlah Allâh (saja), dan jauhilah Thâghût itu"………”
(Surat An-Nahl (16) : 36)

Dengan demikian, Allâh telah mewajibkan kepada seluruh hamba-Nya supaya bersikap kafir kepada thâghût dan hanya beriman kepada-Nya.

Ibnu Al-Qayyim (Abû ‘Abdillâh, Muhammad bin Abu Bakr bin Ayyub bin Sa’d As-Zur’I Ad-Dimasyqi, terkenal dengan Ibnu Al-Qayyim atau Ibnu Qayyim Al-Jauziyah (691-751 H = 1292 – 1350 M). Seorang ‘ulama yang giat dan gigih dalam mengajak umat Islâm pada zamannya untuk kembali kepada tuntunan Al-Qur-ân dan Sunnah serta mengikuti jejak para salaf shaleh. Mempunyai banyak karya tulis, antara lain : Madârij As-Sâlikîn, Zâd Al-Ma’âd, Tharîq Al-Hijratain wa Bâb As-Sa’âdatain, AT-Tibyân fi Aqsâm Al-Qur-ân, Miftâh Dâr As-Sa’âdah.), rahimahullâh Ta’âla, telah menjelaskan pengertian thâghût tersebut dengan mengatakan :

“Thâghût ialah setiap yang diperlakukan manusia secara melampaui batas (yang telah ditentukan oleh Allâh), seperti dengan disembah, atau diikuti, atau dipatuhi”

Dan thâghût itu banyak macamnya, tokoh-tokohnya ada 5 (lima), yaitu :
1. Iblis, yang telah dilaknat oleh Allâh;
2. Orang yang disembah, sedang dia sendiri rela;
3. Orang yang mengajak manusia untuk menyembah dirinya;
4. Orang yang mengaku tahu sesuatu yang ghaib; dan
5. Orang yang memutuskan sesuatu tanpa berdasarkan hukum yang telah diturunkan oleh Allâh.
Allâh Ta’âla berfirman :

“Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islâm); sesungguhnya telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat. Karena itu barangsiapa yang ingkar kepada Thâghût dan beriman kepada Allâh, maka sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang amat kuat yang tidak akan putus. Dan Allâh Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.”
(Surat Al-Baqarah (2) : 256)

Ingkar kepada semua thâghût dan iman kepada Allâh saja, sebagaimana dinyatakan dalam ayat tadi, adalah hakekat syahadat “Lâ ilâha illallâh”.
Dan diriwayatkan dalam hadits, Rasûlullâh saw bersabda :

“Pokok agama ini adalah Islâm (Silahkan melihat kembali pengertian Islâm yang disebutkan oleh Penulis di hal. 18), dan tiangnya adalah shalât, sedang ujung tulang punggungnya adalah jihad fî sabîlillâh” ( Hadits shahih riwayat Ath-Thabarani dari Ibnu ‘Umar radhiyallâhu ‘anhuma; dan riwayat at-Tirmidzi dalam Al-Jâmi’ Ash-Shahih kitab Al-Imân bab 8)

Hanya Allâh-lah yang Maha Tahu, Semoga shalawat dan salam senantiasa dilimpahkan Allâh kepada Nabi Muhammad, kepada keluarga dan para sahabatnya.

Ushulu Tsalatsa

Talak Tiga Sekaligus dan Tanpa Saksi

Pertanyaan

Assalamu 'alaikum Wr. Wb.

Pa Ustadz yang budiman,

Saya pernah mentalak isteri dengan talak 3 sekaligus.. tapi di luar kesadaran dan tidak ada saksi satupun.. hari itu juga saya meminta maaf dan menarik talak saya dan isteri saya memaafkan.. anak saya masih kecil baru umur 5 bulan.. sampai sekarang saya masih berkumpul.. apakah saya masih berstatus sebagai suami? Bagaimana hukumnya Pa Ustadz.
Bagaimana caranya pak ustadz?? Saya tidak mau berpisah..?? Tolong secepatnya dijawab.. atas amal Pa Ustadz yang telah memberikan bimbingan dan nasehat mudah2-an Allah SWT memberikan keberkahan pada Pa ustadz baik di dunia maupun di akhirat

Bogor

Jawaban

Assalamu 'alaikum warahmatulllahi wabarakatuh,

Para ulama seluruhnya sepakat bahwa saksi tidak pernah diperlukan dalam menjatuhkan talaq, tidak seperti akad nikah yang diharuskan ada saksi dua orang laki-laki muslim, aqil, baligh, merdekadan bersifat 'adalah.

Cukup sebuah lafadz dari suami yang intinya menyebutkan salah satu dari tiga lafadz: talak, firaq atau saraah, maka jatuhlah talak dari suami kepada isteri. Jadi talak itu dilakukan oleh satu pihak, karena talak bukan akad antara dua belah pihak.

Kasusnya sama dengan seseorang yang bernadzar kepada Allah SWT, apabila impiannya terkabul dia akan menyembelih seekor kambing qurban. Saat mengucapkan nadzar itu tidak dibutuhkan saksi. Karena tindakan itu bukan akad jual beli yang melibatkan dua pihak. Keberadaan saksi biasanya terkait dengan keberadaan dua pihak yang melakukan akad kesepakatan.

Haramnya Menjatuhkan Talak Tiga Yang Dijatuhkan Sekaligus

Para ulama bersepakat bahwa menjatuhkan talak tiga secara sekaligus adalah perbuatan yang haram dan berdosa. Karena bertentangan dengan kitabullah dan sunnah Rasulullah SAW.

1. Dalil Al-Quran

Talak itu dua kali (QS. Al-Baqarah: 229)

Lalu mana talak yang ketiga? Talak yang ketiga adalah firman Allah SWT berikutnya:

(Setelah itu boleh rujuk lagi) dengan cara yang ma'ruf atau menceraikan dengan cara yang baik. (QS. Al-Baqarah: 229)

2. Hadits Rasulullah SAW

Selain itu juga ada dalil dari hadits nabawi yang intinya juga mengharamkan talak yang dijatuhkan sekaligus tiga dalam satu waktu.

Mahmud bin Lubai ra berkata bahwa Rasulullah SAW bercerita tentang seorang laki-laki yang menceraikan isterinya talak tiga sekaligus, maka beliau SAW pun berdiri sambil marah dan berseru, "Apakah orang itu bermain-main dengan kitabullah padahal Aku ada di tengah kalian?" Sampai ada seorang shahabat yang bertanya, "Ya Rasulullah, bolehkah Aku bunuh orang itu?" (HR An-Nasa'i)

Para ulama umumnya menyatakan bahwa disebut 'talak tiga' karena dilakukan tiga kali dalam waktu yang berbeda. Tidak boleh dijjatuhkan langsung sekaligus tiga. Karena yang dimaksud dengan kata 'tiga' maksudnya adalah tiga kali mentalak, bukan sekedar penyebutan kata 'tiga'.

Maka antara talak satu dengan talak dua, harus dipisahkan dengan rujuk atau kembali. Dan antara talak dua dengan talak tiga, juga harus dipisahkan dengan rujuk. Bila sudah dua kali talak dan dua kali rujuk lalu masih dilakukan lagi talak, maka barulah dikatakan talak tiga. Talak tiga artinya talak tiga kali dengan diselingi masing-masing dengan rujuk.

Maka para ulama mengatakan bahwa talak tiga dalam satu kali lafadz adalah perbuatan yang haram dan dimurkai Allah. Karena itu bertobatlah kepada Allah SWT karena Anda terlanjur melakukan hal yang dimurkai-Nya. Sesungguhnya Allah Maha Penerima taubat.

Kalau Sudah Terlanjur, Apakah Jatuh Talak?

Apabila ada orang karena ketidak-tahuannya lalu menjatuhkan talak tiga sekaligus kepada isterinya, apakah talak itu tetap jatuh atau tidak? Kalau jatuh, apakah jatuhnya talak satu saja atau tetap jatuh sebagai talak tiga?

Para ulama berbeda pendapat. Beberapa ulama lain mengatakan bahwa mentalak tiga sekaligus tidak menjatuhkan talak.

1. Tidak Jatuh Talak

Di antaranya yang berpendapat demikian adalah Ibnu Taimiyah. Dalam kitab Majmu' Fatwa jilid 3 halaman 22 disebutkan bahwa beliau mengatakan tidak ada dalam Quran, Sunnah, Ijma' dan Qiyas ulama tentang jatuhnya talak dalam hal ini. Maka pernikahannya tetat eksis dengan yaqin, isterinya tetap haram dinikahi orang lain.

Karena talak tiga sekaligus dianggap sebagai talak bid'ah. Dan bagi kalangan ini, talak bid'ah malah sama sekali tidak menjatuhkan talak. Jadi talak model begini sama sekali bukan talak, jadi tidak perlu rujuk atau apapun. Isteri yang ditalak dengan cara begini tetap masih isteri, tidak ada yang berubah dari perkawinan.

2. Jatuh Talak

Sedangkan jumhur ulama meski mengharamkan talak tiga sekaligus, namun seandainya dilakukan juga, maka tetap jatuh talak. Tapi mereka berbeda pendapat, apakah jatuh talak tiga atau jatuh talak satu.

2. 1. Jatuh Talak Tiga

Sebagian dari ulama mengatakan jatuh talak tiga, karena beberapa dalil berikut ini:

Dari Sahal bin Saad berkata bahwa ketika orang dari Bani Ajlan meli'an isterinya dia berkata, "Ya Rasulallah, aku menzhaliminya kalau aku tetap menahannya. Dia Aku talak, Aku talak dan Aku talak." (HR Ahmad)

Dalil ini dijadikan dalil penguat dari jatuhnya talak tiga dengan satu lafadz, di mana kejadian itu terjadi di hadapan Rasulullah SAW.

Mereka yang berpendapat seperti ini menggambarkan bahwa talak itu ibarat seorang menjatuh tiga buah pensil sekaligus. Maka ketiganya akan jatuh secara bersamaan.

2. 2. Jatuh Talak Satu, Bukan Tiga

Pendapat lain mengatakan seandainya ada orang menceraikan isterinya dengan lafadz talak tiga sekaligus dalam satu majelis, maka meski lafadz talaknya menyebutkan tiga, tapi yang jatuh adalah talak satu, bukan tiga.

Dalilnya adalah beberapa riwayat berikut ini:

Dari Ikrimah dari Ibnu Abbas radhiyallahu 'anhuma berkata, "Rukanah telah menceraikan isterinya talak tiga dalam satu majelis, tapi kemudian dia bersedih menyesalinya.Rasulullah SAW bertanya kepadanya, "Bagaimana kamu menceraikakannya"? "Dia saya talak tiga", jawabnya. "Dalam satu majelis?", tanya Rasulullah SAW. "Ya", jawab Rukanah. Rasulullah SAW bersabda, "Sesungguhnya talak itu hanya talak satu, rujuklah kalau kamu mau." Maka Rukanah pun merujuk isterinya." (HR Ahmad dan Abu Daud)

Jelas dan tegas dari hadits yang kita baca ini bahwa Rasulullah SAW tidak menganggap talak tiga sekaligus sebagai talak tiga, tetapi dianggap sebagai talak satu saja. Dan buktinya, Rukanah dipersilahkan untuk merujuk isterinya kembali. Seandainya jatuh talak tiga, maka tidak mungkin beliau memintanya merujuk isterinya.

Lalu mengapa ada pendapat yang mengatakan talak tiga bila dijatuhkan dalam satu majelis, bisa jatuh talak tiga?

Begini ceritanya, dahulu di masa Rasulullah SAW talak tiga yang diucapkan dalam satu lafadz tidak dianggap talak tiga, tetapi talak satu. Itu hukum dasarnya. Dan ketika Abu Bakar Ash-Shiddiq dan Umar bin Al-Khattab radhiyallahu 'anhuma menjadi khalifah, hal yang sama tetap terjadi. Tapi dua tahun setelah masa Umar menjadi khalifah, diputuskan perubahan mendasar. Talak tiga yang dijatuhkan dalam satu majelis diputuskan akan menjadi talak tiga betulan, sehingga tidak boleh lagi merujuk isteri.

Pertanyannya, mengapa Umar mengubah hukum itu?

Karena orang-orang sudah mulai bermain-main dengan lafadz talak tiga dengan satu majelis, sehingga untuk itu beliau memutuskan siapa yang menceraikan isterinya dengan talak tiga dalam satu lafadz atau satu majelis, maka akan jatuh talak tiga, bukan talak satu. Sehingga tidak ada kesempatan lagi untuk melakukan rujuk.

Keterangan ini bisa kita dapat dalam hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim lewat jalur Ibnu Abbas ra.

Jadi kalau kita mau kembalikan kepada hukum asalnya, sesungguuhnya talak itu tetap jatuh satu, bukan jatuh tiga. Karena ada dalil yang sangat kuat tentang hal ini. Dan bahwa talak itu jatuh tiga adalah sekedar ijtihad Umar dalam mengantisipasi keadaan tertentu di masanya.

Kesimpulan

Kalau melihat kasus Anda, maka yang membuat anda masih terikat dengan isteri anda bukan karena saat menceraikan tidak ada saksi. Yang masih menjadi ikatan adalah karena anda masih punya dua talak lainnya, karena yang jatuh baru satu talak saja.

Segera rujuk isteri Anda sekarang juga, cukup diniatkan di dalam hati tanpa harus dengan lafadz atau saksi. Bahkan para ulama mengatakan bahwa merujuk isteri cukup dengan masuk ke kamarnya. Syaratnya, jarak waktu antara anda menjatuhkan talak dengan rujuk belum sampai tiga kali isteri anda suci dari haidh.

Kalau sudah lewat tiga kali suci dari haidh, terpaksa Anda harus menikah ulang, dengan mahar baru, wali, saksi dan ijab kabul.

Tapi kalau Anda menggunakan pendapat Ibnu Taimiyah yang mengatakan tidak jatuh talak dengan lafadz seperti itu, maka Anda tidak perlu merujuknya, karena paa hakikatnya talak tidak terjadi.

Tapi menurut hemat kami, pendapat yang agak aman adalah yang pertengahan. Yaitu talak sudah terjadi tapi hanya talak satu. Jadi rujuk isteriAnda sekarang juga, baarakallahu fiika

Wallahu a'lam bishshawab, wassalamu 'alaikum warahmatullahi wakarakatuh,

Ahmad Sarwat, Lc (warnaislam)

*****

20 Februari 2009

Keistimewaan Tauhid dan Dosa-dosa yang Diampuni Karenanya

Firman Allah SWT:
"Orang-orang yang beriman dan tidak menodai iman mereka dengan kedhaliman (syirik) mereka itulah orang-orang yang mendapat ketenteraman dan mereka itu adalah orang-orang yang menepati jalan hidayah." (Al-An'am: 82)
Iman yaitu ucapan hati dan lisan yang disertai dengan perbuatan, diiringi dengan ketulusan niat Lillah dan dilandasi dengan berpegang teguh kepada sunnah Rasulullah .

Syirik disebut kedhaliman, karena syirik adalah per buatan menempatkan sesuatu ibadah tidak pada tem patnya dan memberikannya kepada yang tidak berhak menerimanya.
'Ubadah ibn Ash-Shamit , menuturkan: Rasulullah saw bersabda:
"Barangsiapa bersyahadat bahwa tidak ada sesembahan yang hak selain Allah saja, tiada sekutu bagi-Nya, dan Muhammad adalah Hamba dan Rasul-Nya; dan (bersyahadat) bahwa 'Isa adalah hamba Allah, Rasul-Nya dan kalimat-Nya yang disampaikan-Nya kepada Maryam serta ruh daripada-Nya; dan (bersyahadat pula bahwa) surga adalah benar adanya dan neraka-pun benar adanya; maka Allah pasti memasukkannya ke dalam surga betapapun amal yang diperbuatnya." (HR Bukhari Muslim)

Syahadat ialah persaksian dengan hati dan lisan, dengan mengerti maknanya dan mengamalkan apa yang menjadi tuntutannya, baik lahir maupun batin.
Bukhari dan Muslim meriwayatkan pula hadits dari 'Itban: "Sesungguhnya Allah mengharamkan kepada neraka orang yang berkata: Laa ilaha illa Allah (Tiada sesembahan yang hak selain Allah), dengan ikhlas dari hatinya dan mengharapkan (pahala melihat) Wajah Allah."

Diriwayatkan dari Sa'id Al-Khudri , bahwa Rasulullah saw bersabda:
"Musa berkata: Ya Tuhanku, ajarkanlah kepadaku sesuatu untuk berdzikir dan berdo'a kepada-Mu. Allah SWT berfirman: Katakanlah hai Musa: "Laa ilaha illa Allah". Musa berkata lagi: Ya Tuhanku, semua hamba-Mu mengucapkan ini. Allah pun berfirman: Hai Musa, andaikata ketujuh langit dan penghuninya, selain Aku, serta ketujuh bumi diletakkan pada salah satu daun timbangan, sedang Laa ilaha illa Allah diletakkan pada daun timbangan yang lain, maka Laa ilaha illa Allah niscaya lebih berat timbangannya." (Hadits riwayat Ibnu Hibban dan Al-Hakim dengan menyatakan bahwa hadits ini Shahih)

At-Tirmidzi meriwayatkan hadits, yang dinyatakan hasan, dari Anas: Aku mendengar Rasulullah saw bersabda:
"Allah berfirman: Hai anak Adam, seandainya kamu datang kepada-Ku dengan dosa sepenuh jagad, sedangkan kamu ketika mati berada dalam keadaan tidak berbuat syirik sedikitpun kepada-Ku, niscaya akan Aku berikan kepadamu ampunan sepenuh jagad pula."

Kitab Tauhid

16 Februari 2009

KEISTIMEWAAN WUDHU'

Seorang muslim, pada saat berwudhu' hendaknya berharap agar dihapus segala dosa yang pernah dikerjakannya. Karena setiap muslim atau mu'min yang berwudhu', maka air wudhu' itu akan mengeluarkan dosa-dosanya dari setiap anggota badan yang dibasuh oleh air wudhu' tersebut. Sebagaimana disebutkan dalam sebuah hadits dari Abû Hurairah r.a., sesungguhnya Rasûlullâh saw. bersabda:

إِذَا تَوَضَّأَ عَبْدُ الْمُسْلِمِ أَوِ الْمُؤْمِنِ فَغَسَلَ وَجْهَهُ خَرَجَ مِنْ وَجْهِهِ كُلُّ خَطِيْئَةٍ نَظَرَ إِلَيْهَا بِعَيْنَيْهِ مَعَ الْمَاءِ أَوْ مَعَ آخِرِ قَطْرِ الْمَاءِ ، فَإِ ذَا غَسَلَ يَدَيْهِ خَرَجَ مِنْ يَدَيْهِ كُلُّ خَطِيْئَةٍ كَانَتْ بَطَشَتْهَا يَدَاهُ مَعَ الْمَاءِ أَوْ مَعَ آخِرِ قَطْرِ الْمَاءِ ، فَإِ ذَا غَسَلَ رِجْلَيْهِ خَرَجَتْ كُلُّ خَطِيْئَةٍ مَشَتْهَا رِجْلاَهُ مَعَ الْمَاَءِ أَوْ مَعَ آخِرِ قَطْرِ الْمَاءِ حَتَّى يَخْرُجَ نَقِيًّا مِنَ الذُّنُوْبِ


Artinya:
"Ketika seorang hamba muslim atau mu'min berwudhu', maka ia membasuh wajahnya, keluarlah dari wajahnya tiap-tiap kesalahan (dosa) yang dia lihat dengan kedua matanya, bersama air atau bersama tetesan air yang terakhir. Maka ketika ia membasuh kedua tangannya, keluarlah dari kedua tangannya, tiap-tiap kesalahan yang diperbuat oleh kedua tangannya, bersama air atau bersama tetesan air yang terakhir. Maka ketika ia membasuh kedua kakinya, keluarlah tiap-tiap kesalahan yang diperbuat oleh langkah kakinya, bersama air atau tetesan air yang terakhir, sehingga ia keluar dalam keadaan bersih dari dosa".
(H.R. Mâlik, Muslim dan At-Tirmidzî. Tetapi Mâlik dan At-Tirmidzî tidak menyebutkan pembasuhan kedua kaki)

Dalam hadits yang lain, dari 'Utsmân bin 'Affân r.a., ia berkata: Telah bersabda Rasûlullâh saw.:

مَنْ تَوَضَّأَ فَأَحْسَنَ الْوُضُوْءَ خَرَجَتْ خَطَايَاهُ مِنْ جَسَدِهِ حَتَّى تَخْرُجَ مِنْ تَحْتِ أَظْفَارِهِ

Artinya:
"Siapa-saja yang berwudhu', lalu ia perbaiki wudhu'nya, maka keluarlah dosa-dosanya dari tubuhnya, sehingga keluar - - dosa-dosa itu -- dari bawah kuku-kukunya".
(H.R. Muslim)

Menjaga Kesempurnaan Wudhu' Adalah Bukti Keimânan

Yang dimaksud menjaga kesempurnaan wudhu' ialah berwudhu' dengan serius, sesuai dengan petunjuk Rasûlullâh saw. dan selalu memperbaharuinya, yaitu jika batal segera berwudhu', sebagaimana disebutkan dalam sebuah hadits dari Tsaubân r.a.:

إِسْتَقِيْمُوْا وَ لَنْ تُحْصُوْا ، وَ اعْلَمُوْا أَنَّ خَْيْرَ أَعْمَالِكُمُ الصَّلاَةُ ، وَ لاَ يُحَافِظُ عَلَى الْوُضُوْءِ إِلاَّ مُؤْمِنٌ


Artinya:
"Istiqamahlah kalian , dan kalian tidak akan bisa menghitung , Dan ketahuilah, bahwa sebaik-baik 'amal kalian adalah shalat. Dan tidak akan memelihara pada wudhu' melainkan seorang mu'min".
(H.R. Ibnu Mâjah dengan sanad yang shahîh dan Al-Hâkim, dan Ibnu Hibbân. Lihat At-Targhîb Wat-Tarhîb juz I hal. 122)

Arti "imân" (اْلإِيْمَان) dari segi bahasa (lughah) ialah "tashdîq" (تَصْدِيْقٌ) yaitu "membenarkan". Syaikhul-Islâm Ibnu Taymiyyah (rahimahullâh) telah memberikan keterangan yang jelas sekali mengenai hal ini, beliau berkata:

وَ أَمَّا اْلإِيْمَانُ فَأَصْلُهُ تَصْدِيْقُ الْقَلْبِ وَ إِقْرَارُهُ وَ مَعْرِفَتُهُ , فَهُوَ مِنْ بَابِ قَوْلِ الْقَلْبِ الْمُتَضَمَّنُ عَمَلَ الْقَلْبِ

Artinya:
"Adapun imân -- arti -- asalnya ialah "tashdîq" ; keyakinan hati, pengakuannya dan pengetahuannya. Dan ke-imânan itu merupakan bâb (masalah) ucapan hati yang mencakup juga perbuatan ('amal) hati".
(Lihat Fathul-Majîd Syarhu Kitâbit-Tauhîd oleh Syaikh 'Abdur-Rahmân bin Hasan hal. 97)

Selanjutnya Syaikhul-Islâm Ibnu Taymiyyah (rahimahullâh) memberi penjelasan berkaitan dengan masalah ini, beliau berkata:
"Sesungguhnya berwudhu' merupakan rahasia di antara seorang hamba dengan Allâh Yang Maha Mulia dan Maha Agung. Adakalanya ia tidak menyempurnakannya atau merusaknya, dan tidak ada orang lain yang mengetahui perbuatannya itu. Oleh karena itu, jika ia memeliharanya, sudah barang tentu ia memeliharanya karena Allâh SWT. Dan siapa-saja yang berbuat seperti itu, tentulah ia seorang yang berimân (mu'min)".
(Lihat Syarhul-Hadits Innamâl-A'mâlu Bin-Niyyât hal. 21)

Kesempurnaan Wudhu' Adalah Separuh Dari Imân

Wudhu' yang sempurna memilki nilai yang tinggi, yaitu separuh atau setengah dari keimanân, sebagaimana sabda Rasûlullâh saw.:

إِسْبَاغُ الْوُضُوْءِ شَطْرُ اْلإِيْمَانِ ،..................

Artinya:
"Kesempurnaan wudhu' itu separuh dari keimanân....... (hadits diringkas)".
(H.R. Ibnu Mâjah juz I hal. 102-103 no.: 280)

Al-Imâm Ibnul-Atsîr memberikan penjelasan tentang hadits ini, beliau berkata:

لأَنَّ اْلإِيْمَانَ يُطَهِّرُ نَجَاسَةَ الْبَاطِنِ ، وَ الطَّهُوْرَ يُطَهِّرُ نَجَاسَة َالظَّاهِرِ

Artinya:
"(Kesempurnaan wudhu' itu separuh dari keimanân) karena sesungguhnya imân itu dapat membersihkan najis (kotoran) yang batin (dalam hati), sedangkan wudhu' -- yang sempurna -- dapat membersihkan najis yang zhahir (nampak)".
(Lihat An-Nihâyah juz II hal. 473)

Sifat Shalat Nabi, Asy-Syaikh 'Abdul-'Azîz bin 'Abdillâh bin Bâz

15 Februari 2009

Cara menafsirkan Al-Qur`an

Syaikh Al-Bany ditanya:
Apa yang harus kita lakukan untuk dapat menafsirkan Al-Qur'an ?

Jawaban:
Allah Subhanahu wa Ta'ala telah menurunkan Al-Qur'an ke dalam hati Nabi Muhammad Shalallahu 'alaihi wa sallam agar beliau mengeluarkan manusia dari kekufuran dan kejahilan yang penuh dengan kegelapan menuju cahaya Islam. Allah Ta'ala berfirman dalam Al-Qur'an surat Ibrahim ayat 1 :
"Alif laam raa, (ini adalah) Kitab yang Kami turunkan kepadamu supaya kamu mengeluarkan manusia dari gelap gulita kepada cahaya terang benderang dengan izin Rabb mereka, (yaitu) menuju jalan Rabb Yang Maha Perkasa lagi Maha Terpuji."

Allah Ta'ala juga menjadikan Rasulullah Shalallahu 'alaihi wa sallam sebagai orang yang berhak menjelaskan, menerangkan dan menafsirkan isi Al-Qur'an. Firman Allah Ta'ala di dalam surat An-Nahl ayat 44: "Keterangan-keterangan (mu'jizat) dan kitab-kitab. Dan kami turunkan kepadamu Al-Qur'an, agar kamu menerangkan kepada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka supaya mereka memikirkan."

Sunnah berfungsi sebagai penafsir dan penjelas isi Al-Qur'an, dan sunnah ini juga merupakan wahyu karena yang diucapkan oleh Rasulullah Shalallahu 'alaihi wa sallam adalah bukan hasil pemikiran Rasulullah tetapi semuanya dari wahyu Allah Ta'ala. Sebagaimana ditegaskan oleh Allah dalam Al-Qur'an surat An-Najm ayat 3 dan 4: "Dan tidaklah yang diucapkannya itu (Al-Qur'an) menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya)."

Rasulullah Shalallahu 'alaihi wa sallam bersabda: "Ketahuilah, sesungguhnya aku diberi Al-Qur'an dan sesuatu yang hampir sama dengan Al-Qur'an. Ketahuilah, akan ada seorang lelaki kaya raya yang duduk di atas tempat duduk yang mewah dan dia berkata: "Berpeganglah kalian kepada Al-Qur'an. Apapun yang dikatakan halal di dalam Al-Qur'an, maka halalkanlah, sebaliknya apapun yang dikatakan haram di dalam Al-Qur'an, maka haramkanlah. Sesungguhnya apapun yang diharamkan oleh Rasulullah, Allah juga mengharamkannya."

Untuk itu cara menafsirkan Al-Qur'an adalah:

Cara Pertama adalah dengan sunnah. Sunnah ini berupa: ucapan-ucapan, perbuatan-perbuatan, dan diamnya Rasulullah Shalallahu 'alaihi wa sallam.

Cara Kedua adalah dengan penafsirannya para sahabat. Dalam hal ini pelopor mereka adalah Ibnu Mas'ud dan Ibnu Abbas Radliyallahu 'anhum. Ibnu Mas'ud termasuk sahabat yang menemani Rasulullah Shalallahu 'alaihi wa sallam sejak dari awal dan dia selalu memperhatikan dan bertanya tentang Al-Qur'an serta cara menafsirkannya, sedangkan mengani Ibnu Abbas, Ibnu Mas'ud pernah berkata: "Dia adalah penterjemah Al-Qur'an." Oleh karena itu tafsir yang berasal dari seorang sahabat harus kita terima dengan lapang dada, dengan syarat tafsir tersebut tidak bertentangan dengan tafsiran sahabat yang lain.

Cara Ketiga yaitu apabila suatu ayat tidak kita temukan tafsirnya dari Rasulullah Shalallahu 'alaihi wa sallam dan para sahabat, maka kita cari tafsirannya dari para tabi'in yang merupakan murid-murid para sahabat, terutama murid Ibnu Mas'ud dan Ibnu Abbas seperti : Sa'ad bin Jubair, Thawus, Mujahid dan lain-lain.

Sangat disayangkan, sampai hari ini banyak sekali ayat-ayat Al-Qur'an yang tidak ditafsirkan dengan ketiga cara di atas, tetapi hanya ditafsirkan dengan ra'yu (pendapat/akal) atau ditafsirkan berdasarkan madzhab yang tidak ada keterangannya dari Rasulullah Shalallahu 'alaihi wa sallam secara langsung. Ini adalah masalah yang sangat mengkhawatirkan apabila ayat-ayat Al-Qur'an ditafsirkan hanya untuk memperkuat dan membela suatu madzhab, yang hasil tafsirnya bertentangan dengan tafsiran para ulama tafsir.

Untuk menjelaskan betapa bahayanya tafsir yang hanya berdasarkan madzhab, akan kami kemukakan satu contoh sebagai bahan renungan yaitu tafsir Al-Qur'an surat Al-Muzammil: 20, "Maka bacalah apa yang mudah (bagimu) dari Al-Qur'an." Berdasarkan ayat ini, sebagian penganut madzhab berpendapat bahwa yang wajib dibaca oleh seseorang yang berdiri sholat adalah ayat-ayat Al-Qur'an mana saja. Boleh ayat-ayat yang sangat panjang atau boleh hanya tiga ayat pendek saja. Yang penting membaca ayat Al-Qur'an (tidak harus membaca Al-Fatihah).

Betapa anehnya mereka berpendapat seperti ini, padahal Rasulullah Shalallahu 'alaihi wa sallam bersabda: "Tidak ada sholat bagi orang yang tidak membaca pembuka Al-Kitab (Surat Al-Fatihah)."

Dan di hadits lain Rasulullah Shalallahu 'alaihi wa sallam bersabda: "Barangsiapa yang sholat tidak membaca Surat Al-Fatihah, maka sholatnya kurang, sholatnya kurang, sholatnya kurang, tidak sempurna."

Berdasarkan tafsir di atas, berarti mereka telah menolak dua hadits shahih tersebut, karena menurut mereka tidak boleh menafsirkan Al-Qur'an kecuali dengan hadits yang mutawatir. Dengan kata lain mereka mengatakan, "Tidak boleh menafsirkan yang mutawatit kecuali dengan yang mutawatir pula." Akhirnya mereka menolak dua hadits tersebut karena sudah terlanjur mempercayai tafsiran mereka yang berdasarkan ra'yu (akal-akalan) dan madzhab (kelompok/golongan).

Padahal semua ulama ahli tafsir, baik ulama yang mutaqaddimin (terdahulu) atau ulama yang mutaakhirin (sekarang), semuanya berpendapat bahwa maksud "bacalah" dalam ayat di atas adalah "sholatlah". Jadi ayat tersebut maksudnya adalah: "Maka sholatlah qiyamul lail (sholat malam) dengan bilangan raka'at yang kalian sanggupi."

Tafsir ini akan lebih jelas apabila kita perhatikan seluruh ayat tersebut, yaitu: "Sesungguhnya Rabbmu mengetahui bahwasannya kamu berdiri (sholat) kurang dari dua pertiga malam atau perdua malam atau sepertiganya dan (demikian pula) segolongan orang-orang yang bersama kamu. Dan Allah menetapkan ukuran malam dan siang. Allah mengetahui bahwa kamu sekali-kali tidak dapat menentukan batas-batas waktu-waktu itu, maka Dia memberi keringanan kepadamu, karena itu bacalah yang mudah (bagimu) dari Al-Qir'an. Dia mengetahui bahwa akan ada di antara kamu orang-orang yang sakit dan orang-orang yang berjalan di muka bumi mencari bagian karunia Allah; dan orang-orang yang lain lagi yang berperang di jalan Allah, maka bacalah apa yang mudah (bagimu) dari Al-Qur'an dan dirikanlah sholat, tunaikanlah zakat dan berikanlah pinjaman kepada Allah pinjaman yang baik. Dan kebaikan apa saja yang kamu perbuat untuk dirimu niscaya kamu memperoleh (balasan)nya di sisi Allah sebagai balasan yang paling baik dan yang paling besar pahalanya. Dan mohonlah ampunan kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha pengampun lagi Maha Penyayang."

Ayat tersebut jelas tidak ada hubungannya dengan apa yang wajib dibaca di dalam sholat. Ayat tersebut mengandung maksud bahwa Allah Ta'ala telah memberi kemudahan kepada kaum muslimin untuk sholat malam dengan jumlah rakaat kurang dari yang dilakukan Rasulullah Shalallahu 'alaihi wa sallam yaitu sebelas rakaat. Inilah maksud sebenarnya dari ayat tersebut.

Hal ini dapat diketahui oleh orang-orang yang mengetahui uslub (gaya/kaidah bahasa) dalam bahasa Arab. Dalam uslub bahasa Arab ada gaya bahasa yang sifatnya "menyebut sebagian" tetapi yang dimaksud adalah "keseluruhan."

Sebagaimana kita tahu bahwa membaca Al-Qur'an adalah bagian dari sholat. Allah sering menyebut kata "bacaan/membaca" padahal yang dimaksud adalah sholat. Ini untuk menunjukkan bahwa membaca Al-Qur'an itu merupakan bagian penting dari sholat. Contohnya adalah dalam surat Al-Isra' ayat 78: "Dirikanlah sholat dari tergelincir matahari (tengah hari) sampai gelap malam (Dzuhur sampai Isya). Dan dirikan pada bacaan fajar." Dalam ayat ini Allah Ta'ala menyebut "bacaan fajar" tetapi yang dimaksud adalah sholat fajar (sholat Shubuh). Demikianlah salah satu uslub dalam bahasa Arab.

Dengan tafsiran yang sudah disepakati oleh para ulama ini (baik ulama salaf maupun ulama khalaf), maka batallah pendapat sebagaian penganut madzhab yang menolak dua hadits shahih di atas yang mewajibkan membaca Al-Fatihah dalam sholat. Dan batal juga pendapat mereka yang mengatakan hadits ahad tidak boleh dipakai untuk menafsirkan Al-Qur'an. Kedua pendapat tersebut tertolak karena dua hal yaitu :

1.Tafsiran ayat di atas (QS. Al-Muzammil : 20) datang dari para ulama ahli tafsir yang semuanya faham dan menguasai kaidah bahasa Al-Qur'an

2. Tidak mungkin perkataan Rasulullah Shalallahu 'alaihi wa sallam bertentangan dengan Al-Qur'an. Justru perkataan Rasulullah Shalallahu 'alaihi wa sallam itu menafsirkan dan menjelaskan isi Al-Qur'an.

Jadi sekali lagi, ayat di atas bukan merupakan ayat yang menerangkan apa yang wajib dibaca oleh seorang muslim di dalam sholatnya. Sama sekali tidak. Baik sholat fardlu ataupun sholat sunat. Adapun dua hadits di atas kedudukannya sangat jelas, yaitu menjelaskan bahwa tidak sah sholat kecuali dengan membaca Al-Fatihah. Sekarang hal ini sudah jelas bagi kita.

Oleh karena itu seharusnya hati kita merasa tentram dan yakin ketika kita menerima hadits-hadits Nabi Shalallahu 'alaihi wa sallam yang diriwayatkan dlam kitab-kitab sunnah atau kitab-kitab hadits yang sana-sanadnya shahih.

Jangan sekali-kali kita bimbang dan ragu untuk menerima hadits-hadits shahih karena omongan sebagian orang yang hidup pada hari ini, dimana mereka berkata, "Kita tidak menolak hadits-hadits ahad selama hadits-hadits tersebut hanya berisi tentang hukum-hukum dan bukan tentang aqidah. Adapun masalah aqidah tidak bisa hanya mengambil berdasarkan hadits-hadits ahad saja."

Demikianlah sangkaan mereka, padahal kita tahu bahwa Rasulullah Shalallahu 'alaihi wa sallam pernah mengutus Mu'adz bin Jabal untuk berdakwah, mengajak orang-orang ahli kitab untuk berpegang kepada aqidah tauhid , padahal Mu'adz ketika itu diutus hanya seorang diri (berarti yang disampaikan oleh Mu'adz adalah hadits ahad, padahal yang disampaikannya adalah menyangkut masalah aqidah).

[Kaifa yajibu 'alaina annufasirral qur'anil karim, edisi bahasa Indonesia: Tanya Jawab dalam Memahami Isi Al-Qur'an, Syaikh Al-Bany]

14 Februari 2009

MENGENAL AGAMA ISLÂM

Islâm, ialah berserah diri kepada Allâh dengan tauhid dan tunduk kepada-Nya dengan penuh kepatuhan akan segala perintah-Nya serta menyelamatkan diri dari perbuatan syirik dan orang-orang yang berbuat syirik.

Dan agama Islâm, dalam pengertian tersebut, mempunyai tiga tingkatan, yaitu :
A. Islâm,
B. Îman
C. Ihsan,
masing-masing tingkatan mempunyai rukun-rukunnya.

A. Tingkatan Islâm :

Adapun tingkatan Islâm, rukunnya ada 5 (lima), yaitu :
1. Syahadat (pengakuan dengan hati dan lisan) bahwa “Lâ ilâha illallâh” (tiada sesembahan yang haq selain Allâh) dan Muhammad adalah Rasûlullâh; :

Firman Allâh Ta’âla yang artinya:

“Allâh menyatakan bahwasanya tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan Dia, Yang menegakkan keadilan. Para malaikat dan orang-orang yang berilmu (juga menyatakan yang demikian itu). Tak ada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan Dia, Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.”
(Surat Ali ‘Imran (3) : 18)

“Lâ ilâha illallâh”, artinya : Tiada sesembahan yang haq selain Allâh.

Syahadat ini mengandung dua unsur : menolak dan menetapkan. “Lâ ilâha”, adalah menolak segala sembahan selain Allâh; “illallâh”, adalah menetapkan bahwa penyembahan itu hanya untuk Allâh semata-mata, tiada sesuatu apapun yang boleh dijadikan sekutu di dalam penyembahan kepada-Nya, sebagaimana tiada sesuatu apapun yang boleh dijadikan sekutu di dalam kekuasaan-Nya.

Tafsiran syahadat tersebut diperjelas oleh firman Allâh SWT yang artinya:

“Dan ingatlah ketika Ibrahim berkata kepada bapaknya dan kaumnya: "Sesungguhnya aku tidak bertanggung jawab terhadap apa yang kamu sembah, tetapi (aku menyembah) Tuhan Yang menjadikanku; karena sesungguhnya Dia akan memberi hidayah kepadaku”. Dan (Ibrahim) menjadikan kalimat tauhid itu kalimat yang kekal pada keturunannya supaya mereka kembali kepada kalimat tauhid itu.”
(Surat Az-Zukhruf (43) : 26-28)

Dan firman Allâh Ta’âla yang artinya:

“Katakanlah: "Hai Ahli Kitab, marilah (berpegang) kepada suatu kalimat (ketetapan) yang tidak ada perselisihan antara kami dan kamu, bahwa tidak kita sembah kecuali Allâh dan tidak kita persekutukan Dia dengan sesuatupun dan tidak (pula) sebagian kita menjadikan sebagian yang lain sebagai tuhan selain Allâh. Jika mereka berpaling maka katakanlah kepada mereka: "Saksikanlah, bahwa kami adalah orang-orang yang berserah diri (kepada Allâh)".”
(Surat Ali ‘Imrân (3) : 64)

Adapun dalil syahadat bahwa Muhammad adalah Rasûlullâh, firman Allâh yang artinya:

“Sesungguhnya telah datang kepadamu seorang rasul dari kaummu sendiri, berat terasa olehnya penderitaanmu, sangat menginginkan (keimanan dan keselamatan) bagimu, amat belas kasihan lagi penyayang terhadap orang-orang mu'min.”
(Surat At-Taubah (9) : 128)

Syahadat bahwa Muhammad adalah Rasûlullâh, berarti : mentaati apa yang yang diperintahkannya, membenarkan apa yang diberitakannya, menjauhi apa yang dilarangnya serta dicegahnya, dan menyembah Allâh hanya dengan cara yang disyariatkannya.

2. Mendirikan shalât;
3. Mengeluarkan zakat;

Firman Allâh Ta’âla yang artinya:

“Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allâh dengan memurnikan keta’atan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama dengan lurus, dan supaya mereka mendirikan shalat dan menunaikan zakat; dan yang demikian itulah agama yang lurus.”
(Surat Al-Bayyinah (98) : 5)

4.Shiyam pada bulan Ramadhân;
Firman Allâh Ta’âla yang artinya:

“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa,”
(Surat Al-Baqarah (2) : 183)

5. Haji ke Baitullâh Al-Haram.

Firman Allâh Ta’âla yang artinya:

“…..mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allâh, yaitu (bagi) orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullâh; Barangsiapa mengingkari (kewajiban haji), maka sesungguhnya Allâh Maha Kaya (tidak memerlukan sesuatu) dari semesta alam.”
(Surat Ali ‘Imrân (3) : 97)

B. Tingkatan Imân :

Imân itu lebih dari tujuh puluh cabang. Cabang yang paling tinggi ialah syahadat “Lâ ilâha illallâh”, sedang cabang yang paling rendah ialah menyingkirkan gangguan dari jalan (duri, paku kerikil dll). Dan sifat malu adalah salah satu dari cabang imân .

Rukun imân ada 6 (enam), yaitu :
1. Imân kepada Allâh;
2. Imân kepada para Malaikat-Nya;
3. Imân kepada Kitab-Kitab-Nya;
4. Imân kepada para Rasûl-Nya;
5. Imân kepada hari Akhirat; dan
6. Imân kepada qadar (Qadar : takdir; ketentuan Ilâhi, yaitu : Imân bahwa segala sesuatu yang terjadi di alam semesta ini adalah diketahui, dicatat, dikehendaki dan dijadikan oleh Allâh SWT), yang baik maupun yang buruk.

Dalil Keenam rukun ini, firman Allâh Ta’âla yang artinya:

“Bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah timur dan barat itu suatu kebajikan, akan tetapi sesungguhnya kebajikan itu ialah beriman kepada Allâh, hari kemudian, malaikat-malaikat, kitab-kitab, nabi-nabi…….”
(Surat Al-Baqarah (2) : 177)

Dan firman Allâh Ta’âla yang artinya:

“Sesungguhnya Kami menciptakan segala sesuatu menurut ukuran.”
(Surat Al-Qomar (54) : 49)

C. Tingkatan Ihsan :

Ihsan, rukunnya hanya satu, yaitu :

“Beribadahlah kepada Allâh dalam keadaan seakan-akan kamu melihat-Nya. Jika kamu tidak melihat-Nya, maka sesungguhnya Dia melihatmu” (Pengertian Ihsan tersebut adalah penggalan dari hadits Jibril, yang dituturkan oleh ‘Umar bin Al-Khaththab r.a., sebagaimana akan disebutkan.)

Dalilnya, firman Allâh Ta’âla yang artinya:

“Sesungguhnya Allâh beserta orang-orang yang bertakwa dan orang-orang yang berbuat kebaikan.”
(Surat An-Nahl (16) : 128)

Dan firman Allâh Ta’âla yang artinya:

“Dan bertawakkallah kepada (Allâh) Yang Maha Perkasa lagi Maha Penyayang, Yang melihat kamu ketika kamu berdiri (untuk sembahyang), dan (melihat pula) perobahan gerak badanmu di antara orang-orang yang sujud. Sesungguhnya Dia adalah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.”
(Surat Asy-Syuarâ (26) : 217 – 220)

Serta firman-Nya yang artinya:

“Kamu tidak berada dalam suatu keadaan dan tidak membaca suatu ayat dari Al-Qur'ân dan kamu tidak mengerjakan suatu pekerjaan, melainkan Kami menjadi saksi atasmu di waktu kamu melakukannya……”
(Surat Yunus (10) : 61)

Adapun dalilnya dari Sunnah, ialah hadits Jibril (Disebut hadits Jibril karena Jibril-lah yang datang kepada Rasûlullâh saw, dengan menanyakan kepada Beliau tentang Islâm, Imân, Ihsan dan masalah hari Kiamat. Hal itu dimaksudkan untuk memberikan pelajaran kepada kaum muslimin tentang masalah-masalah agama.), yang masyhur yang diriwayatkan dari ‘Umar bin Al-Khaththab r.a. :

Ketika kami sedang duduk di sisi Nabi saw, tiba-tiba muncul ke arah kami seorang laki-laki, sangat putih pakaiannya, hitam pekat rambutnya, tidak tampak pada tubuhnya tanda-tanda sehabis dari bepergian jauh dan tiada seorangpun di antara kami yang mengenalnya. Lalu orang itu duduk di hadapan Nabi saw, dengan menyandarkan kedua lututnya pada kedua lutut Beliau serta meletakkan kedua tangannya di atas kedua paha Beliau, dan berkata : “Yâ Muhammad, beritahulah aku tentang Islâm”, maka Beliau menjawab : “Yaitu : bersyahadat bahwa tiada sesembahan yang haq selain Allâh serta Muhammad adalah Rasûlullâh, mendirikan shalât, mengeluarkan zakat, melakukan shiyam pada bulan Ramadhân dan melaksanakan haji ke Baitullâh jika kamu mampu untuk mengadakan perjalanan ke sana”. Lelaki itu pun berkata : “Benarlah engkau”. = Kata ‘Umar : “Kami merasa heran kepadanya, ia bertanya kepada Beliau, tetapi juga membenarkan Beliau” = Lalu lelaki itu berkata (lagi) : “Beritahulah aku tentang Imân”. Beliau menjawab : “Yaitu : berimân kepada Allâh, para Malaikat-Nya, Kitab-Kitab-Nya, Rasûl-Rasûl-Nya dan hari Akhirat serta berimân kepada Qadar yang baik dan yang buruk”. Ia pun berkata : “Benarlah engkau”. Kemudian ia berkata : “Beritahulah aku tentang Ihsan”. Beliau menjawab : “Yaitu : beribadahlah kepada Allâh dalam keadaan seakan-akan kamu melihat-Nya. Jika kamu tidak melihat-Nya, maka sesungguhnya Dia melihatmu”. Ia berkata lagi : “Beritahulah aku tentang waktu Kiamat”. Beliau menjawab : “Orang yang ditanya tentang hal tersebut tidak lebih tahu daripada orang yang bertanya”. Akhirnya ia berkata : “Beritahulah aku sebagian dari tanda-tanda Kiamat itu”. Beliau menjawab : “Yaitu : apabila ada hamba sahaya wanita melahirkan tuannya dan apabila kamu melihat orang-orang tak beralas kaki, tak berpakaian sempurna, melarat lagi penggembala domba, saling bangga-membanggakan diri dalam membangun bangunan yang tinggi”. Kata ‘Umar : “Lalu pergilah orang laki-laki itu, sementara kami berdiam diri saja dalam waktu yang lama, sehingga Nabi bertanya : “Hai ‘Umar, tahukah kamu siapakah orang yang bertanya itu ?”. Aku menjawab : “Allâh dan Rasûl-Nya lebih mengetahui”. Beliau menjawab : “Dia adalah Jibril, telah datang kepada kalian untuk mengajarkan urusan agama kalian”

Utsulu Tsalatsa

13 Februari 2009

MENGENAL ALLÂH ‘AZZA WA JALLA

Apabila kita ditanya : Siapakah Tuhanmu ? Maka katakanlah : Tuhanku adalah Allâh, yang telah memelihara diriku dan semesta alam ini dengan segala ni’mat yang dikaruniakan-Nya. Dan Dia-lah sesembahanku, tiada bagiku sesembahan yang haq selain-Nya.
Allâh Subhânahû wa Ta’âla berfirman yang artinya:

Segala puji bagi Allâh, Tuhan Pemelihara semesta alam,”
(Surah Al-Fâtihah (1) : 1)

Semua yang ada selain Allâh disebut Alam, dan aku adalah salah satu dari semesta alam ini.
Selanjutnya, jika anda ditanya : Melalui apa anda mengenal Tuhan ? Maka hendaklah anda jawab : Melalui tanda-tanda kekuasaan-Nya dan melalui ciptaan-Nya. Di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah : malam, siang, matahari, bulan dan lain-lain. Sedang di antara ciptaan-Nya ialah : tujuh langit dan tujuh bumi beserta segala makhluk yang ada di langit dan di bumi serta yang ada di antara keduanya.

Firman Allâh Ta’âla yang artinya:

“Dan sebagian dari tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah malam, siang, matahari dan bulan. Janganlah bersujud kepada matahari dan janganlah (pula) kepada bulan, tetapi bersujudlah kepada Allâh Yang menciptakannya, jika kamu hanya kepada-Nya saja menyembah.”
(Surah Fush-shilat (41) : 37)

Dan firman-Nya, yang artinya :

“Sesungguhnya Tuhan kamu ialah Allâh yang telah menciptakan langit dan bumi dalam enam masa, lalu Dia bersemayam di atas `Arsy. Dia menutupkan malam kepada siang yang mengikutinya dengan cepat, dan (diciptakan-Nya pula) matahari, bulan dan bintang-bintang (masing-masing) tunduk kepada perintah-Nya. Ingatlah, menciptakan dan memerintah hanyalah hak Allâh. Maha Suci Allâh, Tuhan semesta alam.”
(Surah Al-A’râf (7) : 54)

Tuhan inilah yang berhaq disembah. Dalilnya, firman Allâh Ta’âla yang artinya:

“Hai manusia, sembahlah Tuhanmu Yang telah menciptakanmu dan orang-orang yang sebelummu, agar kamu bertakwa. Dialah Yang menjadikan bumi sebagai hamparan bagimu dan langit sebagai atap, dan Dia menurunkan air (hujan) dari langit, lalu Dia menghasilkan dengan hujan itu segala buah-buahan sebagai rezki untukmu; karena itu janganlah kamu mengadakan sekutu-sekutu bagi Allâh, padahal kamu mengetahui.”
(Surah Al-Baqarah (2) : 21-22)

Ibnu Katsir (Abu Al-Fidâ’ : Isma’il bin ‘Umar bin Katsir Al-Qurasyi Ad-Dimasyqi (701 – 0774 H = 1302 – 1373 M). Seorang ahli ilmu hadits, tafsir, fiqh dan sejarah. Di antara karyanya : Tafsir Al-Qur-‘ân Al-Azhîm, Thabaqât Al-Fuqahâ’ Asy-Syaffi’iyyin, Al-Bidâyah Wa An-Nihâyah (sejarah), Ikhtishâr ‘Ulûm Al-Hadîts Syarh Shahîh Al-Bukhârî (belum sempat dirampungkannya)), Rahimahullâh Ta’âla, mengatakan : “Hanya Pencipta segala sesuatu yang ada inilah yang berhak disembah dengan segala macam ‘ibadah (Lihat Ibnu Katsir, Tafsir Al-Qur’ân Al-‘Azhîm (Cairo : Maktabah Dar AT-Turats, 1400 H), jilid 1, hal. 57)”

Dan macam-macam ‘ibadah yang diperintahkan Allâh itu, antara lain : Islam (Islam yang dimaksud di sini, adalah : Syahadat, Shalat, Puasa, Zakat dan Haji), iman, ihsan, doa, khauf (takut), raja’ (pengharapan), tawakkal, raghbah (penuh minat), rahbah (cemas), khusyu’ (tunduk), khasyyah (takut), inabah (kembali kepada Allâh), isti’anah (memohon pertolongan), isti’adzah (meminta perlindungan), istighatsah (meminta pertolongan untuk dimenangkan atau diselamatkan), dzabh (penyembelihan), nadzar dan macam-macam ‘ibadah lainnya yang diperintahkan oleh Allâh.

Allâh Subhânahû wa Ta’âla berfirman dalam Al Qur'an yang artinya :

“Dan sesungguhnya mesjid-mesjid itu adalah kepunyaan Allâh. Maka janganlah kamu menyembah seseorangpun di dalamnya di samping (menyembah) Allâh.”
(Surat Al-Jinn (72) : 18)

Karena itu, barangsiapa yang menyelewengkan ‘ibadah tersebut untuk selain Allâh, maka dia adalah musyrik dan kafir. Firman Allâh Ta’âla yang artinya:

“Dan barangsiapa menyembah tuhan yang lain di samping Allâh, padahal tidak ada suatu dalilpun baginya tentang itu, maka sesungguhnya perhitungannya di sisi Tuhannya. Sesungguhnya orang-orang yang kafir itu tiada beruntung.”
(Surat Al-Mu’minûn (23) : 117)


Ushulu Tsalatsa

11 Februari 2009

Tauhid; Hakekat Dan Kedudukannya

Firman Allah :

"Aku menciptakan jin dan manusia, tiada lain hanyalah untuk beribadah kepada-Ku."
(Adz-Dzariat: 56).

"Dan sesungguhnya Kami telah mengutus rasul pada setiap umat (untuk menyerukan): Beribadahlah kepada Allah (saja) dan jauhilah thaghut." (An-Nahl: 36)

"Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan beribadah kecuali hanya kepada-Nya, dan hendaklah kamu berbuat baik kepada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. Jika salah seorang diantara keduanya atau kedua-duanya mencapai usia lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan "ah" dan janganlah kamu membentak mereka, serta ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia. Dan rendahkanlah dirimu kepada mereka berdua dengan penuh kasih sayang, dan ucapkanlah: Wahai Tuhanku, kasihilah mereka berdua sebagaimana mereka keduanya telah mendidikku waktu kecil." (Al-Isra': 23-24)

"Beribadahlah kamu sekalian kepada Allah (saja) dan janganlah berbuat syirik sedikitpun kepada-Nya." (An-Nisaa': 36)

"Katakanlah (Muhammad): Marilah kubacakan apa yang diharamkan kepadamu oleh Tuhanmu, yaitu: janganlah kamu berbuat syirik sedikitpun kepada-Nya, berbuat baiklah kepada kedua orang tua, dan janganlah kamu membunuh anak-anak kamu karena takut kemiskinan. Kami akan memberi rezeki kepadamu dan kepada mereka, dan janganlah kamu mendekati perbuatan-perbuatan yang keji, baik yang tampak maupun yang tersembunyi, dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah kecuali dengan sesuatu (sebab) yang benar. Demikianlah yang diwasiatkan Allah kepadamu, supaya kamu memahami(nya). Dan janganlah kamu dekati harta anak yatim, kecuali dengan cara yang lebih bermanfaat, hingga ia mencapai kedewasaannya, dan sempurnakanlah takaran dan timbangan dengan adil. Kami tidak memikulkan beban kepada seseorang melainkan menurut kesanggupannya. Dan apabila kamu berkata, maka hendaklah kamu berlaku adil, kendatipun ia adalah kerabat(mu), dan penuhilah janji Allah. Yang demikian itu diwasiatkan Allah kepadamu, agar kamu ingat. Dan (kubacakan): Sungguh inilah jalan-Ku, berada dalam keadaan lurus, maka ikutilah dia, dan janganlah kamu mengikuti jalan-jalan (yang lain) karena jalan-jalan itu akan menceraiberaikan kamu dari jalan-Nya. Yang demikian itu diwasiatkan Allah kepadamu agar kamu bertakwa." (Al An'am: 151-153).

Ibnu Mas'ud ra, berkata:
"Barang siapa yang ingin melihat wasiat Rasulullah , yang tertera diatasnya cincin stempel milik beliau, maka supaya membaca firman Allah Ta'ala:...(surah Al-An'am 151-153, seperti tersebut di atas)."

Mu'adz bin Jabal ra, menuturkan:
"Aku pernah diboncengkan Nabi SAW di atas seekor keledai. Lalu beliau bersabda kepadaku: Hai Mu'adz, tahukah kamu apakah hak Allah yang wajib dipenuhi oleh para hamba-Nya dan apa hak para hamba yang pasti dipenuhi Allah? Aku menjawab: Allah dan Rasul-Nya lebih mengetahui. Beliaupun bersabda: Hak Allah yang wajib dipenuhi oleh hamba-Nya adalah supaya mereka beribadah kepada-Nya saja dan tidak berbuat syirik sedikitpun kepada-Nya, sedangkan hak para hamba yang pasti dipenuhi Allah ialah bahwa Allah tidak akan menyiksa orang yang tidak berbuat syirik sedikitpun kepada-Nya. Aku bertanya: Ya Rasulullah, tidak perlukah aku menyampaikan kabar gembira ini kepada orang-orang? Beliau menjawab: Janganlah kamu menyampaikan kabar gembira ini kepada mereka, sehingga mereka nanti akan bersikap menyandarkan diri." (HR Bukhari dan Muslim dalam shahih mereka)

Kitab Tauhid

Keutamaan Shalawat

Bershalawat akan mencukupkan segala kebutuhan serta dosa-dosanya akan diampuni bagi orang yang selalu bershalawat.
Pernyataan tersebut dikuatkan oleh sabda Nabi Muhammad saw, seperti yang diriwayatkan oleh Ubay bin Ka'ab ra: "Merupakan kebiasaan dari Rasulullah saw pada setiap dua pertiga malam, beliau bangun dan berkata: "wahai sekalian manusia, ingatlah kamu kepada Allah swt, telah datang kepadamu gempa bumi yang terus menerus, telah datang kepadamu kematian dengan segala konsekwensinya, telah datang kematian dengan segala konsekwensinya kepadamu. Sahabat Ubay bin Ka'ab berkata:" Ya Rasulullah, sesungguhnya saya selalu bershalawat kepadamu. Namun seberapa banyak seharusnya saya membaca shalawat atasmu dalam do'aku?" Rasulullah menjawab; "terserah kepadamu". Ubay berkata, "bagaimana kalau seperempatnya dari doa?" Rasulullah menjawab; "terserah kepadamu, lebih banyak lebih baik". Ubay berkata lagi, "bagaimana kalau setengahnya?" Rasulullah menjawab; "terserah kepadamu, maka lebih banyak lebih baik pula". Ubay berkata lagi;"bagaimana kalau dua pertiga dari doaku aku pergunakan untuk bershalawat atasmu?". Rasul menjawab, "terserah kepadamu, engkau tambahkan lebih banyak, maka lebih baik pula". Maka Ubay berkata kembali, "wahai Rasulullah, saya akan menjadikan seluruh doaku untuk bershalawat kepadamu". maka Rasulullah menjawab: "kalau begitu, semua kebutuhanmu akan tercukupi dan dosa-dosamu akan terampuni.
(HR Tirmidzi dengan nomor hadits 2457. Beliau berkata: hadits ini termasuk kategori hadits hasan shahih)

(Menyelami lautan Shalawat, Ibnu Qayyim al Jauziyah)

10 Februari 2009

Keagungan Dan Kekuasaan Allah 'Azza Wa Jalla

Firman Allah 'Azza wa Jalla :
Dan mereka tidak mengagungkan Allah dengan pengagungan yang semestinya padahal bumi seluruhnya dalam genggaman-Nya pada hari Kiamat dan langit digulung dengan tangan kananNya. Maha Suci Allah dan Maha Tinggi Dia dari apa yang mereka persekutukan. (Az-Zumar: 67)


Ibnu Mas'ud menuturkan: "Salah seorang pendeta Yahudi datang kepada Rasulullah dan berkata:
"Wahai Muhammad! Sesungguhnya kami menjumpai (dalam kitab suci kami) bahwa Allah akan meletakkan langit di atas satu jari, pohon-pohon di atas satu jari, air di atas satu jari, tanah di atas satu jari, dan seluruh makhluk di atas satu jari, maka Allah berfirman: Aku-lah Penguasa." Tatkala mende-ngarnya, tersenyumlah Nabi sehingga tampak gigi-gigi beliau, karena membenarkan ucapan pendeta Yahudi itu; kemuliaan beliau membacakan firman Allah:
"Dan mereka tidak mengagungkan Allah dengan pengagungan yang sebenar-benarnya, padahal bumi seluruhnya dalam genggamanNya pada hari Kiamat…" dst.
Disebutkan dalam riwayat lain oleh Muslim:
"… gunung-gunung dan pohon-pohon di atas satu jari, kemudian digoncangkanNya dan Dia-pun berfirman: "Aku-lah Penguasa, Aku-lah Allah"."


Dan disebutkan dalam riwayat lain oleh Al-Bukhari:
"… meletakkan semua langit di atas satu jari, air serta tanah di atas satu jari, dan seluruh makhluk di atas satu jari…" (Hadits riwayat Al-Bukhari dan Muslim)
Muslim meriwayatkan dari Ibnu 'Umar bahwa Rasulullah bersabda:
"Allah akan menggulung seluruh lapisan langit pada hari Kiamat, lalu diambil dengan Tangan KananNya, dan ber-firman: "Aku-lah Penguasa; mana orang-orang yang berlaku lalim, mana orang-orang yang berlaku sombong?" Kemudian Allah menggulung ketujuh lapis bumi, lalu diambil dengan Tangan KiriNya dan berfirman: "Aku-lah Penguasa; mana orang-orang yang berlaku lalim, mana orang-orang yang berlaku sombong?"
Diriwayatkan dari Ibnu 'Abbas , ia berkata:
"Langit tujuh dan bumi tujuh di Telapak Tangan Allah Ar-Rahman, tiada lain hanyalah bagaikan sebutir biji sawi yang diletakkan di tangan seseorang di antara kamu."
Ibnu Jarir berkata: "Yunus menuturkan padaku, dari Ibnu Wahb, dari Ibnu Zaid, dari bapaknya (Zaid bin Aslam), ia menuturkan: Rasulullah bersabda:
"Ketujuh langit itu berada di Kursi, tiada lain hanyalah bagaikan tujuh keping dirham yang diletakkan di atas perisai."


Ibnu Jarir berkata pula: "Dan Abu Dzar menuturkan: Aku mendengar Rasulullah bersabda:
"Kursi itu berada di 'Arsy, tiada lain hanyalah bagaikan sebuah gelang besi yang dicampakkan di tengah padang pasir."
Diriwayatkan dari Ibnu Mas'ud, bahwa ia menuturkan:
"Antara langit yang paling bawah dengan langit berikutnya jaraknya 500 tahun, dan antara setiap langit jaraknya 500 tahun; antara langit yang ketujuh dengan kursi jaraknya 500 tahun; dan antara kursi dan samudra air jaraknya 500 tahun; sedang 'Arsy berada di atas samudra air itu; dan Allah berada di atas 'Arsy tersebut, tidak tersembunyi bagi Allah suatu apapun dari perbuatan kamu sekalian." (Diriwayatkan oleh Ibnu Mahdi dari Hamad bin Salamah, dari 'Ashim, dari Zirr, dari 'Abdullah ibnu Mas'ud)


Dan diriwayatkan dengan lafazh seperti ini oleh Al-Mas'udi dari 'Ashim dari Abu Wa'il dari 'Abdullah", demikian dinyatakan Adz-Dzahaby ; lalu katanya: "Atsar tersebut diriwayatkan melalui beberapa jalan."
Al-'Abbas bin Abdul Muthalib menuturkan Rasulullah bersabda:
"Tahukah kamu sekalian berapa jarak antara langit dengan bumi?" Kami menjawab: "Allah dan RasulNya lebih mengetahui." Beliau bersabda: "Antara langit dan bumi jaraknya perjalanan 500 tahun, dan antara satu langit ke langit lainnya jaraknya perjalanan 500 tahun, sedang ketebalan masing-masing langit adalah perjalanan 500 tahun. Antara langit yang ke tujuh dengan 'Arsy ada samudra, dan antara dasar samudra itu dengan permukaannya seperti jarak antara langit dengan bumi. Allah di atas itu semua dan tidak tersembunyi bagiNya sasuatu apapun dari perbuatan anak keturunan Adam." (Hadits riwayat Abu Dawud dan Ahli Hadits lainnya)

Kitab Tauhid

09 Februari 2009

Kewajiban Menyebarkan SMS

Pertanyaan

Assalamualaikum. Wr. Wb

Ustad saya mau tanya nih.. akhir akhir ini saya sering dapat sms yang bunyinya amanat dari mekah, penjaga makam nabi bermimpi bertemu rasullullah, dan rasulullah berpesan agar kita selalu bertaqwa. Barang siapa yang mendapat sms ini di wajibkan menyebarkan sms ini ke 10 temannya, maka akan mendapat rezeki, barang siapa yang tidak menyebarkan maka akan mendapat kesulitan.

Dan masih banyak sms yang hampir serupa yang saya terima.. yang ingin saya tanyakan apakan benar sms seperti diwajibkan untuk menyebarkannya, karena saya takut akan terjadi kesyrikan, apakah saya akan berdosa jika tidak menyampaikan amanat tersebut.

Saya merasa ada yang ngak tenang di hati ini ustad... Maka dari itu saya sangat mengharapkan masukan dari ustad... Atas jawaban ustad saya ucapkan terima kasih...


Jawaban

Assalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,

Sudah sejak zaman dahulu kala penipuan model begini selalu saja muncul. Bedanya, dahulu menggunakan kertas yang diphoto-copy, sekarang di zaman telepon seluler, medianya menggunakan SMS.

Tetapi intinya sama saja, yaitu penipuan dan pembodohan yang sama sekali tidak ada dasarnya. Sayangnya, masih saja ada dari kalangan umat Islam yang termakan dengan pesan berantai model begini.

Padahal ada begitu banyak kejanggalan di dalamnya. Antara lain:

1. Di antara isi wasiat yang didasarkan pada impian Syekh Ahmad yang katanya bermimpi bertemu Nabi saw. itu ialah tentang telah dekatnya hari kiamat. Padahal tidak usah lewat wasiat itu pun kita sudah tahu bahwa hari kiamat memang telah dekat.

Dalam hal ini ada hadits dari nabi SAW yang menegaskan hal itu.

Anas dan Sahl bin Sa'ad berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda, "Aku dan hari kiamat diutus (secara berdekatan) seperti ini. Beliau (mengatakan demikian) sambil memberi isyarat dengan jari telunjuk dan jari tengahnya." (Muttafaq 'alaih)

2. Isi wasiat tersebut justru merupakan indikasi yang memperlihatkan kebohongan dan kepalsuan wasiat tersebut.

Sebab, isi wasiat itu justru berupaancaman dan upaya menakut-nakuti orang yang tidak mau menyebarluaskannya. Misalnyabahwa ia akan mendapat musibah dan kesusahan, anaknya akan mati dan hartanya akan habis.

Hal ini tidak pernah dikatakan oleh seorang manusia pun yang normal pikirannya, terhadap kitab Allah dan Sunnah Rasul-Nya. Tidak ada perintah bahwa orang yang membaca Al-Qur'an harus menulisnya setelah itu kemudian menyebarluaskannya kepada orang lain.Jika tidak, akan terkena musibah. Begitu pula tidak ada perintah bahwa orang yang membaca Shahih Bukhari harus menulisnya dan menyebarluaskannya kepada khalayak ramai, sebab kalau tidak, akan tertimpa musibah.

BahkanAl-Qur'an dan Sunnah Rasul pun tidak main ancam dengan pola demikian. Bagaimanamungkin sampai adawasiat yang bisa-bisanya main ancam?

Secara logika tentu sudah tidak bisa diterima. Apalagi logika orang muslim yang memahami Islam dengan baik dan benar.

Kemudian dalam wasiat tersebut dikatakan bahwa seseorang yang menyebarluaskan wasiat tersebut telahmendapat rezeki sekian puluh ribu rupiah. Padahal untuk memperoleh rezeki, ada sebab-sebabnya, ada jalan dan aturannya. Adapun bersandar kepada kabar burung seperti dalam wasiat itu adalah merupakan upaya untuk menyesatkan dan meyelewengkan akal pikiran umat Islam.

Kita perlu menjaga dan mengawasi kaum muslimin agar tidak membenarkan dan percaya kepada khurafat seperti ini dan agar tidak mempunyai anggapan bahwa orang yang menyebarluaskan wasiat palsu tersebut akan mendapat syafaat dari Nabi saw. sebagaimana yang dikatakan oleh penulis selebaran yang batil itu.

Wallahu a'lam bishshawab, wassalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,

Ahmad Sarwat, Lc
(www.warnaislam.com)

05 Februari 2009

Kitabul Adab: Cinta Karena Allah

Berkata Anas: "Bersabda Nabi SAW : Tidak akan menjumpai seorangpun manisnya iman, sehingga ia mencintai kepada seseorang, tidak mencintai padanya kecuali karena Allah SWT".
Jadi seharusnya kita dalam mencintai seseorang, baik kepada istri, anak ataupun keluarga dan saudara, harus dilandasi karena Allah swt, bukan karena yang lain, niscaya kita akan menemukan nikmatnya iman.

Belum sempurna iman seseorang sebelum dia mencintai Rasulullah melebihi apapun di dunia. Maknanya, bahwa kita harus mecintai Rasulullah diatas kecintaan kita terhadap istri, anak, keluarga dan segala milik kita didunia. Kecintaan kita terhadap Rasulullah, diwujudkan dengan mengikuti semua ajaran Dia, meninggalkan semua yang dilarang.

Cinta ada tiga tingkatan:
1. cinta dalam bentuk menghormat, memuliakan
2. Cinta dalam bentuk rasa sayang dan kasihan
3. Cinta dalam bentuk ingin selalu berbuat baik kepada sesama.

Surat Muhammad (47) aayat 7:Hai orang-orang beriman, jika kamu menolong (agama) Allah, niscaya Allah akan menolongmu dan meneguhkan kedudukanmu.

(catatan 6 Mei '07)

02 Februari 2009

Keutamaan Shalawat

Bershalawat dapat mengangkat derajat serta menghapus berbagai kesalahan. Hal ini sesuai dengan sabda Nabi Muhammad saw, seperti yang diriwayatkan dari Abi Thalhah al Anshari yang berbunyi: Suatu ketika Rasulullah saw tampak sangat bahagia. Hal ini terlihat dari gambaran raut muka beliau. Para sahabat yang melihat pada waktu itu bertanya: “wahai Rasulullah, telah tampak kegembiraan pada diri tuan seperti yang terlihat di wajah tuan, apa yang membuat tuan begitu gembira?”. Lalu Beliaupun bercerita: “ Suatu ketika aku kedatangan seseorang atas perintah Allah swt yang Maha Agung. Dia berkata: “Barang siapa yang bershalawat kepadamu dari umatmu satu kali shalawat, maka Allah swt akan memberikan/membalas kepadanya sepuluh kebaikan, dan akan menghapus darinya sepuluh kesalahan, serta akan diangkat oleh Allah swt sepuluh derajat pula”.
(HR Imam Ahmad dalam kitabnya “al Musnad” 4/29, hadits tersebut dishahihkan pula oleh Imam al-Albany. )

Dalam hadits lain seperti yang diriwayatkan oleh Anas bin Malik ra disebutkan pula bahwa Nabi Muhammad saw telah bersabda, “ Barang siapa yang bershalawat kepadaku satu kali, maka Allah swt akan membalasnya dengan sepuluh kali shalawat, juga akan dihapuskan atasnya sepuluh kesalahan serta akan ditinggikan derajatnya sebanyak sepuluh derajat” (HR Imam Ahmad dalam Musnad, 3/102, juga al Nasai 3/50, sesuai dengan lafadz dari padanya, serta hadits tersebut dishahihkan oleh Imam al Albany).
Sumber: Menyelami lautan shalawat, Ibnu Qayyim al Jauziyah.

Riwayat Hidup Imam Bukhori

Suatu ketika penduduk Samarkand mengirim surat kepada Imam Bukhari yang isinya meminta ia supaya menetap di negeri mereka. Maka kemudian ia pergi untuk memenuhi permohonan mereka. Ketika perjalanannya sampai di Khartand, sebuah dsa kecil yang terletak dua farsakh sebelum Samarkand, dan desa itu terdapat beberapa familinya, ia pun singgah terlebih dahulu untuk mengunjungi mereka. Tetapi di desa itu Imam Bukhari jatuh sakit hingga menemui ajalnya. 

Ia wafat pada malam Idul Fitri tahun 256 H. (31 Agustus 870 M), dalam usia 62 tahun kurang 13 hari. Sebelum meninggal dunia, ia berpesan bahwa jika meninggal nanti jenazahnya agar dikafani tiga helai kain, tanpa baju dalam dan tidak memakai sorban. Pesan itu dilaksanakan dengan baik oleh masyarakat setempat. Jenazahnya dikebumikan lepas dzuhur, hari raya Idul Fitri, sesudah ia melewati perjalanan hidup panjang yang penuh dengan berbagai amal yang mulia. Semoga Allah melimpahkan rahmat dan ridha-Nya. 

Pengembaraannya ke berbagai negeri telah mempertemukan Imam Bukhari dengan guru-guru yang berbobot dan dapat dipercaya, yang mencapai jumlah sangat banyak. Diceritakan bahwa dia menyatakan: "Aku menulis hadits yang diterima dari 1.080 orang guru, yang semuanya adalah ahli hadits dan berpendirian bahwa iman adalah ucapan dan perbuatan." Di antara guru-guru besar itu adalah Ali ibn al-Madini, Ahmad ibn Hanbal, Yahya ibn Ma'in, Muhammad ibn Yusuf al-Faryabi, Maki ibn Ibrahim al-Bakhi, Muhammad ibn Yusuf al-Baykandi dan Ibn Rahawaih. Guru-guru yang haditsnya diriwayatkan dalam kitab Sahih-nya sebanyak 289 orang guru. 

Karena kemasyurannya sebagai seorang alim yang super jenius, sangat banyak muridnya yang belajar dan mendengar langsung haditsnya dari dia. Tak dapat dihitung dengan pasti berapa jumlah orang yang meriwayatkan hadits dari Imam Bukhari, sehingga ada yang berpendapat bahwa kitab Sahih Bukhari didengar secara langsung dari dia oleh sembilan puluh ribu (90.000) orang (Muqaddimah Fathul-Bari, jilid 22, hal. 204). Di antara sekian banyak muridnya yang paling menonjol adalah Muslim bin al-Hajjaj, Tirmizi, Nasa'i, Ibn Khuzaimah, Ibn Abu Dawud, Muhammad bin Yusuf al-Firabri, Ibrahim bin Ma'qil al-Nasafi, Hammad bin Syakr al-Nasawi dan Mansur bin Muhammad al-Bazdawi. Empat orang yang terakhir ini merupakan yang paling masyur sebagai perawi kitab Sahih Bukhari. 

Dalam bidang kekuatan hafalan, ketajaman pikiran dan pengetahuan para perawi hadits, juga dalam bidang ilat-ilat hadits, Imam Bukhari merupakan salah satu tanda kekuasaan (ayat) dan kebesaran Allah di muka bumi ini. Allah telah mempercayakan kepada Bukhari dan para pemuka dan penghimpun hadits lainnya, untuk menghafal dan menjaga sunah-sunah Nabi kita Muhammad SAW. Diriwayatkan, bahwa Imam Bukhari berkata: "Saya hafal hadits di luar kepala sebanyak 100.000 buah hadits sahih, dan 200.000 hadits yang tidak sahih." 
Mengenai kejeniusan Imam Bukhari dapat dibuktikan pada kisah berikut. Ketika ia tiba di Baghdad, ahli-ahli hadits di sana berkumpul untuk menguji kemampuan dan kepintarannya. Mereka mengambil 100 buah hadits, lalu mereka tukar-tukarkan sanad dan matannya (diputar balikkan), matan hadits ini diberi sanad hadits lain dan sanad hadits lain dinbuat untuk matan hadits yang lain pula. 10 orang ulama tampil dan masing-masing mengajukan pertanyaan sebanyak 10 pertanyaan tentang hadits yang telah diputarbalikkan tersebut. Orang pertama tampil dengan mengajukan sepuluh buah hadits kepada Bukhari, dan setiap orang itu selesai menyebutkan sebuah hadits, Imam Bukhari menjawab dengan tegas: "Saya tidak tahu hadits yang Anda sebutkan ini." Ia tetap memberikan jawaban serupa sampai kepada penanya yang ke sepuluh, yang masing-masing mengajukan sepuluh pertanyaan. Di antara hadirin yang tidak mengerti, memastikan bahwa Imam Bukhari tidak akan mungkin mampu menjawab dengan benar pertanyaan-pertanyaan itu, sedangkan para ulama berkata satu kepada yang lainnya: "Orang ini mengetahui apa yang sebenarnya." 

Setelah 10 orang semuanya selesai mengajukan semua pertanyaannya yang jumlahnya 100 pertanyaan tadi, kemudian Imam Bukhari melihat kepada penanya yang pertama dan berkata: "Hadits pertama yang anda kemukakan isnadnya yang benar adalah begini; hadits kedua isnadnya yang benar adalah beginii…" Begitulah Imam Bukhari menjawab semua pertanyaan satu demi satu hingga selesai menyebutkan sepuluh hadits. Kemudian ia menoleh kepada penanya yang kedua, sampai menjawab dengan selesai kemudian menoleh kepada penanya yang ketiga sampai menjawab semua pertanyaan dengan selesai sampai pada penanya yang ke sepuluh sampai selesai. Imam Bukhari menyebutkan satu persatu hadits-hadits yang sebenarnya dengan cermat dan tidak ada satupun dan sedikitpun yang salah dengan jawaban yang urut sesuai dengan sepuluh orang tadi mengeluarkan urutan pertanyaanya. Maka para ulama Baghdad tidak dapat berbuat lain, selain menyatakan kekagumannya kepada Imam Bukhari akan kekuatan daya hafal dan kecemerlangan pikirannya, serta mengakuinya sebagai "Imam" dalam bidang hadits. 

Sebagian hadirin memberikan komentar terhadap "uji coba kemampuan" yang menegangkan ini, ia berkata: "Yang mengagumkan, bukanlah karena Bukhari mampu memberikan jawaban secara benar, tetapi yang benar-benar sangat mengagumkan ialah kemampuannya dalam menyebutkan semua hadits yang sudah diputarbalikkan itu secara berurutan persis seperti urutan yang dikemukakan oleh 10 orang penguji, padahal ia hanya mendengar pertanyaan-pertanyaan yang banyak itu hanya satu kali."Jadi banyak pemirsa yang heran dengan kemampuan Imam Bukhari mengemukakan 100 buah hadits secara berurutan seperti urutannya si penanya mengeluarkan pertanyaannya padahal beliau hanya mendengarnya satu kali, ditambah lagi beliau membetulkan rawi-rawi yang telah diputarbalikkan, ini sungguh luar biasa. 

Imam Bukhari pernah berkata: "Saya tidak pernah meriwayatkan sebuah hadits pun juga yang diterima dari para sahabat dan tabi'in, melainkan saya mengetahui tarikh kelahiran sebagian besar mereka, hari wafat dan tempat tinggalnya. Demikian juga saya tidak meriwayatkan hadits sahabat dan tabi'in, yakni hadits-hadits mauquf, kecuali ada dasarnya yang kuketahui dari Kitabullah dan sunah Rasulullah SAW." 

Dengan kedudukannya dalam ilmu dan kekuatan hafalannya Imam Bukhari sebagaimana telah disebutkan, wajarlah jika semua guru, kawan dan generasi sesudahnya memberikan pujian kepadanya. Seorang bertanya kepada Qutaibah bin Sa'id tentang Imam Bukhari, ketika menyatakan : "Wahai para penenya, saya sudah banyak mempelajari hadits dan pendapat, juga sudah sering duduk bersama dengan para ahli fiqh, ahli ibadah dan para ahli zuhud; namun saya belum pernah menjumpai orang begitu cerdas dan pandai seperti Muhammad bin Isma'il al-Bukhari." 
Imam al-A'immah (pemimpin para imam) Abu Bakar ibn Khuzaimah telah memberikan kesaksian terhadap Imam Bukhari dengan mengatakan: "Di kolong langit ini tidak ada orang yang mengetahui hadits, yang melebihi Muhammad bin Isma'il." Demikian pula semua temannya memberikan pujian. Abu Hatim ar-Razi berkata: "Khurasan belum pernah melahirkan seorang putra yang hafal hadits melebihi Muhammad bin Isma'il; juga belum pernah ada orang yang pergi dari kota tersebut menuju Irak yang melebihi kealimannya." 
Al-Hakim menceriakan, dengan sanad lengkap. Bahwa Muslim (pengarang kitab Sahih), dating kepada Imam Bukhari, lalu mencium antara kedua matanya dan berkata: "Biarkan saya mencium kaki tuan, wahai maha guru, pemimpin para ahli hadits dan dokter ahli penyakit (ilat) hadits." Mengenai sanjungan diberikan ulama generasi sesudahnya, cukup terwakili oleh perkataan al-Hafiz Ibn Hajar yang menyatakan: "Andaikan pintu pujian dan sanjungan kepada Bukhari masih terbuka bagi generasi sesudahnya, tentu habislah semua kertas dan nafas. Ia bagaikan laut tak bertepi." 

Imam Bukhari adalah seorang yang berbadan kurus, berperawakan sedang, tidak terlalu tinggi juga tidak pendek; kulitnya agak kecoklatan dan sedikit sekali makan. Ia sangat pemalu namun ramah, dermawan, menjauhi kesenangan dunia dan cinta akhirat. Banyak hartanya yang disedekahkan baik secara sembunyi maupun terang-terangan, lebih-lebih untuk kepentingan pendidikan dan para pelajar. Kepada para pelajar ia memberikan bantuan dana yang cukup besar. Diceritakan ia pernah berkata: "Setiap bulan, saya berpenghasilan 500 dirham,semuanya dibelanjakan untuk kepentingan pendidikan. Sebab, apa yang ada di sisi Allah adalah lebih baik dan lebih kekal." 

Imam Bukhari sangat hati-hati dan sopan dalam berbicara dan dalam mencari kebenaran yang hakiki di saat mengkritik para perawi. Terhadap perawi yang sudah jelas-jelas diketahui kebohongannya, ia cukup berkata: "Perlu dipertimbangkan, para ulama meninggalkannya atau para ulama berdiam diri tentangnya." Perkataan yang tegas tentang para perawi yang tercela ialah: "Haditsnya diingkari." 

Meskipun ia sangat sopan dalam mengkritik para perawi, namun ia banyak meninggalkan hadits yang diriwayatkan seseorang hanya karena orang itu diragukan. Dalam sebuah riwayat diceritakan bahwa ia berkata: "Saya meninggalkan 10.000 hadits yang diriwayatkan oleh perawi yang perlu dipertimbangkan, dan meninggalkan pula jumlah yang sama atau lebih, yang diriwayatkan perawi yang dalam pandanganku, perlu dipertimbangkan." 

Selain dikenal sebagai ahli hadits, Imam Bukhari juga sebenarnya adalah ahli dalam fiqh. Dalam hal mengeluarkan fatwa, ia telah sampai pada derajat mujtahid mustaqiil (bebas, tidak terikat pendapatnya pada madzhab-madzhab tertentu) atau dapat mengeluarkan hukum secara sendirian. Dia mempunyai pendapat-pendapat hukum yang digalinya sendiri. Pendapat-pendapatnya itu terkadang sejalan dengan madzhab Abu Hanifah, terkadang sesuai dengan Madzhab Syafi'i dan kadang-kadang berbeda dengan keduanya. Selain itu pada suatu saat ia memilih madzhab Ibn Abbas, dan disaat lain memilih madzhab Mujahid dan 'Ata dan sebagainya. Jadi kesimpulannya adalah Imam Bukhari adalah seorang ahli hadits yang ulung dan ahli fiqh yg berijtihad sendiri, kendatipun yang lebih menonjol adalah setatusnya sebagai ahli hadits, bukan sebagai ahli fiqh. 

Di sela-sela kesibukannya sebagai seorang alim, ia juga tidak melupakan kegiatan lain yang dianggap penting untuk menegakkan Diunul Islam. Imam Bukhari sering belajar memanah sampai mahir, sehingga dikatakan bahwa sepanjang hidupnya, ia tidak pernah luput dalam memanah kecuali hanya dua kali. Keadaan itu timbul sebagai pengamalan sunah Rasul yang mendorong dan menganjurkan kaum Muslimin belajar menggunakan anak panah dan alat-alat perang lainnya. Tujuannya adalah untuk memerangi musuh-musuh Islam dan mempertahankannya dari kejahatan mereka. 

Diantara hasil karya Imam Bukhari adalah sebagai berikut : 
 
· Al-Jami' as-Sahih (Sahih Bukhari). 
· Al-Adab al-Mufrad. 
· At-Tarikh as-Sagir. 
· At-Tarikh al-Awsat. 
· At-Tarikh al-Kabir. 
· At-Tafsir al-Kabir. 
· Al-Musnad al-Kabir. 
· Kitab al-'Ilal. 
· Raf'ul-Yadain fis-Salah. 
· Birril-Walidain. 
· Kitab al-Asyribah. 
· Al-Qira'ah Khalf al-Imam. 
· Kitab ad-Du'afa. 
· Asami as-Sahabah. 
· Kitab al-Kuna. 

Sekilas Tentang Kitab AL-JAMI' AS-SAHIH (Sahih Bukhari) 

Diceritakan, Imam Bukhari berkata: "Aku bermimpi melihat Rasulullah SAW.; seolah-olah aku berdiri di hadapannya, sambil memegang kipas yang kupergunakan untuk menjaganya. Kemudian aku tanyakan mimpi itu kepada sebagian ahli ta'bir, ia menjelaskan bahwa aku akan menghancurkan dan mengikis habis kebohongan dari hadits Rasulullah SAW. Mimpi inilah, antara lain, yang mendorongku untuk melahirkan kitab Al-Jami' as-Sahih." 

Dalam menghimpun hadits-hadits sahih dalam kitabnya, Imam Bukhari menggunakan kaidah-kaidah penelitian secara ilmiah dan sah yang menyebabkan kesahihan hadits-haditsnya dapat dipertanggungjawabkan. Beliau telah berusaha dengan sungguh-sungguh untuk meneliti dan menyelidiki keadaan para perawi, serta memperoleh secara pasti kesahihan hadits-hadits yang diriwayatkannya. Beliau senantiasa membanding-bandingkan hadits-hadits yang diriwayatkan, satu dengan yang lain, menyaringnya dan memlih has mana yang menurutnya paling sahih. Sehingga kitabnya merupakan batu uji dan penyaring bagi hadits-hadits tersebut. Hal ini tercermin dari perkataannya: "Aku susun kitab Al-Jami' ini yang dipilih dari 600.000 hadits selama 16 tahun." Dan beliau juga sangat hati-hati, hal ini dapat dilihat dari pengakuan salah seorang muridnya bernama al-Firbari menjelaskan bahwa ia mendengar Muhammad bin Isma'il al-Bukhari berkata: "Aku susun kitab Al-Jami' as-Sahih ini di Masjidil Haram, dan tidaklah aku memasukkan ke dalamnya sebuah hadits pun, kecuali sesudah aku memohonkan istikharoh kepada Allah dengan melakukan salat dua rekaat dan sesudah aku meyakini betul bahwa hadits itu benar-benar sahih." 

Maksud pernyataan itu ialah bahwa Imam Bukhari mulai menyusun bab-babnya dan dasar-dasarnya di Masjidil Haram secara sistematis, kemudian menulis pendahuluan dan pokok-pokok bahasannya di Rawdah tempat di antara makan Nabi SAW. dan mimbar. Setelah itu, ia mengumpulkan hadits-hadits dan menempatkannya pada bab-bab yang sesuai. Pekerjaan ini dilakukan di Mekah, Madinah dengan tekun dan cermat, menyusunnya selama 16 tahun. 
Dengan usaha seperti itu, maka lengkaplah bagi kitab tersebut segala faktor yang menyebabkannya mencapai kebenaran, yang nilainya tidak terdapat pada kitab lain. Karenanya tidak mengherankan bila kitab itu mempunyai kedudukan tinggi dalam hati para ulama. Maka sungguh tepatlah ia mendapat predikat sebagai "Buku Hadits Nabi yang Paling Sahih." 
Diriwayatkan bahwa Imam Bukhari berkata: "Tidaklah kumasukkan ke dalam kitab Al-Jami'as-Sahih ini kecuali hadits-hadits yang sahih; dan kutinggalkan banyak hadits sahih karena khawatir membosankan." 

Kesimpulan yang diperoleh para ulama, setelah mengadakan penelitian secara cermat terhadap kitabnya, menyatakan bahwa Imam Bukhari dalam kitab Sahih-nya selalu berpegang teguh pada tingkat kesahihan yang paling tinggi, dan tidak turun dari tingkat tersebut kecuali dalam beberapa hadits yang bukan merupakan materi pokok dari sebuah bab, seperti hadits mutabi dan hadits syahid, dan hadits-hadits yang diriwayatkan dari sahabat dan tabi'in. 

Jumlah Hadits Kitab Al-Jami'as-Sahih (Sahih Bukhari) 
Al-'Allamah Ibnus-Salah dalam Muqaddimah-nya menyebutkan, bahwa jumlah hadits Sahih Bukhari sebanyak 7.275 buah hadits, termasuk hadits-hadits yang disebutnya berulang, atau sebanyak 4.000 hadits tanpa pengulangan. Perhitungan ini diikuti oleh Al-"Allamah Syaikh Muhyiddin an-Nawawi dalam kitabnya, At-Taqrib. 

Selain pendapat tersebut di atas, Ibn Hajar di dalam muqaddimah Fathul-Bari, kitab syarah Sahih Bukhari, menyebutkan, bahwa semua hadits sahih mawsil yang termuat dalam Sahih Bukhari tanpa hadits yang disebutnya berulang sebanyak 2.602 buah hadits. Sedangkan matan hadits yang mu'alaq namun marfu', yakni hadits sahih namun tidak diwasalkan (tidak disebutkan sanadnya secara sambung-menyambung) pada tempat lain sebanyak 159 hadits. Semua hadits Sahih Bukhari termasuk hadits yang disebutkan berulang-ulang sebanyak 7.397 buah. Yang mu'alaq sejumlah 1.341 buah, dan yang mutabi' sebanyak 344 buah hadits. Jadi, berdasarkan perhitungan ini dan termasuk yang berulang-ulang, jumlah seluruhnya sebanyak 9.082 buah hadits. Jumlah ini diluar haits yang mauquf kepada sahabat dan (perkataan) yang diriwayatkan dari tabi'in dan ulama-ulama sesudahnya. 


(Sumber: Kitab Hadis Sahih yg Enam, Muhammad Muhammad Abu Syuhbah
Al-Islam, Pusat Informasi dan Komunikasi Islam Indonesia)