17 April 2009

Tidak ada dikotomi antara dunia dan akhirat

“Beramal-lah untuk duniamu seolah-olah engkau akan hidup selamanya, dan beramal-lah untuk akhiratmu seolah-olah engkau akan mati esok.”

Matan dari hadits ini seolah-olah ada dikotomi antara dunia dan akhirat, padahal keduanya seharusnya sejalan. Hadits yang populer ini termasuk dalam katagori dha’if, rujukan kita pada pendapat ahli hadits Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani dalam kitabnya Silsilatu-Ahaadiits adh-Dhaifah wal-Maudhu’ah wa Atsaruhas-Sayyi’ fil-Ummah atau dalam terjemahan Gema Insani Press 1998 : Silsilah Hadits Dha’if dan Maudhu’ Jilid 1 Hadits No. 8, beliau mengatakan :

“Sekalipun riwayat di atas sangatlah masyur dan hampir setiap orang mengutipnya, tetapi sanadnya tidak ada yang marfu’. Bahkan Syaikh Abdul Karim al-Amri tidak mencantumkannya dalam kitabnya al-Jaddul-Hatsits fi Bayani laysa bi Hadits.

Namun saya (Syekh Al-Albani-red) telah mendapatkan sumbernya dengan sanad yang mauquf (pada sahabat) yaitu diriwayatkan oleh Ibnu Qutaibah dalam kitab Gharibul-Hadits I/46, dengan matan “ihrits lidunyaaka……” dan seterusnya.

Juga saya dapatkan riwayat Ibnu Mubarak pada kitab az-Zuhud II/28 dengan sanad lain yang tidak maquf dan munqathi’ (tidak bersambung).

Ringkasnya, riwayat hadits tersebut dha’if karena adanya dua penyakit dalam sanadnya. Pertama, majhulnya (asingnya) maula (budak/pengikut) Umar bin Abdul Aziz sebagai salah satu perawi sanadnya. Kedua, dha’ifnya pencatat bagi Laits yang bernama Abdullah bin Shaleh, yang juga merupakan perawi sanad dalam riwayat ini.”

Di dalam hadits lain :

“Barang siapa yang bekerja untuk kedua orangtuanya, maka ia berada di jalan Allah, barang siapa yang bekerja untuk keluarganya, maka ia berada di jalan Allah, dan barang siapa yang bekerja untuk dirinya, yaitu agar ia terjaga (terhormat), maka ia berada di jalan Allah. Dan barang siapa yang bekerja untuk menumpuk harta, maka ia berada di jalan thaaghuut atau di jalan syaithaan.” (Dikeluarkan oleh Al-Bazzaar, Abuu Nu’aim dan Ash-Bahaanii. Lihat A-Haadiitsush-Shahiihah oleh Asy-Syaikh Al-Albaani juz V hal. 272 no. 2232).

Jelas sekali bahwa Islam memandang “bekerja” atau “berusaha” untuk memenuhi kebutuhan keluarga atau kebutuhan pribadi sebagai sebuah jihad Fi Sabiilillaah dalam bentuk yang lain. Dengan demikian barang siapa yang berkerja dengan niat salah satu dari 3 (tiga) motivasi ini, yaitu bekerja untuk menghidupi kedua orangtuanya, atau menghidupi keluarganya atau untuk memelihara kehormatannya agar tidak menjadi beban bagi orang lain, maka dia berada di jalan Allah dan siapa saja yang berada di jalan Allah lalu mati, maka surga adalah jaminannya. Hadits ini secara jelas menunjukkan bahwa antara dunia dan akhirat tidak ada dikotomi.

Catatan Djoko Priambodo

Tidak ada komentar:

Posting Komentar