27 Februari 2009

Mengenal Nabi Muhammad SAW

Beliau adalah Muhammad bin ‘Abdulâh bin ‘Abdul Muthalib bin Hasyim. Hasyim adalah termasuk suku Quraisy, suku Quraisy termasuk bangsa ‘Arab, sedang bangsa ‘Arab adalah termasuk keturunan Nabi Ismâ’îl a.s, putera Nabi Ibrâhîm Al-Khalil. Semoga Allâh melimphkan kepadanya dan kepada Nabi kita sebaik-baiknya shalawat dan salam.

Beliau berumur 63 tahun; diantaranya 40 tahun sebelum Beliau menjadi nabi dan 23 tahun sebagai nabi serta rasûl.
Beliau diangkat sebagai nabi dengan surat “Iqra” (Yakni Surat Al-Alaq (96) : 1-5) dan diangkat sebagai rasul dengan surat “Al-Muddatstsir”.
Tempat asal Beliau adalah Makkah.
Beliau diutus Allâh untuk menyampaikan peringatan menjauhi syirik dan mengajak kepada tauhid.
Dalilnya :

“Hai orang yang berkemul (berselimut), bangunlah, lalu berilah peringatan!, dan Tuhanmu agungkanlah, dan pakaianmu bersihkanlah, dan perbuatan dosa (menyembah berhala) tinggalkanlah, dan janganlah kamu memberi (dengan maksud) memperoleh (balasan) yang lebih banyak. Dan untuk (memenuhi perintah) Tuhanmu, bersabarlah.”
(Surat Al-Muddatstsir (74) : 1-7)

Peringatan :

“Sampaikanlah Peringatan” : menyampaikan peringatan menjauhi syirik dan mengajak kepada tauhid.
“Agungkanlah Tuhanmu” : Agungkanlah Ia dengan berserah diri dan beribadah kepada-Nya semata-mata.
“Sucikanlah pakaianmu” : Sucikanlah segala amalmu dari perbuatan syirik.
“Tinggalkanlah berhala-berhala itu” : jauhkan dan bebaskan dirimu darinya serta orang-orang yang memujanya.

Beliau melaksanakan perintah ini dengan tekun dan gigih selama sepuluh tahun, mengajak kepada tauhid. Setelah sepuluh tahun itu Beliau dimi’rajkan (diangkat naik) ke atas langit dan disyariatkan kepada Beliau shalât lima waktu. Beliau melakukan shalât di Makkah selama tiga tahun. Kemudian, sesudah itu, Beliau diperintahkan untuk berhijrah ke Madinah.

Hijrah, pengertiannya, ialah : pindah dari lingkungan syirik ke lingkungan Islâmi.
Hijrah ini merupakan kewajiban yang harus dilaksanakan umat Islâm. Dan kewajiban tersebut hukumnya tetap berlaku sampai hari Kiamat.
Dalil yang menunjukkan kewajiban hijrah, yaitu firman Allâh Ta’âla :

“Sesungguhnya orang-orang yang diwafatkan malaikat dalam keadaan menganiaya diri sendiri (Yang dimaksud dengan orang-orang yang zhalim terhadap diri mereka sendiri dalam ayat ini ialah orang-orang penduduk Makkah yang sudah masuk Islâm tetapi mereka itu tidak mau hijrah bersama Nabi, padahal mereka mampu dan sanggup. Mereka ditindas dan dipaksa oleh orang-orang kafir supaya ikut bersama mereka pergi ke perang Badar, akhirnya ada di antara mereka yang terbunuh.), (kepada mereka) malaikat bertanya: "Dalam keadaan bagaimana kamu ini?". Mereka menjawab: "Adalah kami orang-orang yang tertindas di negeri (Makkah)". Para malaikat berkata: "Bukankah bumi Allâh itu luas, sehingga kamu dapat berhijrah di bumi itu?". Orang-orang itu tempatnya neraka Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali, kecuali mereka yang tertindas baik laki-laki atau wanita ataupun anak-anak yang tidak mampu berdaya upaya dan tidak mengetahui jalan (untuk hijrah), mereka itu, mudah-mudahan Allâh mema`afkannya. Dan adalah Allâh Maha Pema`af lagi Maha Pengampun.”
(Surat An-Nisâ (4) : 97-99)

Dan firman Allâh Ta’âla, artinya:

“Hai hamba-hamba-Ku yang beriman, sesungguhnya bumi-Ku luas, maka sembahlah Aku saja.” (Surat Al-Ankabût (29) : 56)

Al-Baghawi (Abu Muhammad Al-Husein bin Mas’ud bin Muhammad Al-Farra – atau Ibnu Al-Farra – Al-Baghawi (436 – 510 H = 1044 – 1117 M). Seorang ahli dalam bidang fiqh, hadits dan tafsir. Di antara karyanya : At-Tahdzîb (fiqh), Syarh As-Sunnah (hadits), Lubâb At-Ta’wîl fî Ma’âlim At-Tanzîl (tafsir).), rahimahullâh, berkata : “Ayat ini, sebab turunnya, adalah ditujukan kepada orang-orang muslim yang masih berada di Makkah, yang mereka itu belum juga berhijrah. Karena itu, Allâh menyeru kepada mereka dengan sebutan orang-orang yang beriman”

Adapun dalil dari Sunnah yang menunjukkan kewajiban hijrah, yaitu sabda Rasûlullâh saw :

“Hijrah tetap akan berlangsung selama pintu taubat belum ditutup, sedang pintu taubat tidak akan ditutup sebelum matahari terbit dari Barat”
(H.R. Ahmad dalam musnadnya jilid 4 hal. 99; Sunan Abu Dawûd kitan Al-Jihad bab 2; dan Sunan Ad-Darimi kitan As-Sair bab 70)

Setelah Nabi Muhammad menetap di Madinah, disyariatkan kepada beliau zakat, puasa, haji, adzan, jihad, amar ma’ruf dan nahi munkar serta syariat-syariat Islâm lainnya.
Beliau pun melaksanakan untuk menyampaikan hal ini dengan tekun dan gigih selama sepuluh tahun . Sesudah itu wafatlah beliau, sedang agamanya tetap dalam keadaan lestari.
Inilah agama yang beliau bawa : Tiada suatu kebaikan yang tidak beliau tunjukkan kepada umatnya dan tiada suatu keburukan yang tidak beliau peringatkan kepada umatnya supaya dijauhi. Kebaikan yang beliau tunjukkan ialah tauhid serta segala yang dicintai dan diridhoi Allâh, sedang keburukan yang beliau peringatkan supaya dijauhi ialah syirik serta segala yang dibenci dan tidak disenangi Allâh.
Nabi Muhammad saw, diutus oleh Allâh kepada seluruh umat manusia, dan diwajibkan kepada seluruh jin dan manusia untuk mentaatinya.

Firman Allâh Ta’âla yang artinya:

“Katakanlah: "Hai manusia sesungguhnya aku adalah utusan Allâh kepadamu semua …….”
(Surat Al-A’râf (7) : 158)

Dan melalui Beliau, Allâh telah menyempurnakan agama-Nya untuk kita.
Firman Allâh Ta’âla yang artinya:

“……Pada hari ini (Maksudnya ialah : hari Jum’at ketika wukuf di Arafah, pada waktu Haji Wada’) telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu ni`mat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu…..”
(Surat Al-Mâ’idah (5) : 3)

Adapun dalil yang menunjukkan bahwa Beliau saw juga wafat, ialah firman Allâh Ta’âla :

“Sesungguhnya kamu akan mati dan sesungguhnya mereka akan mati (pula). Kemudian sesungguhnya kamu pada hari kiamat akan berbantah-bantah di hadapan Tuhanmu.”
(Surat Az-Zumar (39) : 30-31)

Manusia sesudah mati, mereka nanti akan dibangkitkan kembali. Dalilnya, firman Allâh Ta’âla :

“Dari bumi (tanah) itulah Kami menjadikan kamu dan kepadanya Kami akan mengembalikan kamu dan daripadanya Kami akan mengeluarkan kamu pada kali yang lain.”
(Surat Thâhâ (20) : 55)

Dan firman Allâh Ta’âla :

“Dan Allâh menumbuhkan kamu dari tanah dengan sebaik-baiknya, kemudian Dia mengembalikan kamu ke dalam tanah dan mengeluarkan kamu (daripadanya pada hari kiamat) dengan sebenar-benarnya.”
(Surat Nuh (71) : 17–18)

Setelah manusia dibangkitkan, mereka akan dihisab dan diberi balasan sesuai dengan amal perbuatan mereka. Dalilnya, firman Allâh Ta’âla :

“Dan hanya kepunyaan Allâh-lah apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi supaya Dia memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat jahat terhadap apa yang telah mereka kerjakan dan memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat baik dengan pahala yang lebih baik (surga).”
(Surat An-Najm (53) : 31)

Barangsiapa yang tidak mengimani kebangkitan ini, maka dia adalah kafir. Sesuai firman Allâh Ta’âla :

“Orang-orang yang kafir mengatakan, bahwa mereka sekali-kali tidak akan dibangkitkan. Katakanlah: "Tidak demikian, demi Tuhanku, benar-benar kamu akan dibangkitkan, kemudian akan diberitakan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan". Yang demikian itu adalah mudah bagi Allâh.”
(Surat At-Taghâbun (64) : 7)

Allâh telah mengutus semua rasûl sebagai penyampai kabar gembira dan pemberi peringatan. Sebagaimana firman Allâh Ta’âla :

“(Mereka kami utus) selaku rasul-rasul pembawa berita gembira dan pemberi peringatan agar supaya tidak ada alasan bagi manusia membantah Allâh sesudah diutusnya rasul-rasul itu…..”
(Surat An-Nisâ’ (4) : 165)

Rasûl pertama adalah Nabi Nûh, ‘alaihis-salam (Selain dalil dari Al-Qur-ân yang disebutkan Penulis, yang menunjukkan bahwa Nabi Nûh adalah rasûl pertama, di sana ada juga hadits shahih yang menyatakan bahwa Nabi Nûh adalah rasûl pertama yang diutus kepada penduduk bumi ini, seperti hadits riwayat Al-Bukhârî dalam shahihnya kitan Al-Anbiya bab 3 dan riwayat Muslim dalam shahihnya kitab Al-Iman bab 84. Adapun Nabi Adam, ‘alaihis-salam, menurut sebuah hadits yang diriwayatkan dari Abu Dzar Al-Ghifari, radhiyallâhu ‘anhû, beliau adalah Nabi pertama. Dan disebutkan dalam hadits ini bahwa jumlah para Nabi ada 124.000 orang, dari jumlah tersebut sebagai rasûl 315 orang, dan dalam riwayat lain disebutkan 310 orang lebih. Lihat : Imam Ahmad, Al-Musnad, jilid 5 hal. 178, 179 dan 265), dan rasûl terakhir adalah Nabi Muhammad, shalallâhu ‘alaihi wa sallam, serta Beliaulah penutup para Nabi.

Dalil yang menunjukkan bahwa rasûl pertama adalah Nabi, berdasarkan firman Allâh Ta’âla :

“Sesungguhnya Kami telah memberikan wahyu kepadamu sebagaimana Kami telah memberikan wahyu kepada Nuh dan nabi-nabi yang kemudiannya……………”
(Surat An-Nisâ’ (4) : 163)

Dan Allâh telah mengutus kepada setiap umat seorang rasûl, mulai dari Nabi Nûh sampai Nabi Muhammad, dengan memerintahkan mereka untuk beribadah kepada Allâh semata-mata dan melarang mereka beribadah kepada thâghût. Firman Allâh Ta’âla :

“Dan sesungguhnya Kami telah mengutus rasûl pada tiap-tiap umat (untuk menyerukan): "Sembahlah Allâh (saja), dan jauhilah Thâghût itu"………”
(Surat An-Nahl (16) : 36)

Dengan demikian, Allâh telah mewajibkan kepada seluruh hamba-Nya supaya bersikap kafir kepada thâghût dan hanya beriman kepada-Nya.

Ibnu Al-Qayyim (Abû ‘Abdillâh, Muhammad bin Abu Bakr bin Ayyub bin Sa’d As-Zur’I Ad-Dimasyqi, terkenal dengan Ibnu Al-Qayyim atau Ibnu Qayyim Al-Jauziyah (691-751 H = 1292 – 1350 M). Seorang ‘ulama yang giat dan gigih dalam mengajak umat Islâm pada zamannya untuk kembali kepada tuntunan Al-Qur-ân dan Sunnah serta mengikuti jejak para salaf shaleh. Mempunyai banyak karya tulis, antara lain : Madârij As-Sâlikîn, Zâd Al-Ma’âd, Tharîq Al-Hijratain wa Bâb As-Sa’âdatain, AT-Tibyân fi Aqsâm Al-Qur-ân, Miftâh Dâr As-Sa’âdah.), rahimahullâh Ta’âla, telah menjelaskan pengertian thâghût tersebut dengan mengatakan :

“Thâghût ialah setiap yang diperlakukan manusia secara melampaui batas (yang telah ditentukan oleh Allâh), seperti dengan disembah, atau diikuti, atau dipatuhi”

Dan thâghût itu banyak macamnya, tokoh-tokohnya ada 5 (lima), yaitu :
1. Iblis, yang telah dilaknat oleh Allâh;
2. Orang yang disembah, sedang dia sendiri rela;
3. Orang yang mengajak manusia untuk menyembah dirinya;
4. Orang yang mengaku tahu sesuatu yang ghaib; dan
5. Orang yang memutuskan sesuatu tanpa berdasarkan hukum yang telah diturunkan oleh Allâh.
Allâh Ta’âla berfirman :

“Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islâm); sesungguhnya telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat. Karena itu barangsiapa yang ingkar kepada Thâghût dan beriman kepada Allâh, maka sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang amat kuat yang tidak akan putus. Dan Allâh Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.”
(Surat Al-Baqarah (2) : 256)

Ingkar kepada semua thâghût dan iman kepada Allâh saja, sebagaimana dinyatakan dalam ayat tadi, adalah hakekat syahadat “Lâ ilâha illallâh”.
Dan diriwayatkan dalam hadits, Rasûlullâh saw bersabda :

“Pokok agama ini adalah Islâm (Silahkan melihat kembali pengertian Islâm yang disebutkan oleh Penulis di hal. 18), dan tiangnya adalah shalât, sedang ujung tulang punggungnya adalah jihad fî sabîlillâh” ( Hadits shahih riwayat Ath-Thabarani dari Ibnu ‘Umar radhiyallâhu ‘anhuma; dan riwayat at-Tirmidzi dalam Al-Jâmi’ Ash-Shahih kitab Al-Imân bab 8)

Hanya Allâh-lah yang Maha Tahu, Semoga shalawat dan salam senantiasa dilimpahkan Allâh kepada Nabi Muhammad, kepada keluarga dan para sahabatnya.

Ushulu Tsalatsa

Tidak ada komentar:

Posting Komentar