14 Februari 2009

MENGENAL AGAMA ISLÂM

Islâm, ialah berserah diri kepada Allâh dengan tauhid dan tunduk kepada-Nya dengan penuh kepatuhan akan segala perintah-Nya serta menyelamatkan diri dari perbuatan syirik dan orang-orang yang berbuat syirik.

Dan agama Islâm, dalam pengertian tersebut, mempunyai tiga tingkatan, yaitu :
A. Islâm,
B. Îman
C. Ihsan,
masing-masing tingkatan mempunyai rukun-rukunnya.

A. Tingkatan Islâm :

Adapun tingkatan Islâm, rukunnya ada 5 (lima), yaitu :
1. Syahadat (pengakuan dengan hati dan lisan) bahwa “Lâ ilâha illallâh” (tiada sesembahan yang haq selain Allâh) dan Muhammad adalah Rasûlullâh; :

Firman Allâh Ta’âla yang artinya:

“Allâh menyatakan bahwasanya tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan Dia, Yang menegakkan keadilan. Para malaikat dan orang-orang yang berilmu (juga menyatakan yang demikian itu). Tak ada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan Dia, Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.”
(Surat Ali ‘Imran (3) : 18)

“Lâ ilâha illallâh”, artinya : Tiada sesembahan yang haq selain Allâh.

Syahadat ini mengandung dua unsur : menolak dan menetapkan. “Lâ ilâha”, adalah menolak segala sembahan selain Allâh; “illallâh”, adalah menetapkan bahwa penyembahan itu hanya untuk Allâh semata-mata, tiada sesuatu apapun yang boleh dijadikan sekutu di dalam penyembahan kepada-Nya, sebagaimana tiada sesuatu apapun yang boleh dijadikan sekutu di dalam kekuasaan-Nya.

Tafsiran syahadat tersebut diperjelas oleh firman Allâh SWT yang artinya:

“Dan ingatlah ketika Ibrahim berkata kepada bapaknya dan kaumnya: "Sesungguhnya aku tidak bertanggung jawab terhadap apa yang kamu sembah, tetapi (aku menyembah) Tuhan Yang menjadikanku; karena sesungguhnya Dia akan memberi hidayah kepadaku”. Dan (Ibrahim) menjadikan kalimat tauhid itu kalimat yang kekal pada keturunannya supaya mereka kembali kepada kalimat tauhid itu.”
(Surat Az-Zukhruf (43) : 26-28)

Dan firman Allâh Ta’âla yang artinya:

“Katakanlah: "Hai Ahli Kitab, marilah (berpegang) kepada suatu kalimat (ketetapan) yang tidak ada perselisihan antara kami dan kamu, bahwa tidak kita sembah kecuali Allâh dan tidak kita persekutukan Dia dengan sesuatupun dan tidak (pula) sebagian kita menjadikan sebagian yang lain sebagai tuhan selain Allâh. Jika mereka berpaling maka katakanlah kepada mereka: "Saksikanlah, bahwa kami adalah orang-orang yang berserah diri (kepada Allâh)".”
(Surat Ali ‘Imrân (3) : 64)

Adapun dalil syahadat bahwa Muhammad adalah Rasûlullâh, firman Allâh yang artinya:

“Sesungguhnya telah datang kepadamu seorang rasul dari kaummu sendiri, berat terasa olehnya penderitaanmu, sangat menginginkan (keimanan dan keselamatan) bagimu, amat belas kasihan lagi penyayang terhadap orang-orang mu'min.”
(Surat At-Taubah (9) : 128)

Syahadat bahwa Muhammad adalah Rasûlullâh, berarti : mentaati apa yang yang diperintahkannya, membenarkan apa yang diberitakannya, menjauhi apa yang dilarangnya serta dicegahnya, dan menyembah Allâh hanya dengan cara yang disyariatkannya.

2. Mendirikan shalât;
3. Mengeluarkan zakat;

Firman Allâh Ta’âla yang artinya:

“Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allâh dengan memurnikan keta’atan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama dengan lurus, dan supaya mereka mendirikan shalat dan menunaikan zakat; dan yang demikian itulah agama yang lurus.”
(Surat Al-Bayyinah (98) : 5)

4.Shiyam pada bulan Ramadhân;
Firman Allâh Ta’âla yang artinya:

“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa,”
(Surat Al-Baqarah (2) : 183)

5. Haji ke Baitullâh Al-Haram.

Firman Allâh Ta’âla yang artinya:

“…..mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allâh, yaitu (bagi) orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullâh; Barangsiapa mengingkari (kewajiban haji), maka sesungguhnya Allâh Maha Kaya (tidak memerlukan sesuatu) dari semesta alam.”
(Surat Ali ‘Imrân (3) : 97)

B. Tingkatan Imân :

Imân itu lebih dari tujuh puluh cabang. Cabang yang paling tinggi ialah syahadat “Lâ ilâha illallâh”, sedang cabang yang paling rendah ialah menyingkirkan gangguan dari jalan (duri, paku kerikil dll). Dan sifat malu adalah salah satu dari cabang imân .

Rukun imân ada 6 (enam), yaitu :
1. Imân kepada Allâh;
2. Imân kepada para Malaikat-Nya;
3. Imân kepada Kitab-Kitab-Nya;
4. Imân kepada para Rasûl-Nya;
5. Imân kepada hari Akhirat; dan
6. Imân kepada qadar (Qadar : takdir; ketentuan Ilâhi, yaitu : Imân bahwa segala sesuatu yang terjadi di alam semesta ini adalah diketahui, dicatat, dikehendaki dan dijadikan oleh Allâh SWT), yang baik maupun yang buruk.

Dalil Keenam rukun ini, firman Allâh Ta’âla yang artinya:

“Bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah timur dan barat itu suatu kebajikan, akan tetapi sesungguhnya kebajikan itu ialah beriman kepada Allâh, hari kemudian, malaikat-malaikat, kitab-kitab, nabi-nabi…….”
(Surat Al-Baqarah (2) : 177)

Dan firman Allâh Ta’âla yang artinya:

“Sesungguhnya Kami menciptakan segala sesuatu menurut ukuran.”
(Surat Al-Qomar (54) : 49)

C. Tingkatan Ihsan :

Ihsan, rukunnya hanya satu, yaitu :

“Beribadahlah kepada Allâh dalam keadaan seakan-akan kamu melihat-Nya. Jika kamu tidak melihat-Nya, maka sesungguhnya Dia melihatmu” (Pengertian Ihsan tersebut adalah penggalan dari hadits Jibril, yang dituturkan oleh ‘Umar bin Al-Khaththab r.a., sebagaimana akan disebutkan.)

Dalilnya, firman Allâh Ta’âla yang artinya:

“Sesungguhnya Allâh beserta orang-orang yang bertakwa dan orang-orang yang berbuat kebaikan.”
(Surat An-Nahl (16) : 128)

Dan firman Allâh Ta’âla yang artinya:

“Dan bertawakkallah kepada (Allâh) Yang Maha Perkasa lagi Maha Penyayang, Yang melihat kamu ketika kamu berdiri (untuk sembahyang), dan (melihat pula) perobahan gerak badanmu di antara orang-orang yang sujud. Sesungguhnya Dia adalah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.”
(Surat Asy-Syuarâ (26) : 217 – 220)

Serta firman-Nya yang artinya:

“Kamu tidak berada dalam suatu keadaan dan tidak membaca suatu ayat dari Al-Qur'ân dan kamu tidak mengerjakan suatu pekerjaan, melainkan Kami menjadi saksi atasmu di waktu kamu melakukannya……”
(Surat Yunus (10) : 61)

Adapun dalilnya dari Sunnah, ialah hadits Jibril (Disebut hadits Jibril karena Jibril-lah yang datang kepada Rasûlullâh saw, dengan menanyakan kepada Beliau tentang Islâm, Imân, Ihsan dan masalah hari Kiamat. Hal itu dimaksudkan untuk memberikan pelajaran kepada kaum muslimin tentang masalah-masalah agama.), yang masyhur yang diriwayatkan dari ‘Umar bin Al-Khaththab r.a. :

Ketika kami sedang duduk di sisi Nabi saw, tiba-tiba muncul ke arah kami seorang laki-laki, sangat putih pakaiannya, hitam pekat rambutnya, tidak tampak pada tubuhnya tanda-tanda sehabis dari bepergian jauh dan tiada seorangpun di antara kami yang mengenalnya. Lalu orang itu duduk di hadapan Nabi saw, dengan menyandarkan kedua lututnya pada kedua lutut Beliau serta meletakkan kedua tangannya di atas kedua paha Beliau, dan berkata : “Yâ Muhammad, beritahulah aku tentang Islâm”, maka Beliau menjawab : “Yaitu : bersyahadat bahwa tiada sesembahan yang haq selain Allâh serta Muhammad adalah Rasûlullâh, mendirikan shalât, mengeluarkan zakat, melakukan shiyam pada bulan Ramadhân dan melaksanakan haji ke Baitullâh jika kamu mampu untuk mengadakan perjalanan ke sana”. Lelaki itu pun berkata : “Benarlah engkau”. = Kata ‘Umar : “Kami merasa heran kepadanya, ia bertanya kepada Beliau, tetapi juga membenarkan Beliau” = Lalu lelaki itu berkata (lagi) : “Beritahulah aku tentang Imân”. Beliau menjawab : “Yaitu : berimân kepada Allâh, para Malaikat-Nya, Kitab-Kitab-Nya, Rasûl-Rasûl-Nya dan hari Akhirat serta berimân kepada Qadar yang baik dan yang buruk”. Ia pun berkata : “Benarlah engkau”. Kemudian ia berkata : “Beritahulah aku tentang Ihsan”. Beliau menjawab : “Yaitu : beribadahlah kepada Allâh dalam keadaan seakan-akan kamu melihat-Nya. Jika kamu tidak melihat-Nya, maka sesungguhnya Dia melihatmu”. Ia berkata lagi : “Beritahulah aku tentang waktu Kiamat”. Beliau menjawab : “Orang yang ditanya tentang hal tersebut tidak lebih tahu daripada orang yang bertanya”. Akhirnya ia berkata : “Beritahulah aku sebagian dari tanda-tanda Kiamat itu”. Beliau menjawab : “Yaitu : apabila ada hamba sahaya wanita melahirkan tuannya dan apabila kamu melihat orang-orang tak beralas kaki, tak berpakaian sempurna, melarat lagi penggembala domba, saling bangga-membanggakan diri dalam membangun bangunan yang tinggi”. Kata ‘Umar : “Lalu pergilah orang laki-laki itu, sementara kami berdiam diri saja dalam waktu yang lama, sehingga Nabi bertanya : “Hai ‘Umar, tahukah kamu siapakah orang yang bertanya itu ?”. Aku menjawab : “Allâh dan Rasûl-Nya lebih mengetahui”. Beliau menjawab : “Dia adalah Jibril, telah datang kepada kalian untuk mengajarkan urusan agama kalian”

Utsulu Tsalatsa

1 komentar: