29 Januari 2009

Mati Syahid di Jalan Allah

Abu Hurairah RA meriwayatkan bahwa Rasulullah SAW bersabda : "Orang yang teramasuk mati syahid terbagi dalam lima golongan, yaitu Orang yang meninggal terkena wabah penyakit tha'un, orang yang mati karena sakit perut, orang yang mati tenggelam, orang yang mati karena tertimpa benda berat, dan orang yang mati karena perang di jalan Allah." (H.R Bukhari dan Muslim)

Dalam hadits lain disebutkan bahwa Rasulullah SAW bersabda : "Orang yang teramasuk mati syahid selain yang terbunuh di jalan Allah ada tujuh: Orang yang meninggal terkena wabah penyakit tha'un termasuk syahid, orang yang mati karena sakit perut termasuk syahid, orang yang mati tenggelam termasuk syahid, orang yang mati karena tertimpa benda berat termasuk syahid, orang yang mati karena luka (pada bagian dalam tubuh) di daerah sekitar pinggang termasuk syahid, orang yang mati terbakar termasuk syahid, dan wanita yang meninggal karena melahirkan termasuk syahid." (HR. Abu Dawud dan Nasa'i)

Sa'id bin Zaid RA berkata, aku mendengar Rasulullah SAW bersabda : "Barangsiapa yang terbunuh karena membela hartanya maka dia syahid, siapa yang terbunuh karena membela agamanya termasuk syahid, siapa yang mati terbunuh karena membela dirinya termasuk syahid, orang yang terbunuh membela keluarganya termasuk syahid." (HR. Abu Dawud dan Tirmidzi).

Namun mati syahid yang paling tinggi kedudukannya adalah mereka yang terbunuh di jalan Allah. Sabagaimana firman Allah (Q.S. Ali Imran/3 :168-170)

Dalam ayat ini jelas sekali bahwa yang dimaksud dengan syahadah (mati syahid) adalah meraka yang telah berperang di jalan Allah SWT, yaitu untuk menegakkan agama-Nya. Dia berperang bukan untuk mendapatkan harta rapasan perang (ghanimah) atau untuk kepentingan diri dan kelompoknya. Dia berperang hanya untuk meninggikan kalimat Allah SWT.

Seseorang pernah mendatangi Rasulullah SAW lalu dia berkata : "Seorang laki-laki berperang untuk mendapatkan harta rampasan perang (ghanimah), yang lainnya berperang agar terkenal dan yang satunya lagi berperang agar dikatakan sebagai pemberani, siapakah diantara mereka yang berperang di jalan Allah?". Maka Rasulullah SAW menjawab : "Barang siapa yang berperang agar kalimat Allah menjadi paling tinggi maka dialah yang telah berperang di jalan Allah".(H.R. Bukhari)

Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin berkata : "Apabila kamu berperang demi mempertahankan negerimu karena dia adalah negeri Islam dan kamu ingin melindunginya lantaran dia negeri Islam, maka inilah yang disebut dengan perang di jalan Allah. Karena kamu berperang agar kalimat Allah menjadi tinggi lagi mulia".

Al-mautu fi sabilillah asma amanina, mati di jalan Allah adalah cita-cita kami yang tertinggi.

Dzikir

Kata Dzikir berasal dari kata Dzakara (ذَكَرَ) yang artinya dari segi bahasa ialah :

حَفِظَ فِي ذُهْنِهِ

Artinya :
“Memelihara dalam ingatan”.

Jadi, Dzakarallâha (ذَكَرَ اللهَ) artinya : “(Ia) Memelihara ingatan untuk selalu mengingat Allâh dengan cara bertasbih dan mengagungkan-Nya”.
Sedangkan Dzakara Ismallâh (ذَكَرَ ِاسْمَ اللهِ) artinya : “Menyebut nama Allâh”.
Imam Nawawi (rahimahullâh) mengatakan bahwa dzikir itu dapat dilakukan dengan hati atau dengan lisan. Akan tetapi lebih afdhal bila dilakukan dengan keduanya. Namun, bila ingin memilih diantara kedua hal itu, maka lebih afdhal bila dilakukan dengan hati. Di samping itu tidak layak bagi seseorang untuk meninggalkan dzikir dengan lisan dan hati hanya karena kuatir dituduh riya (pamer). Jadi, dzikir dengan hati dan lisan itu harus tetap dilakukan dengan niat semata-mata karena Allâh SWT.
(Al-Adzkar hal. 6)
Namun, Imam Nawawi juga menegaskan bahwa yang dimaksud dzikir di sini ialah hadirnya hati. Maka sudah sepantasnya bagi setiap orang yang melakukan dzikir untuk menyadari bahwa itulah tujuannya sehingga timbul keinginan untuk meraih hasilnya dengan mentadabbur ucapan-ucapan dzikirnya serta memikirkan makna-maknanya. Karena tadabbur atau tafakkur (merenung) dalam berdzikir merupakan keharusan sebagaimana ketika ia membaca Al-Qur-ân karena kedua-duanya memiliki maksud dan tujuan yang sama. (Al-Adzkar hal. 9)
Allâh SWT. telah memerintahkan hamba-hamba-Nya untuk berdzikir kepada-Nya, sebagaimana disebutkan dalam surah Al-Baqarah (2) : 152 :

فَاذْكُرُوْنِي أَذْكُرْكُمْ وَاشْكُرُوْا لِي وَلاَ تَكْفُرُوْنِ

Artinya :
“Maka berdzikirlah kalian kepada-Ku niscaya Aku akan ingat kepada kalian, dan bersyukurlah kepada-Ku, dan janganlah kalian mengingkari (nikmat)-Ku”.

Zaid bin Aslam menceritakan bahwa Nabi Musa a.s. pernah bertanya kepada Allâh : “Wahai Rabb-ku, bagaimanakah cara aku bersyukur kepada-Mu?”. Maka Allâh SWT. menjawab :

تَذْكُرُنِي وَ لاَ تَنْسَانِي ، فَإذَا ذَكَرْتَنِي فَقَدْ شَكَرْتَنِي ، وَ إِذَا نَسِتَنِي فَقَدْ كَفَرْتَنِي

Artinya :
“Berdzikirlah engkau senantiasa kepada-Ku dan jangan engkau lalai dari-Ku. Maka jika engkau berdzikir kepada-Ku berarti engkau telah bersyukur kepada-Ku. Dan jika engkau lalai dari-Ku berarti engkau telah kufur kepada-Ku”.

Anas bin Malik r.a. telah meriwayatkan bahwa Rasulûllâh saw. bersabda :

إِنْ ذَكَرْتَنِي فِي نَفْسِكَ ذَكَرْتُكَ فِي نَفْسِي , و إِنْ ذَكَرْتَنِي فِي مَلاَءٍ ذَكَرْتُكَ فِي مَلاَءٍ خَيْرٌ مِنْهُ

Artinya :
Allâh Yang Maha Mulia dan Maha Agung berfirman : “Wahai Ibnu Adam, apabila engkau berdzikir (mengingat dan menyebut) Aku di dalam diri-mu, maka Aku-pun akan mengingat-mu dalam diri-Ku. Dan jika engkau berdzikir (mengingat dan menyebut) Aku di tengah-tengah kelompok yang mulia, maka Aku-pun akan mengingat dan menyebut-mu di tengah-tengah para Malaikat yang mulia……”.
(Lihat Tafsir Ibnu Katsîr juz I hal. 197)

Arti lain dari kata Dzakara (ذَكَرَ) ialah : “Mengerti dan Memahami”. Jadi, bila dikatakan:

ذَكَرَ الأَمْرَ : فَطَنَ إِلَيْهِ
Artinya :
“(Ia) Mengerti dan memahami perkara itu”

Orang yang paham dan memiliki pengertian atau pengetahuan yang dalam disebut “Ahludz-Dzikri” sebagaimana disebut dalam Al-Qur-ân surah An-Nahl (16) : 43 :

وَمَا أَرْسَلْنَا مِنْ قَبْلِكَ اِلاَّ رِجَالاً نُوْحِي إِلَيْهِمْ فَاسْأَلُوْا أَهْلَ الذِّكْرِ إِنْ كُنْتُمْ لاَ تَعْلَمُوْنَ

Artinya :
“Dan Kami tidak mengutus sebelum kamu (Muhammad), kecuali orang-orang lelaki yang Kami beri wahyu kepada mereka; maka bertanyalah kepada orang-orang yang mempunyai pengetahuan (Ahludz-Dzikri) jika kalian tidak mengetahui”.

Dan juga dalam surah Al-Anbiya (21) : 7 :

وَمَا أَرْسَلْنَا قَبْلَكَ إِلاَّ رِجَالاً نُوْحِي إِلَيْهِمْ فَاسْأَلُوْا أَهْلَ الذِّكْرِ إِنْ كُنْتُمْ لاَ تَعْلَمُوْنَ

Artinya :
“Kami tiada mengutus rasul-rasul sebelum kamu (Muhammad), melainkan beberapa orang laki-laki yang Kami beri wahyu kepada mereka, maka tanyakanlah oleh-mu kepada orang-orang yang mempunyai pengetahuan (Ahludz-Dzikri) jika kalian tidak mengetahui”.

Jadi, arti Adz-Dzikr (الذِّكْرُ) dalam konteks ini ialah “Pengetahuan” atau “Ilmu”. Itulah sebabnya Al-Qur-’ân disebut Adz-Dzikr karena ia mengandung ilmu pengetahuan yang sempurna yang mencakup kehidupan dunia dan akhirat sebagaimana disebut dalam surah Al-Hijr (15) : 9 :

اِنَّا نَحْنُ نَزَّلْنَا الذِّكْرَى وَاِنّا لَهُ لَحَافِظُوْنَ

Artinya :
“Sesungguhnya Kamilah yang menurunkan Adz-Dzikr (Al-Qur-‘ân), dan sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya”.
(Lihat Tafsir Ibnu Katsîr juz II hal. 547)

Berdasarkan ayat-ayat ini, Abu Ja’far Al-Baqir menegaskan bahwa umat Muhammad saw. adalah Ahlu-Dzikri, karena umat ini memiliki –sumber– pengetahuan yang paling lengkap dan sempurna dibanding umat-umat sebelumnya, yaitu : Al-Qur-’ânul-Karîm.
(Lihat Tafsir Ibnu Katsîr juz II hal. 570)

28 Januari 2009

Detik-detik Rasulullah SAW menjelang sakratul maut

Ada sebuah kisah tentang totalitas cinta yang dicontohkan Allah lewat kehidupan Rasul-Nya. Pagi itu meski langit telah mulai menguning,burung-burung gurun enggan mengepakkan sayap.

Pagi itu, Rasulullah dengan suara terbata memberikan petuah, "Wahai umatku, kita semua ada dalam kekuasaan Allah dan cinta kasih-Nya. Maka taati dan bertakwalah kepada-Nya. Kuwariskan dua hal pada kalian, sunnah dan
Al Qur'an. Barang siapa mencintai sunnahku, berarti mencintai aku dan kelak orang-orang yang mencintaiku, akan bersama-sama masuk surga bersama aku."

Khutbah singkat itu diakhiri dengan pandangan mata Rasulullah yang teduh menatap sahabatnya satu persatu. Abu Bakar menatap mata itu dengan berkaca-kaca, Umar dadanya naik turun menahan napas dan tangisnya. Ustman menghela napas panjang dan Ali menundukkan kepalanya dalam-dalam. Isyarat itu telah datang, saatnya sudah tiba.

"Rasulullah akan meninggalkan kita semua," desah hati semua sahabat kala itu. Manusia tercinta itu, hampir usai menunaikan tugasnya di dunia. Tanda-tanda itu semakin kuat, tatkala Ali dan Fadhal dengan sigap menangkap Rasulullah yang limbung saat turun dari mimbar.

Saat itu, seluruh sahabat yang hadir di sana pasti akan menahan detik-detik berlalu, kalau bisa. Matahari kian tinggi, tapi pintu Rasulullah masih tertutup. Sedang di dalamnya, Rasulullah sedang terbaring lemah dengan keningnya yang berkeringat dan membasahi pelepah kurma yang menjadi alas tidurnya.

Tiba-tiba dari luar pintu terdengar seorang yang berseru mengucapkan salam. "Bolehkah saya masuk?" tanyanya. Tapi Fatimah tidak mengizinkannya masuk, "Maafkanlah, ayahku sedang demam," kata Fatimah yang membalikkan badan dan menutup pintu.

Kemudian ia kembali menemani ayahnya yang ternyata sudah membuka mata dan bertanya pada Fatimah, "Siapakah itu wahai anakku?" "Tak tahulah aku ayah, sepertinya ia baru sekali ini aku melihatnya," tutur Fatimah lembut.

Lalu, Rasulullah menatap putrinya itu dengan pandangan yang menggetarkan. Satu-satu bagian wajahnya seolah hendak di kenang. "Ketahuilah, dialah yang menghapuskan kenikmatan sementara, dialah yang memisahkan pertemuan di dunia. Dialah malaikat maut," kata Rasulullah, Fatimah pun menahan ledakkan
tangisnya.

Malaikat maut datang menghampiri, tapi Rasulullah menanyakan kenapa Jibril tak ikut menyertai. Kemudian dipanggilah Jibril yang sebelumnya sudah bersiap diatas langit dunia menyambut ruh kekasih Allah dan penghulu dunia ini.

"Jibril, jelaskan apa hakku nanti dihadapan Allah?" Tanya Rasululllah dengan suara yang amat lemah. "Pintu-pintu langit telah terbuka, para malaikat telah
menanti ruhmu. Semua surga terbuka lebar menanti kedatanganmu, " kata jibril.

Tapi itu ternyata tak membuat Rasulullah lega, matanya masih penuh kecemasan. "Engkau tidak senang mendengar kabar ini?" Tanya Jibril lagi. "Kabarkan kepadaku bagaimana nasib umatku kelak?"

"Jangan khawatir, wahai Rasul Allah, aku pernah mendengar Allah berfirman kepadaku: 'Kuharamkan surga bagi siapa saja, kecuali umat Muhammad telah berada didalamnya," kata Jibril.

Detik-detik semakin dekat, saatnya Izrail melakukan tugas. Perlahan ruh Rasulullah ditarik Tampak seluruh tubuh Rasulullah bersimbah peluh, urat-urat lehernya menegang. "Jibril, betapa sakit sakaratul maut ini."

Lirih Rasulullah mengaduh.. Fatimah terpejam, Ali yang di sampingnya menunduk semakin dalam dan Jibril membuang muka. "Jijikkah kau melihatku, hingga kaupalingkan wajahmu Jibril?" Tanya Rasulullah pada Malaikat pengantar wahyu itu. "Siapakah yang tega, melihat kekasih Allah direnggut ajal," kata Jibril.

Sebentar kemudian terdengar Rasulullah memekik, karena sakit yang tak tertahankan lagi. "Ya Allah, dahsyat niat maut ini, timpakan saja semua siksa maut ini kepadaku, jangan pada umatku." Badan Rasulullah mulai dingin, kaki dan dadanya sudah tak bergerak lagi. Bibirnya bergetar seakan hendak membisikkan sesuatu, Ali segera mendekatkan telinganya. "Uushiikum bis
shalati, wa maa malakat aimanuku, peliharalah shalat dan santuni orang-orang lemah di antaramu."

Di luar pintu tangis mulai terdengar bersahutan, sahabat saling berpelukan. Fatimah menutupkan tangan di wajahnya, dan Ali kembali mendekatkan telinganya ke bibir Rasulullah yang mulai kebiruan. "Ummatii, ummatii, ummatiii?" - "Umatku, umatku, umatku"

Dan, pupuslah kembang hidup manusia mulia itu. Kini, mampukah kita mencinta sepertinya? Allahumma sholli 'ala Muhammad wa baarik wa salim 'alaihi
* * *
(nanangkw)

25 Januari 2009

Keutamaan Bershalawat Kepada Nabi Muhammad SAW

Di antara keutamaan bershalawat kepada Nabi Muhammad saw, adalah : satu kali bershalawat bernilai puluhan kali shalawat. Hal ini sesuai sabda Nabi Muhammad saw, dalam haditsnya yang diriwayatkan dari Abu Hurairah ra, bahwa Rasulullah bersabda: “barang siapa yang bershalawat kepadaku satu kali, maka Allah swt akan bershalawat kepadanya sepuluh kali”. Hadits riwayat Imam Muslimdengan nomor 408.

Dalam hadits lain yang diriwayatkan dari Anas bin Malik ra, beliau bersabda, “Barang siapa yang namaku disebutkan kepadanya, maka hendaklah yang namaku disebut kepadanya, hendaklah dia mengucapkan shalawat, karena barang siapa bershalawat kepadaku satu kali, maka Allahswt akan bershalawat kepadanya sepuluh kali.

Juga didalam hadts yang diriwayatkan dari amir bin Rabi’uah ra, ia berkata:saya telah mendengar Rasulullah saw, bersabda: Siapa saja dari hamba Allah swt yang bershalawat kepadaku, maka para malaikat akan senantiasa bershalawat kepadanya, maka terserah bagi seorang hamba, antara mengucapkan sedikit atau banyak akan shalawat.

Begitu pula dengan hadits yang diriwayatkan dari ‘Abdullah bin ‘Amr bin ‘Ash ra, bahwa Rasulullah saw bersabda: “Barang siapa yang bershalawat kepada Rasulullah satu kali maka Allah swt dan juga para malaikatnya akan baershalawat tujuh puluh kali kepadanya, maka terserah bagi seorang hamba antara memperbanyak atau mensedikitkan shalawat”.

Semua ini adalah keutamaan pertama yang akan diperoleh orang yang selalu membaca shalawat kepada Nabi saw.
(Menyelami Lautan Shalawat, Ibnu Qayyim al Jauziyah)

24 Januari 2009

Hukum Bunga Bank Tidak Haram?

Sabtu, 24 Januari 2009 04:33
Pertanyaan

Assalamu a'laikum

Saya termasuk yang anti bunga bank tapi disisi lain saya juga menggunakan produk bank konvensional terutama untuk keperluan beli rumah dan biaya nikah... Saya mendapai penyataan tentang bunga bank sebagai berikut:

"Bahkan Menurut Ketua PP Muhammadiyah Ahmad Syafii Maarif menilai fatwa MUI tersebut merupakan keputusan tergesa-gesa sehingga dikhwatirkan jadi bumerang bagi MUI sendiri. Sedangkan Cendikiaawan Islam Prof. Dr. Nurcholish Madjid mengemukakan, sebelum mengeluarkan kajian ilmiah terlebih dahulu. Apabila implikasi fatwa tersebut sangat luas. Ia mengatakan riba di alamnya mengandung unsur eksploitasi satu pihak kepada Pihak lain, padahal dalam perbankan (konvensional) tidaklah srperti itu... "

Ia memberi contoh, bila seseorang kesulitan kemudian mendatangi orang lain untuk meminjam uang kemudian kepadanya dibebani keharusan membayar dalam jumlah lebih besar, maka di dalamnya mengandung riba karena eksploitasi. Padahal menurut dia, peminjam yang datang ke bank justru adalah orang-orang yang secara ekonomi bonafit (bisa mengembalikan pinjaman), sehingga bank mau memberikan pinjaman pada mereka. Jadi di sini tidak ada unsur eksploitasi.

Menguntip panndapat Ulama A. Hasan dari Persis, Nurcholish Madjid mengatakan bunga bank konvesional tidak haram karena tidak ada unsur eksploitasi di dalamnya....dst

Menurut ustad bagaimana?


Jawaban

Assalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,

'Illat haramnya riba bukan terletak pada unsur eksplotitasinya. Salah besar ketika ada orang yang berpendapat demikian. Yang menjadi 'illat dalam haramnya riba adalah praktek riba itu sendiri. Bila terpenuhi unsur riba, maka praktek itu riba dan hukumnya haram. Sebaliknya, bila tidak terpenuhi unsur riba, maka praktek itu bukan riba dan hukumnya tidak haram.

Mengalihkan 'illat riba pada unsur eksplotitasinya justru adalah tindakan yang tidak tepat. Sebagaimana tidak tepatnya kita mengatakan bahwa haramnya daging babi karena ada cacing pitanya. Kelemahannya, kalau cacing pita bisa dimusnahkan, apakah daging babi menjadi halal?

Sama juga dengan kita mengatakan bahwa zina itu diharamkan karena merusak nasab dan keturunan. Ini jelas salah kaprah, karena penyebab haramnya zina bukan semata-mata agar nasab tidak tercampur-campur, juga bukan karena agar tidak terkena penyakit kelamin.

Sebab di zaman sekarang, sebelum berzina, bisa saja pasangan tidak sah datang ke dokter untuk memeriksa kesehatan kelamin mereka. Lalu oleh doker mereka dikatakan sehat, lalu mereka berzina dengan menggunakan alat-alat pencegah kehamilan. Maka apa yang mereka laukan aman dari penyakit kelamin sekaligus tidak akan terjadi percampuran nasab yang rancu. Lalu, apakah zina menjadi halal dengan cara seperti itu? Tentu tidak.

Maka sebab haramnya riba bukan karena ada satu orang menindas pihak lain. Tetapi haramnya riba adalah ketetapan Allah SWT langsung dari langit. Allah SWT sebagai pencipta manusia, tidak suka kalau manusia melakukan praktek keuangan dengan jalan ribawi. Apakah itu menindas atau tidak, tidak ada urusan.

Bukankah zina bisa dilakukan dengan cara sehat, aman dan suka sama suka? Apakah zina menjadi halal? Bukankah babi bisa dimasak steril sehingga cacing pita dan virusnya mati semua? Apakah daging babi halal?

Fatwa MUI Tergesa-gesa?

Tidak ada yang terburu-buru dari fatwa MUI, justru MUI sangat terlambat untuk mengeluarkan fawa itu. Sebab riba sudah diharamkan sejak 1400 tahun yang lalu. Bahkan sejak nabi Adam alaihissalam diturunkan ke muka bumi. Karena semua agama samawi kompak dan sepakat mengharamkan riba.

Adapun riba itu itu menjelma menjadi bunga bank, maka seharusnya para ulama langsung bisa mendeteksi, tidak perlu menunggu puluhan tahun untuk berpikir panjang. Kalau sebuah praktek keuangan terkena unsur riba, maka hukumnya riba, tidak perlu ragu untuk mengatakan sesuatu yang haram adalah haram.

Beda antara seorang ulama betulan dengan ulama gadungan adalah pada prioritas mengatakan kebenaran. Ulama betulan tetap mengatakan bahwa yang haram itu haram, meski moncong meriam ditujukan ke arah kepalanya. Sekali haq tetap haq, apa pun yang terjadi.

Sedangkan ulama gadungan (sebenarnya bukan ulama) adalah orang yang dengan mudah mengubah-ubah hukum syariah sesuai dengan kemashlahatan pribadi. Kalau kira-kira menguntungkan dirinya, atau kelompoknya, barulah bersuara. Sebaliknya, bila kira-kira tidak menguntungkan, maka suranya menjadi lain.

Perbedaan Pendapat Tentang Bunga Bank

Ustadz A. Hasan diklaim telah berfatwa halalnya bunga bank. Kami tidak tahu apa landasan yang beliau kemukakan saat itu. Tetapi fatwa seseorang pasti bisa berubah, sesuai data dan input yang diterimanya.

Al-Imam As-Syafi'i pun pernah mengubah ijtihadnya, setelah bertahun-tahun bertahan pada qaul qadim, beliau kemudian mengubahnya dengan qaul jadid.

Namun kami bisa memilah pendapat yang menghalalkan bunga bank menjadi dua jenis. Pertama, mereka yang ikhlas dalam berfatwa dengan segala keterbatasan informasi yang dimilik saat itu. Kedua, mereka yang punya niat tidak baik sejak awal sehingga mencerung berani menentang hukum Allah.

Haramnya Bunga Bank
1. Majelis Tarjih Muhammadiyah
Majelis Tarjih Sidoarjo tahun 1968 pada nomor b dan c:
- bank dengan sistem riba hukumnya haram dan bank tanpa riba hukumnya halal -bank yang diberikan oleh bank-bank milik negara kepada para nasabahnya atau sebaliknya yang selama ini berlaku atau sebaliknya yang selama ini berlaku, termasuk perkara musytabihat.

2. Lajnah Bahtsul Masail Nahdlatul Ulama
Ada dua pendapat dalam bahtsul masail di Lampung tahun 1982. Pendapat yang pertama mengatakan bahwa bunga Bank adalah riba secara mutlak dan hukumnya haram. Yang kedua berpendapat bunga bank bukan riba sehingga hukumnya boleh. Pendapat yang ketiga, menyatakan bahwa bunga bank hukumnya syubhat.

3. Organisasi Konferensi Islam (OKI)Semua peserta sidang OKI yang berlangsung di Karachi, Pakistan bulan Desember 1970 telah menyepakati dua hal: Praktek Bank dengan sistem bunga adalah tidak sesuai dengan syariah Islam Perlu segera didirikan bank-bank alternatif yang menjalankan operasinya sesuai dengan prinsip-prinsip Islam.

4. Mufti Negara Mesir
Keputusan Kantor Mufti Mesir konsisten sejak tahun 1900 hingga 1989 menetapkan haramnya bunga bank dan mengkategorikannya sebagai riba yang diharamkan.

5. Konsul Kajian Islam
Ulama-ulama besar dunia yang terhimpun dalam lembaga ini telah memutuskan hukum yang tegas terhadap bunga bank sebagai riba. Ditetapkan bahwa tidak ada keraguanatas keharaman praktek pembungaan uang seperti yang dilakukan bank-bank konvensional.

Di antara 300 ulama itu tercatat nama seperti Syeikh Al-Azhar, Prof. Abu Zahra, Prof. Abdullah Draz, Prof. Dr. Mustafa Ahmad Zarqa', Dr. Yusuf Al-Qardlawi. Konferensi ini juga dihadiri oleh para bankir dan ekonom dari Amerika, Eropa dan dunia Islam.

Wallahu a'lam bishshawab, wassalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,

Ahmad Sarwat, Lc

sumber: www.warnaislam.com

20 Januari 2009

“Kamu Sudah didahului oleh Ukasyah”

Humor atau tepatnya penolakan halus dari Nabi thd permohonan seseorang utk didoakan masuk golongan yg masuk syurga tanpa hisab menyusul permohonan yang sama oleh Ukasyah ini terangkum dengan jelas kalo kit abaca Kitabut-Tauhid karangan Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab.Bab : “Masuk Syurga Tanpa Hisab”


Imam Bukhari di dalam kitab shahihnya telah meriwayatkan sebuah hadits dari Ibnu Abbas r.a, dari Nabi Shalallahu 'Alaihi Wassalam bahwa beliau berkata:

"Ditampakkan beberapa umat kepadaku, maka ada seorang nabi atau dua orang nabi yang berjalan dengan diikuti oleh antara 3-9 orang. Ada pula seorang nabi yang tidak punya pengikut seorangpun, sampai ditampakkan kepadaku sejumlah besar. Aku pun bertanya apakah ini? Apakah ini ummatku?
Maka ada yang menjawab: 'Ini adalah Musa dan kaumnya,' lalu dikatakan, 'Perhatikanlah ke ufuk.' Maka tiba-tiba ada sejumlah besar manusia memenuhi ufuk kemudian dikatakan kepadaku, 'Lihatlah ke sana dan ke sana di ufuk langit.' Maka tiba-tiba ada sejumlah orang telah memenuhi ufuk. Ada yang berkata, 'Inilah ummatmu, di antara mereka akan ada yang akan masuk surga tanpa hisab sejumlah 70.000 orang.

Kemudian Nabi Shalallahu 'Alaihi Wassalam masuk tanpa menjelaskan hal itu kepada para shahabat. Maka para shahabat pun membicarakan tentang 70.000 orang itu.

Mereka berkata, 'Kita orang-orang yang beriman kepada Allah dan mengikuti rasul-Nya maka kitalah mereka itu atau anak-anak kita yang dilahirkan dalam Islam, sedangkan kita dilahirkan di masa jahiliyah.'

Maka sampailah hal itu kepada Nabi Shalallahu 'Alaihi Wassalam, lalu beliau keluar dan berkata, 'mereka adalah orang yang tidak minta diruqyah (dimanterai), tidak meramal nasib dan tidak minta di-kai, dan hanya kepada Allahlah mereka bertawakkal."[HR. Bukhari]


Di dalam riwayat lain, dari Abbas r.a, dia berkata bahwa Nabi Shalallahu 'Alaihi Wassalam bersabda:

"Ditampakkan kepadaku beberapa ummat. Maka ada seorang nabi yang berjalan dengan diikuti oleh satu ummat, ada pula seorang nabi yang diikuti oleh beberapa orang, ada juga nabi yang diikuti oleh sepuluh orang. Ada juga nabi yang diikuti lima orang, bahkan ada seorang nabi yang berjalan sendiri.

Aku pun memperhatikan maka tiba-tiba ada sejumlah besar orang, aku berkata, 'Wahai Jibril, apakah mereka itu ummatku? Jibril menjawab, 'Bukan, tapi lihatlah ke ufuk!' Maka aku pun melihat ternyata ada sejumlah besar manusia. Jibril berkata, 'Mereka adalah ummatmu, dan mereka yang di depan, 70.000 orang tidak akan dihisab dan tidak akan diadzab.'

Aku berkata, 'Kenapa?' Dia menjawab, 'Mereka tidak minta di-kai, tidak minta diruqyah, dan tidak meramal nasib serta hanya kepada Allah mereka bertawakal.'

Maka berdirilah Ukasyah bin Mihshan, lalu berkata, 'Berdoalah kepada Allah agar Dia menjadikan salah satu seorang di antara mereka.'

Nabi pun berdoa, 'Ya Allah, jadikanlah dia salah seorang di antara mereka.

'Lalu ada orang lain yang berdiri dan berkata, 'Berdoalah kepada Allah agar Dia menjadikan aku salah seorang di antara mereka.' Nabi Shalalahu 'alaihi wasslam menjawab, 'Kamu telah didahului oleh Ukasyah'." [HR. Bukhari]



(hernug)

19 Januari 2009

Apakah Shalat Pada Jam Kerja Melanggar Kontrak?

Senin, 19 Januari 2009 15:19
Pertanyaan

Assalamu'alaikum

Pak Ustad yang dirahmati Allah.

Terkait dengan pertanyaan saya antara Solat dan kerja.....

Pada waktu pertama masuk kerja kita menandatangani kontrak kerja, dengan jam kerja jam 8. 00 s/d jam 16. 00,

Saya ingin bisa solat tepat waktu dan berjamaah, kalo waktu Ashar saya solat berjamaah berarti saya harus meninggalkan waktu kerja saya, memang dalam hati saya mantap melaksanakannya,

Tetapi sewaktu ketika ada teman yang berpendapat bahwa itu jam kerja jadi berdasarkan jam kerja kita udah melanggar, yang berpendapat seperti itu justru teman yang saya anggap lebih mumpuni Pengetahuan agamanya dari pada saya. Pemahaman saya Solat tepat waktu jauh lebih baik, Ato mungkin ada alasan yang boleh menunda waktu solat.


Jawaban

Assalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,

Apa yang tertulis di dalam kontrak kerja sebenarnya berguna untuk dijadikan acuan dalam amanah seorang karyawan terhadap perusahaan atau instansi tempat dia bekerja, bahkan nantinya bisa dijadikan acuan saat penilaiankinerja.

Memang ada kelebihan dan kekurangan dalam tiap kontrak kerja. Selalu ada saja sisi-sisi yang lemah atau bisa dibuat bahan untuk dicari titik lemahnya.

Misal yang sederhana, di dalam kontrak kerja itu disebutkan bahwa karyawan harus bekerja 8 jam sehari. Namun logikanya, tidak mungkin karyawan itu kerja terus menerus tanpa makan, minum, ke toilet dan lainnya. Lantas, apakah bila karyawan makan, minum, ke toilet dan seterusnya, dia dianggap melanggar perjanjian kontrak?

Rasanya tidak seperti itu yang terjadi selama ini. Biasanya kedua belah pihak sama-sama tahu dan mafhum, bahkan tidak mungkin manusia bekerja tanpa makan dan minum selama 8 jam berturut-turut. Pasti ada toleransi-toleransi yang disepakati bersama.

Demikian juga halnya dengan shalat, seharusnya ada toleransi yang bisa disepakati antara karyawan dengan perusahaannya. Mengingat kebutuhan untuk shalat sama halnya dengan kebutuhan untuk makan, minum dan sekedar ke toilet.

Bahkan buat seorang muslim, kedudukan shalatadalah bagian utuh dari kebutuhan seorang karyawan. Kalau sekedar melakukan shalat yang memakan waktu 2 atau 3 menit dianggap melanggar kontrak, maka sesungguhnya kontrak itu sendiri sejak awal sudah salah.

Karena kontrak itu menafikan agama seseorang, padahal shalat adalah tiang agama. Dan seorang muslim wajib melakukan shalat 5 kali sehari semalam. Kontrak itu dengan sendirinya batal, karena kontrak itu melanggar syariat Islam.

Kecuali bila untuk sekali shalat butuh waktu 2 jam, maka ceritanya akan lain. Karyawan yang izin shalat Dzhuhur butuh waktu 2 jam, lalu izin shalat Azhar butuh waktu 2 jam lagi, maka dia sudah menghabiskan 4 jam dari 8 jam kerjanya. Tentu ini tidak bisa ditolelir lagi. Kecuali karyawan itu tugasnya memang mengurus masalah shalat jamaah, atau mengurus musholla dan masjid, tentu memang itu tugasnya.

Yang bisa ditolelir bila shalat butuh waktu 2 atau 3 menit, paling lama 10 sampai 15 menit. Bahkan shalat berjamaah di masjid Al-Haram Makkah atau Madinah pun tidak lebih dari 10 menit. Terhitung sejak takbiratul ihram hingga salam.

Apa yang ada di dalam kontrak itu sesungguhnya harus disikapi sebagai bentuk acuan yang bersifat global. Adapun detail-detailnya, biasanya disesuaikan dengan kebijakan atasan langsung atau konvensi bersama.

Wallahu a'lam bishshawab, wassalamu 'alaiku warahmatullahi wabarakatuh,

Ahmad Sarwat, Lc (warnaislam.com)

Bacaan-bacaan Dzikir di waktu Pagi dan Sore

A. Untuk Menghadapi Hari Kiamat

Rasûlullâh saw. bersabda :

“Barang siapa yang mengucapkan : “Subhânallâhi wa bi hamdih” 100 X ketika masuk waktu subuh dan ketika waktu sore, maka tidak ada seorang pun yang datang pada hari kiamat – bisa mengalahkan – keistimewaan yang dibawanya, kecuali seorang yang mengucapkan seperti itu juga atau lebih banyak dari itu”.
(H.R. Muslim dari Abu Hurairah)

Dalam hadits yang lain dijelaskan bahwa kalimat (dzikir) “Subhânallâhi wa bi hamdih” mempunyai keistimewaan untuk menghapus dosa, yaitu bila dibaca 100 X dalam satu hari. Sebagaimana sabda Rasûlullâh saw. :

“Barang siapa yang mengucap “Subhânallâhi wa bi hamdih” 100 X dalam sehari, maka dihapus seharinya segala dosa-dosanya, walau pun dosa itu seperti buih lautan”.
(H.R. Bukhârî & Muslim)

B. Untuk Menjaga Diri dari Mara Bahaya

Rasûlullâh saw. bersabda :

“Tidak ada seorang hamba pun yang mengucapkan pada waktu pagi dan sore: “Bismillâhil-ladzî lâ yadhurru ma’asmihî syai-un fil-ardhi wa lâ fis-samâ-i, wa huwas-samî’ul-‘alîm”, 3 X, kecuali tidak ada sesuatu pun yang membahayakan kepadanya”.
(H.R. Tirmidzi dan ia berkata : Hadits Hasan Shahîh)

Terjemahannya :
“Dengan nama Allâh yang tidak ada – yang bisa membahayakan – bersama Nama-Nya sesuatu pun di bumi dan di langit. Dan Dia Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui”.

Dan ‘Abdullâh bin ‘Umar berkata :

“Sesungguhnya Nabi saw. tidak pernah meninggalkan do’a-do’a ini ketika beliau masuk pada waktu sore dan subuh, yaitu : “Allâhumma innî as-alukal-‘âfiyata fid-dun-yâ wal-âkhirah. Allâhumma as-alukal-‘afwa wal-‘âfiyata fî dînî wa dun-yâya, wa ahlî wa mâlî. Allâhummas-tur ‘aurâtî, wa âmin rau’âtî. Allâhummah-fazhnî min baini yadayya, wa min khalfî, wa ‘an yamînî, wa ‘an syimâlî, wa min fauqî, wa a’ûdzu bi’azhimatika an ughtala min tahtî”.
(H.R. Abu Dawud, Nasâ-î dan Ibnu Majah. Hakim berkata : Shahîh Isnadnya)

Terjemahannya :
“Ya Allâh, sesungguhnya aku minta kepada-Mu kesejahteraan di dunia dan di akhirat. Ya Allâh, aku minta kepada-Mu kema’afan dan kesejahteraan di dalam agamaku dan duniaku, keluargaku dan harta bendaku. Ya Allâh, tutuplah semua cacatku dan amankanlah kekuatiranku. Ya Allâh, jagalah aku dari depanku, dan dari belakangku, dan dari sebelah kananku, dan dari sebelah kiriku, dan juga dari atasku. Dan aku berlindung dengan keagungan-Mu (dari) tertimpa bahaya dari bawahku”.
Waki’berkata : “Maksudnya gempa”.

Membaca surah Al-Ikhlash, Al-Falaq dan An-Nâs masing-masing 3X sebagaimana disebutkan oleh ‘Abdullâh bin Hubaib :

“Kami keluar di suatu malam yang hujan lebat dan gelap-gulita. Kami mencari Nabi saw. agar beliau shalat untuk – mengimami – kami. Maka kami pun menjumpai beliau. Maka beliau berkata : “Katakanlah!”. Maka aku tidak mengatakan sesuatu. Maka beliau berkata lagi : “Katakanlah !”. Aku pun berkata : “Wahai Rasûlullâh, apa yang harus aku katakan ?’. Beliau bersabda : “Qul Huwallâhu ahad dan dua surah mu’awwidzah (minta perlindungan) – yaitu : Al-Falaq dan An-Nâs – ketika engkau masuk di waktu sore dan ketika waktu subuh -- masing-masing – 3x, maka akan mencukupi (bacaan itu) bagimu dari segala sesuatu (yang membahayakanmu)”.
(H.R. Abu Dawud, Nasa-I dan Tirmidzi, dan ia berkata : Hadits Hasan dan Shahîh)

C. Persiapan Untuk Masuk Surga

Membaca Sayyidul-Istighfâr atau Rajanya Istighfâr sebagaimana sabda Rasûlullâh saw. :

Sayyidul-Istighfâr ialah : “Allâhumma anta Rabbî, lâ ilâha illâ Anta khalaqtanî, wa ana ‘abduka, wa ana ‘ala ‘ahdika wa wa’dika mastatha’tu. A’ûdzu bika min syarri mâ shana’tu, abû-u laka bi ni’matika ‘alayya, wa abû-u bi dzanbî, faghfir-lî, fa innahû lâ yaghfirudz-dzunûba illâ Anta”. Barang siapa yang membacanya di waktu sore hari, kemudian ia mati pada malamnya, niscaya ia masuk Surga. Dan barang siapa yang membacanya di waktu subuh, kemudian ia mati pada hari itu, niscaya ia masuk Surga.
(H.R. Bukhârî)

Terjemahannya :
“Ya Allâh, Engkau Rabb-ku, tidak ada sesembahan kecuali Engkau yang telah menciptakanku. Dan aku hamba-Mu. Dan aku di atas janji-Mu dan peringatan-Mu (maksudnya : Aku harus mentaati perintah-Mu dan menjauhi larangan-Mu) semampu aku. Aku berlindung pada-Mu dari keburukan apa yang telah aku lakukan. Aku kembali kepada-Mu dengan kenikmatan-Mu atasku. Dan aku kembali dengan dosaku. Maka ampunilah aku. Maka sesungguhnya tidak ada yang mengampuni segala dosa kecuali Engkau”.

D. Membentuk Penjagaan Malaikat Dan Persiapan Mati Syahid

Rasûlullâh saw. bersabda :

“Barang siapa yang membaca di waktu subuh “A’ûdzu billâhis-samî’il-‘alîmi minasy-syaithânir-rajîm” 3x, kemudian membaca 3 ayat terakhir dari surah Al-Hasyr (59), maka Allâh akan menyerahkan 70.000 Malaikat kepadanya yang terus-menerus mendo’akannya hingga sore, dan jika ia mati pada hari itu, maka ia mati syahid. Dan siapa yang mengucapkannya di waktu sore, maka ia berada dalam kedudukan seperti itu”.
(H.R. Ahmad dan Tirmidzi. Lihat Tafsir Ibnu Katsîr juz IV hal. 344)

E. 4 (Empat) Kalimat Yang Istimewa

Dari Juwairiyyah Ummul-Mu’minîn r.a., ia berkata :

Sesungguhnya Nabi saw. keluar dari sisinya pada waktu pagi ketika beliau telah selesai shalat subuh dan ia (Juwairiyyah) – duduk – di tempat sujudnya. Kemudian beliau kembali setelah waktu dhuha, sedangkan ia (Juwairiyyah) masih duduk – di tempat nya --. Maka beliau berkata : “(Apakah) engkau terus-menerus dalam keadaan -- seperti tadi – sewaktu aku tinggalkan”. Aku (Juwairiyyah) menjawab : “Benar”. Maka Nabi saw. berkata : “Sesungguhnya aku telah mengucapkan 4 (Empat) kalimat sesudah – meninggalkan – engkau tadi sebanyak 3x, seandainya ditimbang dengan – dzikir – yang engkau ucapkan sampai hari ini niscaya sama beratnya dengan nya (4(Empat) kalimat itu), yaitu; “Subhânallâhi ‘adada khalqihî, Subhânallâhi ridha nafsihî, Subhânallâhi zinata ‘arsyihî, Subhânallâhi midâda kalimâtihî
. (H.R. Muslim)

Terjemahannya :
“Maha Suci Engkau (sebanyak) hitungan makhluq-Nya. Maha Suci Engkau (sebanyak) Keridhaan diri-Nya. Maha Suci Engkau (seberat) timbangan ‘Ârsy-Nya. Maha Suci Engkau (sepanjang) tinta kalimat-Nya”.

F. Mengenai Keberatan Hutang

Dari ‘Alî bin Abi Thâlib r.a., sesungguhnya seorang budak mukatab (yaitu budak yang dimerdekakan dengan membayar tebusan secara angsuran) datang kepadanya. Lalu ia berkata : “Sesungguhnya aku merasa berat (membayar) angsuranku, maka dari itu tolonglah aku”. ‘Alî pun berkata :

“Maukah aku ajarkan kepadamu beberapa kalimat yang telah diajarkan Rasûlullâh saw. kepadaku Seandainya kamu mempunyai tanggungan hutang semisal gunung, niscaya Allâh akan membayar hutang itu darimu. Ucapkanlah : “Allâhummak-finî bi halâlika ‘an harâmika wa aghninî bi fadhlika ‘amman siwâka”.
(H.R. Tirmidzi)

Terjemahannya :
“Ya Allâh, cukupkanlah aku dengan kehalalan-Mu dari keharaman-Mu, dan kayakanlah aku dengan anugerah-Mu dari orang selain-Mu”.

Catatan:

Dzikir atau do’a ini tidak terbatas pada waktu sore atau subuh saja, akan lebih baik bila dibaca sesering mungkin di sembarang waktu terutama di dalam shalat, yaitu sesudah tahiyyat akhir sebelum salam.

(Dzikir pagi sore, Bang Debby)