29 April 2010

Bersyukur Dengan Lisan

Apa arti Syukur?
Dari segi bahasa Syukur berasal berasal dari kata "Syakara"-"Yasykuru" yang maknanya "Tsana'";yaitu "Memuji" atau "Menghargai".
Jadi, mensyukuri nikmat artinya "menghargai nikmat" tidak menghinanya. Nabi saw memberi petunjuk yang jelas dalam hal ini, sabda Beliau: "Man Lam Yasykuril-Qalil Lam Yasykuril-Katsir".
Artinya:"Siapa-saja yang tidak bisa menghargai --nikmat-- yg sedikit, maka ia tidak akan bisa menghargai --nikmat-- yang banyak". Ini merupakan pelajaran bersyukur, yaitu dimulai dari belajar menghargai nikmat yang sedikit.

Mensyukuri atau menghargai nikmat, akan membuat nikmat semangkin bertambah, sebagaimana firman Allah: "La-in Syakartum La-azidannakum", artinya: "Niscaya jika kalian bersyukur (menghargai), pasti Aku (Allah) akan menambah --kenikmatan-- untuk kalian" (Surah Ibrahim (14) ayat 7). Pertanyaannya: Bersyukur yang bagaimana yang bisa menambah kenikmatan?
Imam Asy-Syaukani mengatakan bahwa sumber utk mensyukuri nikmat Allah itu ada 3 (tiga);
(1) Lisan /Ucapan
(2) Hati
(3) Perbuatan.

Jadi, Allah baru akan menambah kenikmatan kepada seseorang, jika ia mensyukuri (menghargai) nikmat itu dengan ucapan, hati dan perbuatan.
Imam Ibnul-Qayyim mengistilahkan 3 (tiga) hal ini sebagai Qaidun-Ni'mah (Pengikat Nikmat); yaitu 3 (tiga) hal yang membuat nikmat menjadi terikat, tidak lepas, berkurang atau hilang. Bahkan ia (nikmat) akan bertambah terus. Nah, bagaimanakah cara bersyukur atau menghargai nikmat dengan lisan/ucapan?

Pada dasarnya, manusia tidak akan mampu mensyukuri nikmat Allah yang begitu banyak, dan tak terhitung, sebagaimana firman-Nya: "WA In Ta'uddu Ni'matallahi La Tuhshuha"; artinya: "Jika kalian --mencoba--menghitung nikmat Allah, pasti kalian tidak bisa menghitungnya" (Surah Ibrahim (14) ayat 34).

Karena itu Allah memberikan kalimat yang luar -biasa; yaitu: Al-Hamdulillah.
Ibnu 'Abbas mengatakan: "Al-Hamdulillah Kalimatusy-Syukri"; artinya:"Al-Hamdulillah adalah kalimat untuk bersyukur". Yaitu, dengan ucapan Al-Hamdulillah, seseorang sudah dapat disebut bersyukur atau mensyukuri/menghargai nikmat Allah. Dan inilah yang disebut bersyukur dengan lisan/ucapan. Nabi saw bersabda: "Ma An'amallahu 'ala 'Abdin...
Artinya: "Tidaklah Allah memberi suatu kenikmatan kepada seseorang, lalu ia mengucapkan Al-Hamdulillah, melainkan ucapan hamdalahnya itu lebih istimewa (afdhal) dari nikmat tsb".(H.R.Ath-Thabrani). Maksudnya,jika seseorang mendapat nikmat, lalu ia mengucapkan Al-Hamdulillah, maka nilai atau kontribusi ucapan itu lebih besar dan lebih dahsyat dari nikmat yang dia peroleh. Inilah kehebatan kalimat "Al-Hamdulillah".

Masih tentang kehebatan ucapan Al-Hamdulillah, Nabi saw bersabda: "Law Annad-Dun-ya Kullaha Bihadzafiriha Fi Yadi Rajulin Min Umati, Tsumma Qala:Al-Hamdulillah, Lakanal- Hamdu Afdhala Min Dzalika"; artinya: "Seandainya Dunia seluruhnya, beserta isinya diberikan kepada seorang dari umat-ku, lalu ia berkata: Al-Hamdulillah, maka ucapan Al-hamdu itu lebih utama dari itu semua".(H.R.Al-Hakim).

Hadits ini menyatakan betapa luas dan besarnya keutamaan ucapan Al-Hamdulillah, lebih luas dan besar daripada Dunia dan se-isinya. Bahkan ucapan Al-Hamdulillah mendatangkan keridhaan Allah sebagaimana sabda Nabi saw: "Innallaha Ta'ala Layardha 'Anil-'Abdi An-Ya'kulal-Aklata Aw Yasyrabusy-Syurbata Fayahmadullaha 'Alaiha";artinya:...
"Sungguh Allah benar2 ridha kepada seorang hamba, jika ia mengkonsumsi makanan atau minuman, ia selalu mengucapkan Al-Hamdulillah" (H.R.Ahmad,Muslim,At-Tirmidzi dan An-Nasa-i). Subhanallahi Wal-Hamdulillah;tiada yg lebih utama daripada keridhaan Allah dan betapa dahsyatnya kalimat "Al-Hamdulillah".

Ibnu 'Abbas berkata:"Al-Hamdulillah Kalimatu Kulli Syakirin"; artinya:"Al-Hamdulillah adalah kalimat --yang diucapkan oleh-- setiap org yg bersyukur". Inilah ilmu tentang bersyukur dengan "lisan/ucapan" yang diajarkan Rasulullah saw. Sepantasnyalah kita mulai mendidik diri kita untuk bersyukur yaitu menghargai nikmat Allah dengan lisan kita.

Sebagai penutup kajian "bersyukur dengan lisan", saya kutipkan sabda Rasulullah saw: "Ma An'amallahu 'Abdan Ni'matan Faqala: Al-Hamdulillah, Illa Kanalladzi A'tha Afdhal Min-Ma Akhadza"; artinya:"Tidaklah seorang hamba diberi nikmat oleh Allah, lalu ia mengucapkan: Al-Hamdulillah, melainkan --ucapan-- yang dia berikan itu lebih utama dari --nikmat-- yang dia peroleh (H.R. Ibnu Majah).

Tipe Manusia Dalam Beragama

Ada 4 (empat) tipe manusia dalam beragama:
(1) Tipe pertama: Mencari ketenangan atau pelarian dari rasa stress. Dan biasanya, tipe semacam ini sering mencari-cari figur dlm upayanya mencari ketenangan. Ketenangan pun segera diperoleh ketika ia telah menemukan figur yg sesuai, pas dgn keinginannya. Apakah Islam membenarkan tipe manusia semacam ini dan cara2 yg ditempuhnya?
(2) Tipe kedua: Mencari uang (harta). Ada titik temu atau simbiosis mutualism antara tipe pertama dgn tipe kedua; yg pertama mencari ketenangan, yaitu mencari figur, sedangkan yg kedua mencari uang, yaitu menjadikan dirinya sebagai figur. Jadi, bukannya Rasulullah saw yg dia jadikan figur, tetapi dirinya.
Syaikhul-Islam Muhammad bin 'Abdul-Wahhab berkata tentang tipe kedua ini: "Innad-Da'iya Idza Da'an-Nasa Fahuwa Yad'u Ila Nafsihi" (Para Da'i, pada umumnya ketika ia menyeru manusia, ia menyeru mereke kepada --kepentingan-- dirinya); yaitu harta, populari tas, ngetop dll. Apakah Islam membenarkan tipe manusia seperti ini dan cara2 yg ditempuhnya?
(3) Tipe ketiga: Mencari pembenaran. Tipe semacam ini menjadikan agama sebagai alat legitimasi segala tindakan2nya. Ia meyakini sesuatu berdasarkan sudut pandangnya, lalu mencari-cari dalil (ayat atau hadits) utk membenarkan pandangannya. Dan baginya tdk ada org yg benar selain dirinya atau kelompoknya.
Syaikh 'Utsaimin telah mengkritik cara beragama tipe ketiga ini, beliau berkata:"La Ta'taqid Tsumma Tastadil, Fatadhillu" (Janganlah engkau meyakini sesuatu lalu men-cari2 dalil --utk. membenarkannya--,karena --dgn cara seperti itu-- engkau akan tersesat). Apakah Islam membenarkan tipe manusia seperti ini dan cara2 yg ditempuhnya?
(4) Tipe ke-empat:Mencari kebenaran. Tipe ke-empat ini selalu berusaha memperbaiki pemahaman, amal dan perbuatan sesuai dengan A-Quran dan As-Sunnah. Prinsipnya: "Fa'alaika An-Ta'rifal-Haqqa Bidalilihi La Bi Qa-ilihi"; artinya:"Wajib bagi-mu utk mengetahui kebenaran (al-haq) berdasarkan dalilnya, bukan siapa yg mengatakannya".
Syaikh 'Utsaimin mengatakan bila kita ingin memilih tipe ke-empat, yaitu mencari kebenaran:"Istadil Tsumma'-Taqid";artinya:"Kaji dalilnya, lalu yakini". Maka, tipe ke-empat ini selalu berusaha, ber-sungguh2 mengkaji, mempelajari ilmu agama serta medalaminya. Inilah cara beragama kaum Salaf. Sekarang, terserah kpd kita masing2 jalan manakah akan kita pilih?