14 Juni 2010

Kematian

Kata Mati atau Kematian berasal dari bahasa 'Arab; yaitu Mata-Yamutu yang maknanya: "Firaqur-Ruh 'Anil-Jasad" (Berpisahnya ruh dari tubuh). Islam menegaskan bahwa kehidupan dan kematian mutlak milik Allah; berada di bawah ketentuan Allah, sesuai dengan dua Nama-Nya "Al-Muhyi Wal-Mumit": Dia-lah Yang Menghidupkan dan Yang Mematikan.

Mati; berpisahnya ruh dari tubuh adalah peristiwa besar yang akan dialami oleh semua makhluq hidup, sebagaimana firman-Nya: "Kullu Nafsin Dza-iqatul-Maut"; artinya: "Setiap yang bernyawa pasti akan merasakan kematian" (Surah Ali 'Imran ayat 185). Jadi, bagi kita yang masih hidup saat ini, hanya menunggu waktu giliran saja. Dan giliran itu pasti kan datang.


Nabi Muhammad saw menasehati kita agar selalu ingat akan kematian; Beliau bersabda: "Aktsiru Hadzimil-Ladzdzat:Al-Maut"; artinya: "Sering2lah kalian mengingat hal yang memutus kelezatan --Dunia-- yakni maut (kematian)" (H.R. At-Tirmidzi, An-Nasa-i dan Ibnu Majah). Hadits ini menyebutkan bahwa kematian membuat hilang seluruh kenikmatan Dunia.

Islam tidak pernah mengajarkan menghindari kematian, karena kematian memang tidak bisa dihindari, tetapi Islam mengajarkan untuk selalu bersiap menghadapi kematian, Nabi saw bersabda: "Al-Kayyisu Man Dana Nafshu Wa 'Amila Lima Ba'dal-Maut"; artinya: "Orang yang cerdas, ialah yang mampu menundukkan nafsunya, dan selalu melakukan --persiapan-- 'amal untuk.--menghadapi --resiko yang datang-- setelah kematian". HR Ahmad

Nabi Muhammad saw menggambarkan "kematian" sebagai sebuah perjalanan yang berat dan jauh; yaitu perjalanan menuju akhirat. Sabda Beliau kepada Abu Dzar: "Ya Aba Dzar, Jaddidis-Safinata Fa-Innal-Bahra 'Amiqun Wa Khudziz-Zada Kamilan Fa-Innass--Safara Ba'idun";artinya: "Ya Abu Dzar, pugarlah perahu-mu, karena lautan sangat dalam, dan bawalah bekal yang sempurna karena perjalanan sangat jauh...".

Para 'Ulama mengatakan yang dimaksud dengan "perahu" adalah niat dan yang dimaksud "bekal sempurna" adalah amal-shalih. Jadi, hadits ini memerintahkan untuk selalu memperbaiki niat agar selalu ikhlas kepada Allah, dan juga mengunakan kesempatan untuk melakukan amal shalih, meskipun sedikit. Nabi saw bersabda: "Akhlishil-'Amal Yajzika Minhul-Qalil"; artinya: "Ikhlaslah dalam. beramal,maka amal yang sedikit dapat mencukpi-mu".


Sehubungan dengan ini Nabi saw bersabda: "La Tahqiranna Minal-Ma'rufi Syai-an Wa Law An Talqa Akhaka Bi Wajhin Thalqin"; artinya: "Janganlah kamu menganggap sepele perbuatan baik yang sedikit; meskipun hanya memperlihatkan senyum ketika berjumpa dengan saudara-mu"(H.R. Ahmad, Muslim & At-Tirmidzi). Subhanallah alangkah sempurnanya Islam; sehingga masalah "senyum" pun mendapat perhatian dan menjadi anjuran.

Sumber Status FB Bang Deby

10 Juni 2010

Bekerja, Mencari Nafkah Menurut Islam

Nabi saw bersabda: "Man Sa'a 'Ala Walidaih Fafi Sabilillah, Wa Man Sa'a 'Ala 'Iyalihi Fafi Sabilillah,Wa Man Sa'a 'Ala Nafsihi Liya'iffahu Fahuwa Fi Sabilillah; artinya: "Siapa-saja yang berusaha --mencari rezeki-- untuk kedua orang tuanya, maka --ia-- di dalam Sabilillah, dan siapa-saja yang berusaha --mencari rezeki--untuk keluarga -- yang ia tanggung--, maka ia dalam Sabilillah. Dan siapa-saja yang bekerja --mencari rezeki-- untuk kehormatan dirinya, maka ia di dalam Sabilillah.. (H.R. Al-Bazzar,Abu Nu'aim dan Ash-Bahani.Al-Ahaditsush-Shahihah oleh Syaikh Al-Albani juz V hal. 272 no.2232).
Hadits ini menyatakan 3 (tiga) motivasi (niat) yang membuat "bekerja mencari nafqah" itu sama nilainya dengan "Jihad Fi Sabilillah", tentunya yang dimaksud disini melakukan pekerjaan yang halal.

Pertama: Dengan motivasi untuk menolong kedua orang tua.
Kedua:Dengan motivasi untuk keluarga yang ia tangung.
Ketiga:Dengan motivasi untuk menjaga kehormatan diri, yaitu agar tidak menjadi beban orang lain.

Adapun yang dimaksud dengan "Fi Sabilillah", ialah jika seseorang bekerja dengan 3 (tiga) motivasi atau salah satu dari 3(tiga) tersebut, lalu ia wafat, maka ia terhitung sebagai orang yang "mati syahid". Subhanallah Wal-Hamdulillah.

Mati syahid, adalah kematian yang sangat istimewa. Nabi saw. berkata ada 6 (enam) keistimewaan yang diperoleh oleh seorang yang mati syahid:
(1) Ketika tetesan darah yang pertama --jatuh ke bumi--, dihapuskan seluruh dosanya
(2) Ketika itu ia melihat tempat tinggalnya di Sorga
(3) Ia akan dinikahkan dengan bidadari yang cantik.
(4) Ia akan diselamatkan dari ketakutan besar --yg melanda manusia--
pada hari Kiamat
(5) Ia akan diselamatkan dari siksa kubur
(6) Ia akan dihiasi dengan pakaian keimanan (H.R. Ahmad).
Demikianlah ganjaran yang akan diterima bagi seorang muslim yang bekerja mencari nafqah dengan motivasi untuk orang tuanya, atau keluargannya atau dirinya.

Jadi, menurut Islam, bekerja mencari nafqah dengan motivasi tersebut, merupakan keshalehan atau amal-shaleh yang luar-biasa. Seluruh rasul (nabi) pun bekerja mencari nafqah, sebagaimana firman Allah: "Wa Ma Arsalnaka Qablaka Minal-Mursalina Illa Inahum Laya'kukunath-Tha'am Wa Yamsyuna Fil-Aswaq", artinya:
"Dan tidaklah Kami mengutus seluruh utusan (nabi) sebelum engkau
(Muhammad), kecuali mereka mengkonsumsi makanan dan berjalan di pasar".
(Surah Al-Furqan ayat 20). Jadi, menurut ayat ini, seluruh rasul (nabi) adalah manusia biasa yang membutuhkan makanan, dan mereka juga berjalan di pasar pasar untuk memenuhi kebutuhan mereka.

Ibnu Katsir mengatakan, bahwa yang dimaksud berjalan di pasar-pasar ialah mereka
(para nabi) juga melakukan kegiatan ekonomi, yaitu bekerja atau berdagang di pasar. Pasar adalah tempat berkumpulnya berbagai jenis manusia, dari yang baik sampai yang paling buruk. Ayat ini secara eksplisit menegaskan, bahwa para nabi bergaul, membaur dengan semua jenis manusia di pasar, mereka bukan tokoh spiritual yang tinggal di menara gading

Ibnu Katsir juga mengatakan, bahwa para nabi dalam melakukan kegiatan ekonomi di pasar, bergaul dan membaur dengan semua jenis manusia tanpa pilih bulu, 4 (empat) sifat utama mereka, yaitu Shiddiq (Jujur), Amanah (Bisa dipercaya), Tabligh (Menyampaikan da'wah), dan Fathanah (Cerdas) tetap terpelihara, tidak terkontaminasi.
Rasulullah saw bersabda: "Inna Nabiyallahu Dawud 'Alaihis-Salam Ya'kulu Min 'Amali Yadihi"; artinya: "Sesungguhnya Nabi Allah Dawud a.s., ia makan dari hasil kerja tangannya" (H.R. Al-Bukhari). Nabi Dawud adalah seorang raja, penguasa dan kaya raya, namun ia tetap bekerja mencari nafqah dengan membuat industri baju besi dan peralatan perang dari besi (lihat surah As-Saba' (34) ayat 10&11)

Imam Al-Qurthubi mengatakan bahwa Nabi Dawud adalah seorang yang memiliki banyak keistimewaan dari Allah, namun ia masih juga bekerja keras mencari nafqah dengan mempelajari & memproduksi peralatan dari besi. Sikap Nabi Dawud ini sama sekali tidak mengurangi kedudukannya, justru menambah kemuliaannya.

Karena seorang yang bekerja keras dan halal akan mendapatkan 3 (tiga) keistimewaan di luar hasil materi, yang justru nilainya jauh melebihi materi.
Tiga (3) keistimewaan itu ialah :
(1) Sifat Tawadhu' (rendah hati), tidak angkuh
(2) Tidak bergantung kepada orang lain; memliki rasa percaya diri yang kuat
(3) Bersih dari omongan2 negatif; mendapat penghargaan dari orang lain (Lihat Tafsir Al-Qurthubi juz VII hal.553).

Dalam hadits lain Nabi saw bersabda: "Wa Kana Zakariyya Najjaran"; artinya: "Adalah Nabi Zakariyya itu seorang tukang kayu" (H.R. Ibnu Majah). Jika Nabi Dawud seorang ahli besi, maka Nabi Zakariyya seorg yang ahli kayu. Demikianlah para nabi, manusia pilihan Allah, mereka semua bekerja mencari nafqah termasuk Rasulullah saw.

Mereka (para nabi) semuanya terus menerus berda'wah memperjuangkan agama Allah dengan ikhlas dan tidak menjadikan tugas & kewajiban da'wah mereka sebagai sarana
mencari materi. Mereka semua berkata: "Wa Ma As-Alukum 'Alaihi Min Ajrin In Ajriya Illa 'Ala Rabbil-'Alamin; artinya: "Dan aku se-kali-kali tidak minta upah pada kalian --atas da'wah itu--, upahku tidak lain hanyalah dari Rabb semesta alam".(Surah26 ayat 109,127,145,164&180).

Dan salah satu syarat "kebenaran" juru da'wah seorang da'i, ialah tidak ada unsur-unsur komersialisasi dalam da'wahnya; sebagaimana firman Allah: "Ittabi'u Man La Yas-alukum Ajran, Wa Hum Muhtadun"; artinya:"Ikutilah orang (juru da'wah) yang tidak minta balasan (upah) pada kalian. dan mereka adalah orang2 yang mendapat hidayah".(Surah Yasin ayat 21).

Ayat ini menyebutkan dua hal yang harus dimiliki oleh seorang juru da'wah:
Pertama: Tidak minta upah (bayaran) atas da'wahnya atau mengkomersilkan da'wahnya. Kedua: Memiliki hidayah (petunjuk), yaitu ilmu yang benar yang membedakan antara yang haq (benar) dan yang bathil (salah).

Disebutkan dalam sebuah riwayat:
"Innallaha Yuhibbu An Yaral-'Abda Yattakhidzul-Mihnata Liyastaghniya Biha 'Anin-Nasi, Wa Yubghidul-'Abda Yata'allamul-'Ilma Yattakhidzuhu Mihnatan": artinya: "Allah sangat suka melihat seorang hamba yang mengambil (berusaha) bekerja agar ia tidak bergantung kepada orang lain. Dan Allah sangat benci kepada seorang hamba yang belajar ilmu agama untuk dijadikannya sebagai mata pencaharian. (Al-Ihya' juz I hal. 484)

Dalam riwayat yang lain disebutkan: "Innallaha Yuhibbu An Yara 'Abdahu Ta'ban Fi Thalabil-Halal"; artinya: "Sesungguhnya Allah sangat suka melihat hamba-Nya yang letih karena bekerja mencari --rezeki-- yg halal". Jadi, tdk ada dalil yg menyatakan bhw Allah suka melihat hamba-Nya yang letih beribadah, letih karena shalat malam atau letih karena dzikir atau berdo'a dsb.

Bekerja keras mencari rezeki adalah perintah Allah; dlm surah Al-Mulk (67) ayat 15 "Huwalladzi Ja'ala Lakumul-Ardha Dzalulan Fam-syu Fi Manakibiha Wa Kulu Min Rizqihi, Wa Ilaihin-Nusyur";artinya:"Dia (Allah) Yang menjadikan bumi itu mudah buat kalian, maka berjalanlah di seluruh penjurunya,dan makanlah sebagian dari rezekinya. Dan kepada-Nya-lah tempat kembali".

15 abad yang lalu dimana sarana transportasi masih sangat terbatas, Allah (dlm ayat ini) sudah mengatakan bahwa bumi Ia jadikan mudah untuk diarungi, lalu Ia perintahkan; "Famsyu Fi Manakibiha"(Berjalanlah kalian diseluruh penjurunya); Ibnu Katsir mengatakan dalam tafsirnya.

Bahwa ayat ini merupakan perintah Allah untuk melakukan perjalanan ke seluruh penjuru bumi yang kalian inginkan, dan mondar-mandir di berbagai daerah dan negara lain dalam rangka melakukan berbagai pekerjaan dan berniaga". (Tafsir Ibnu Katsir juz IV hal.397)

Setelah Allah perintahkan kita menjelajahi dunia dlm rangka mencari rezeki dengan bekerja atau berdagang, Ia katakan:"Wa Kulu Min Rizqihi" (Makanlah dari rezeki-Nya);Ibnu Katsir mengatakan bhw bekerja atau berdagang --keluar negeri-- merupakan faktor penyebab datangnya rezeki; dan bersikap --proaktif-- seperti itu justru membuka peluang utk bertawakal kpd Allah,bukan sebaliknya (Ibnu Katsir juz IV hal.398)

Tawakal yaitu sikap menyerah sepenuhnya kepada keputusan Allah, hanya dibenarkan setelah kita melakukan usaha secara maksimal, sebagaimana sabda Nabi saw: "Law Annakum Tawakkaluna 'Alallahi Haqqa Tawakkulihi Larazaqakum Kama Yarzuquth-Thaira Taghdu Khimashan Wa Taruhu Bithanan"; artinya : "Seandainya kalian benar2 berserah diri (tawakal) kpd Allah --setelah melakukan upaya2 maksimal--,maka pasti Allah akan memberi rezeki kpd kalian,seperti Ia memberi rezeki kepada burung yang berangkat diwaktu pagi dalam keadaan lapar, dan pulang diwkt sore dalam keadaan kenyang".(H.R.At-Tirmidzi, An-Nasa-i dan Ibnu Majah).

Hadits ini mengajarkan pengertian tawakal (berserah diri) kepada Allah; yaitu berusaha mencari rezeki, seperti burung-burung yang pergi meninggalkan sarang mencari makan. Jadi, bukan pasrah, menyerah kepada nasib atau merasa cukup dengan do'a tanpa usaha. 'Umar bin Khaththab berkata:
La Yaq'udu Ahadukum 'An Thalabir-Rizqi,Yaqulu:Allahummar-Zuqni,Faqad 'Alimtum Annas-Sama-i La Tumthiru Dzahaban Wa La Fidhdhatan; artinya: "Jangan sampai seorang pun dari kalian --hanya--duduk2 saja tidak mencari rezeki, lalu ia berdo'a: "Ya Allah, berikan aku rezeki", padahal kalian sudah tahu bahwa langit tidak akan menurunkan emas dan perak. (Ihya' juz I hal. 485)

'Umar pernah berkata kpd temannya:"Ala Unabbi-ukum Manil-Mutawakkilun?"; artinya: "Maukah aku beritahukan kalian,siapakah sebenarnya orang yang bertawakal?". Temannya pun menjawab: "Baiklah". 'Umar pun berkata:"Huwal-Ladzi Yulqil-Habba Fil-Ardhi, Tsumma Yatawakkalu 'Ala Rabbihi 'Azza Wa Jalla";
artinya:"Orang yang bertawakal itu, ialah orang yang menanam benih ke dalam tanah (maksudnya: melakukan upaya memetik hasil), lalu ia berserah diri kepada Rabb-nya Yang Maha Mulia dan Maha Agung".(Nizhamil-Iqtishadi Fil-Islam hal.64). Jelaslah, tawakal dilakukan sesudah usaha. Tidak ada tawakal tanpa usaha.

Tawakal, pasrah kepada Allah setelah melakukan usaha yang maksimal, adalah sikap yang menjamin datangnya rezeki yang cukup, Allah berfirman: "Wa Man Yatawakkal 'Alal-Lahi Fahuwa Hasbuhu"; artinya: "Siapa-saja yang bertawakal kepada Allah, maka Ia pasti akan memberi kecukupan kepadanya". (Surah Ath-Thalaq ayat 3) Artinya, Allah akan memberikan hasil yang sangat cukup untuk kebutuhannya.

Tawakal juga merupakan syarat keimanan kepada Allah; firman-Nya: "Wa 'Alal-Lahi Fatawakkalu In Kuntum Mu'minin"; artinya: "Hendaklah kalian bertawakal kepada Allah jika kalian orang-orang yang beriman". (Surah Al-Maidah ayat 23)

Dan Tawakal akan mendatangkan kecintaan Allah; firman-Nya: "Innal-Laha Yuhibbul-Mutawakkilin"; artinya: "Sesungguhnya Allah sangat mencintai orang2 yang bertawakal" (Surah Ali 'Imran ayat 159).

Berusaha adalah tindakan pertama, berdoa'a tindakan kedua dan tawakal adalah tindakan ketiga, Nabi saw bersabda: "Ihrish 'Ala Ma Yanfa'uka,Wasta'in Billahi, Wa La Ta'jizanna";artinya: "Kerahkan seluruh kemampuan-mu utk meraih apa saja yg bermanfaat; dan minta bantuanlah (berdo'a) kpd Allah; dan jangan engkau bersikap lemah (negatif thinking)" (H.R. Muslim) (Next)

Dalam hadits yang lain Nabi saw bersabda: "Wa In-Qamatis-Sa'ah Wa Fi Yadi Ahadikum Fasilatun, Fa-inis-Tatha'a An La Yaquma Hatta Yaghrisaha Fal-Yaghrisha"; artinya: "Meskipun Kiamat terjadi, tapi ditangan seorang dari kalian ada cangkokan pohon kurma, maka jika ia masih mampu (sempat) menanamnya sebelum berdiri, maka tanamlah" (H.R. Ahmad).

Subhanallah, coba perhatikan sabda Nabi saw ini: "Meskipun Kiamat, yaitu kehancuran alam semesta sedang berlangsung, tapi kalian masih memegang cangkokan pohon kurma, jika kalian masih sempat untuk menanamnya, tanamlah". Nabi saw tidak menyuruh membuang cangkokan pohon tsb.

Dengan kata-lain, Nabi saw tidak menyuruh seorang muslim berhenti bekerja meskipun kehancuran alam semesta sedang berlangsung, selama bekerja itu masih mungkin ia lakukan. Nabi saw tidak mengatakan percuma bekerja karena tidak akan ada hasil yang bisa dinikmati, toh alam semesta sudah hancur lebur. Nabi saw juga tidak mengatakan tinggalkan pekerjaan, lebih baik berdzikir dan berdo'a dalam suasana gawat seperti ini.

Tidak ! Nabi saw tidak mengatakan apa-apa kecuali teruskan pekerjaan walaupun Kiamat sedang berlangsung. Di sini terasa sekali arahan Nabi yang luar-biasa ini, bahwa bagi seorang muslim bekerja adalah perbuatan mulia, seorang muslim tidak dibenarkan mendikotomikan antara mu'amalah (bekerja mencari rezeki) dan amal ritual. Soal hasil ? Bukan urusan dia, itu urusan Allah semata.

'Umar bin Khaththab (r.a) pernah berkata: "Ma Min Maudhi'in Ya'tinil-Maut Fihi Ahabbu Ilayya Min Mauthinin Atasawwaqu Fihi Li-Ahli, Ubayyi' Wa Asytari"; artinya: "Tidak ada satu tempatpun yang aku sukai untuk mati di tempat tersebut, melainkan tempat (pasar) dimana aku melakukan usaha untuk keluarga-ku; yaitu berjual-beli" (Ihya juz I hal. 485).

Luqmanul-Hakim pernah menasehati anaknya; beliau berkata: "Ya Bunayya, istaghni bikasbil-halal minal-faqri"; artinya: "Hai anak-ku, jadikanlah diri-mu kaya dengan bekerja yang halal sehingga engkau bebas dari kefaqiran". Lalu beliau berkata: "Fa-inna Maftaqara Ahadun Illa Ashabahu Tsalatsu Hilalin"; artinya: "Karena, tidaklah seorang itu ditimpa kefaqiran, melain ia akan ditimpa 3 masalah", yaitu:
(1) Riqatu Fi dinih: "Tipis agamanya".
(2) Wa Dha'fu Fi 'Aqlihi: "Lemah aqalnya".
(3) Wa Dzahabu Muru-atihi: " Hilang sifat hati2nya". Lalu beliau berkata lagi: "Wa A'zhamu Min Hadzihits-Tsalatsi, Istikhfafun-Nasu Bihi"; artinya: Masih ada lagi yang lebih parah dari 3 masalah itu; yaitu: "Manusia memandang enteng kepadanya" (Ihya' juz I hal. 385)

Inilah bahaya yang dibawa oleh kefaqiran:
(1) Tipisnya agama atau ketaatan kepada Allah
(2) Lemahnya aqal alias tdk mampu berfikir panjang
(3) Tidak memiliki sifat hati2; ceroboh dalam bertindak. Akibatnya, lebih parah lagi; yaitu tidak dihormati oleh orang lain.

Wajarlah jika Nabi saw bersabda: "Ista'idzu Billahi Minal-Faqri
Wal-'Ilati"; artinya: "Minta perlindunganlah kalian kpd. Allah dari
kefaqiran dan kemiskinan" (H.R. Ath-Thabrani)

Sumber: FB Bang Deby