26 Agustus 2016

Mengharap Firdaus

بسم الله الرحمن الرحيم

Bermunajatlah agar kita bisa tinggal diTingkatan tertinggi di surga

Bayangan manusia tidak akan sanggup menjangkau keindahan surga. Puncak kenikmatan ini dirahasiakan oleh Allah Penciptanya. Membuat manusia semakin penasaran,berlomba dan selalu berharap untuk bisa mendapatkannya.

وَفِي ذَلِكَ فَلْيَتَنَافَسِ الْمُتَنَافِسُونَ

“Untuk mendapatkan keindahan surga itu, seharusnya manusia berlomba.”
(QS. al-Muthaffifin: 26)

Allah ciptakan surga bertingkat-tingkat. Diantara tingkatan itu, yang paling tinggi adalah Firdaus.
Dalam hadis dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

الْفِرْدَوْسُ رَبْوَةُ الْجَنَّةِ وَأَوْسَطُهَا وَأَفْضَلُهَا

Firdaus adalah surga yang paling tinggi, yang paling bagus, dan yang paling afdhal.
(HR. Turmudzi 3174 dan dishahihkan al-Albani).

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِنَّ فِي الْجَنَّةِ مِائَةَ دَرَجَةٍ أَعَدَّهَا اللَّهُ لِلْمُجَاهِدِينَ فِي سَبِيلِ اللَّهِ مَا بَيْنَ الدَّرَجَتَيْنِ كَمَا بَيْنَ السَّمَاءِ وَالْأَرْضِ ، فَإِذَا سَأَلْتُمُ اللَّهَ فَاسْأَلُوهُ الْفِرْدَوْسَ فَإِنَّهُ أَوْسَطُ الْجَنَّةِ وَأَعْلَى الْجَنَّةِ أُرَاهُ فَوْقَهُ عَرْشُ الرَّحْمَنِ ، وَمِنْهُ تَفَجَّرُ أَنْهَارُ الْجَنَّةِ
Di surga itu terdapat seratus tingkatan,
Allah menyediakannya untuk para mujahid di jalan Allah,
jarak antara keduanya seperti antara langit dan bumi.

Karena itu, jika kalian meminta kepada Allah, mintalah Firdaus

karena sungguh dia adalah surga yang paling tengah dan paling tinggi. Di atasnya ada Arsy Sang Maha Pengasih, dan darinya sumber sungai-sungai surga.”
(HR. Bukhari 2790 & Ibnu Hibban 4611).

Semakin Dekat Arsy, Semakin Agung
Ibnul Qoyim mengatakan,

أنزه الموجودات وأظهرها ، وأنورها وأشرفها وأعلاها ذاتا وقدرا وأوسعها : عرش الرحمن جل جلاله ، ولذلك صلح لاستوائه عليه ، وكل ما كان أقرب إلي العرش كان أنور وأنزه وأشرف مما بعد عنه ؛ ولهذا كانت جنة الفردوس أعلى الجنان وأشرفها وأنورها وأجلها ، لقربها من العرش ، إذ هو سقفها

Makhluk yang paling suci, paling tinggi,
paling bercahaya,
paling mulia,
paling atas posisinya, dan paling luas adalah Arsy Allah ar-Rahman.
Karena itulah, layak Dia beristiwa di atasnya.
Dan semua yang lebih dekat dengan Arsy,
maka dia lebih bercahaya, lebih suci, dan lebih mulia dibandingkan yang di bawahnya.

Untuk itulah, surga firdaus menjadi surga yang paling tinggi, paling mulia, paling bercahaya, dan paling agung, karena dia paling dekat dengan Arsy. Dan Arsy adalah atapnya.
(al-Fawaid, hlm. 27)

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memotivasi agar umatnya meminta kepada Allah surga firdaus.
Rasulullah sangat paham, ketaqwaan umatnya tidak sama. Sehingga balasan yang mereka terima akan berbeda. Namun beliau memotivasi mereka untuk minta Firdaus, menumbuhkan optimis mereka untuk mendapatkan yang terbaik di akhirat.

Al-Mubarokfury mengatakan,

يدل هذا على أن الفردوس فوق جميع الجنان ولذا قال صلى الله عليه وسلم تعليما للأمة وتعظيما للهمة ” فَإِذَا سَأَلْتُمُ اللَّهَ فَاسْأَلُوهُ الْفِرْدَوْسَ”

Ini menunjukkan bahwa firdaus berada di atas semua tingkatan surga. Karena itu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda mengajarkan umatnya dan memperbesar harapan untuk mereka,
“jika kalian meminta kepada Allah, mintalah Firdaus”
(Tuhfatul Ahwadzi, Syarh Sunan Turmudzi, 7/201)
Allahu a’lam.

25 Agustus 2016

Menyikapi Hadits Larangan Memotong Rambut dan Kuku Sebelum Qurban

Akhir-akhir ini, setidaknya ketika akses internet mulai merebak, terutama di kalangan terpelajar dan professional dan seiring dengan keinginan mereka menimba ilmu agama, mulai banyak beredar dakwah (ajakan) dan juga peringatan dari beberapa orang agar orang yang hendak berqurban jika sudah masuk tanggal satu Dzul Hijjah agar tidak memotong rambut dan kukunya sehingga setelah hewan qurban disembelih.
Jika ditelusuri dasar pilihan hukum di atas adalah hadits yang shahih yang diriwayatkan oleh Ummu Salamah RA yang dikeluarkan oleh Imam Muslim di dalam kitab Shahihnya.
عَنْ أُمِّ سَلَمةَ رضِيَ اللَّه عَنْهَا قَالَتْ: قَالَ رسُولُ اللَّهِ صَلّى اللهُ عَلَيْهِ وسَلَّم: “مَنْ كَانَ لَهُ ذِبْحٌ يَذْبَحُهُ، فَإِذا أُهِلَّ هِلالُ ذِي الحِجَّة، فَلا يَأْخُذَنَّ مِنْ شَعْره وَلا منْ أَظْفَارهِ شَيْئاً حَتَّى يُضَحِّيَ “رَواهُ مُسْلِم
Dari Ummu Salamah radhiyallahu ‘anha berkata: Rasulullah Shallallahu ‘alayhi wa Sallam bersabda: “Barangsiapa yang memilihi sembelihan yang akan disembelihnya, maka jika sudah masuk hilal Dzul Hijjah, jangan sekali-kali mengambil (memotong) rambutnya dan kuku-kukunya sedikitpun sehingga ia menyembelih” HR. Muslim.
Jika membaca hadits seperti ini dengan lafadz yang mengandung penekakanan “jangan sekali-kali” yang di dalam ilmu nahwu “nun” pada lafdz “ta’khudzanna” dinamakan “nun taukid” nun yang berfungsi memberikan penekanan pada kata kerja, pembaca yang awam tentu akan segera mengambil kesimpulan hukum “haram” dari larangan dalam matan hadits dengan berdasar hadits yang shahih. Dan bisa jadi tidak ingin ketinggalan kesempatan ia akan segera memberikan peringatan dan berdakwah ke sanak saudara dan sahabat yang akan berqurban dengan niat yang tulus ingin mencegah kemunkaran.
Hadits di atas ada di dalam shahih Muslim, hadits yang terkenal, bahkan di banyak pesantren di Indonesia kitab shahih Muslim juga dikaji sampai tuntas, tidak hanya itu, hadits ini juga dimuat di dalam kitab “Riyadhus Shalihin” yang hampir seluruh pesantren tradisional maupun modern di Indonesia mengaji kitab ini, di samping itu ibadah qurban di hari raya ‘idul Adha sudah ada ratusan tahun di semua negara Islam, namun mengapa hukum larangan memotong rambut dan kuku nyaris tidak terdengar? Pertanyaan yang sangat wajar dan tentu ada sesuatu yang menyebabkan hokum tersebut kurang popular, meskipun termuat di dalam kitab hadits yang shahih sekelas shahih Muslim.
Hadits ini bisa dijadikan pelajaran berharga, untuk menyikapi banyak lagi hadits lainnya yang berkaitan dengan hukum, bahwa tidak semua lafadz-lafadz lahiriah (dzahiriah) sebuah hadits bisa langsung dijadikan dalil hukum, para ulama’ hadits selalu mengaitkan dengan dilalah (maksud) lafadz tersebut dan di samping itu juga dicari dalil-dalil pembanding, sebab bisa jadi ada ta’arudh (kontradiksi) dengan dalil yang lain sebagai bahan untuk jam’ (mengkompromikan) atau men-tarjih (memilih yang kuat) dari sekian banyak dalil, tanpa proses tersebut dipastikan seseorang yang membaca dalil hukum dari teks al-Qur’an ataupun Sunnah akan terjebak dalam kekeliruan dalam pengambilan kesimpulan.
Kembali ke hadits Ummu Salamah di atas, derajat hukumnya dipastikan shahih, namun bukan berarti jika hadits yang shahih kemudian dilalahnya (maksudnya) menjadi qath’i (pasti dengan satu arti), nash di dalam al-Qur’an ataupun hadits yang mutawatir dan shahih, maksud dan kandungannya memiliki dua sisi, ada yang qath’i (pasti) dan ada yang dhanni (relatif).
Hadits ini, meskipun lafadz dzahirnya ada penekanan kuat, “jangan sekali-kali”, namun para ulama’ tidak kemudian membiarkan arti ini dilanjutkan ke ranah hukum tanpa proses, namun ada sekian banyak pertimbangan sebelum mengambil kesimpulan, di antaranya:
Ada beberapa riwayat dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha yang dimuat oleh Imam al-Bukhari di dalam shahihnya dan juga di muat oleh imam-imam muhadditsin lainnya, menerangkan bahwa Rasulullah saw mengirimkan hadyu (hewan sembelihan) melalui Abu Bakar yang mana hadyu tersebut dikirimkan ke Baitullah, dan Nabi saw masih muqim di Madinah, Nabi saw tidak mengharamkan apapun sebagaimana pantangan yang dihindari oleh orang yang sedang berihram.
Peristiwa ini diriwayatkan oleh Aisyah, istri dan sahabat yang paling mengetahui seluk beluk Nabi saw di rumahnya, oleh karenanya Imam as-Syafi’i berkomentar: “Dan mengirimkan hadyu (hewan qurban) lebih dari sekedar ingin berqurban, maka ini menjadi dalil bahwa hal itu (memotong rambut dan kuku) tidak diharamkan”.
Abu al-Walid al-Baji mengatakan: “Ucapan Aisyah: “Kemudian Nabi saw mengirimkan hewan qurbannya melalui ayahku”, (dengan menyebut melalui ayahku) ia sebenarnya ingin menerangkan bahwa Nabi saw melakukan itu semua pada tahun ke 9 H, juga ingin memberitahukan bahwa beliau mengerti semua permasalahnnya”.
Artinya, perbuatan Nabi saw dengan tidak meninggalkan pantangan apapun sebelum berqurban terjadi di akhir hayat beliau, sebab pada tahun berikutnya beliau naik haji. Hal ini menunjukkan bahwa hadits Aisyah hukumnya tetap, tidak dimansukh (tidak dihapuskan).
Di samping itu riwayat Aisyah ini demikian masyhur di kalangan sahabat dan tabi’in bahkan kemasyhuran riwayat ini sampai pada kelas mutawatir, berbeda dengan riwayat Ummu Salamah, oleh karenanya al-Imam al-Laith bin Sa’d ketika disampaikan kepada beliau tentang hadits Ummu Salamah ra beliau berkata: “(Hadits) ini telah diriwayatkan, namun orang-orang melakukan selain yang terkandung dalam hadits ini”. Imam al-Laits sepertinya ingin berkesimpulan, meskipun hadits ini shahih tapi orang-orang mengamalkan hadits shahih yang lain. Menunjukkan maksud dan kandungan hadits Ummu Salamah kurang kuat jika dibandingkan dengan riwayat-riwayat yang lainnya, dan bahkan banyak ulama’ muhadditsin yang tidak mengamalkan isi kandungan hadits Ummu Salamah.
Di sudut lain ada juga ulama’ tabi’in yang menggunakan qiyas, ‘Ikrimah murid dan mantan hamba Ibnu Abbas yang juga ulama besar Makkah ini ketika disampaikan kepada beliau hadits Ummu Salamah, beliau mengakatan: “Tidaklah sebaiknya orang itu meninggalkan berhubungan badan dan wewangian”. Maksudnya, jika memotong kuku dan rambut dilarang tentu berhubungan badan harus dilarang juga, sebab lebih berat. Qiyas ini diperkuat lagi oleh Ibnu ‘Abdil Barr, tokoh penting madhab Maliki, beliau berkata: “Semua ulama’ telah berijma’ (konsensus), bahwa berhubungan badan di sepuluh awal Dzul Hijjah bagi yang ingin berqurban diperbolehkan, maka yang kurang dari itu hukumnya mubah”. Logika Ibnu Abdil Barr juga sangat relevan, dari sekian banyak pantangan ihram, berhubungan badan tidak sebanding dengan memotong rambut dan kuku.
Adapun yang berpendapat bahwa larangan tetap berlaku dengan mendasarkan kepada hadits Ummu Salamah, mereka menyikapinya sebagai berikut:
Pertama, teks dzahir dari hadits Ummu Salamah berpendapat bahwa hadits Aisyah sangat umum sedangkan hadits Ummu Salamah untuk peristiwa yang khusus, sesuai dengan kaidah yang khusus harus didahulukan dari pada yang umum.
Hadits ‘Aisyah menerangkan perbuatan Nabi saw, sedangkan hadits Ummu Salamah menyebutkan sabda Nabi saw, dan dalam istinbath hukum dari hadits, ucapan Nabi saw lebih didahulukan daripada perbuatannya, sebab boleh jadi perbuatannya hanya khusus untuk beliau.
Imam Ahmad yang berpendapat haramnya mencukur rambut dan memotong kuku membedakan hukum bagi orang yang berqurban dengan mengirimkan ke Makkah dan tetap tinggal di rumahnya dan orang yang berniat ingin menyembelih. Meskipun alasan ini sudah terjawab dengan komentar Imam as-Syafi’i di atas.
Dari metode istinbath yang berbeda-beda ini maka kesimpulan hukumnya juga berbeda, inilah yang disebut ijtihad ulama’ dalam memutuskan hukum, meskipun sudah ada nash, ijtihad dalam persoalan ini tetap diperlukan sebab meskipun ada nash agama, namun dalilnya bukan dalil yang qath’i, sehingga maksud dari isi kandungannya masih multi tafsir.
Oleh karenanya para ulama’ berbeda dalam memutuskan hukum memotong rambut dan kuku bagi orang yang ingin berqurban jika hilal bulan Dzul Hijjah sudah terlihat, minimal ada empat pendapat:
1. Abu Hanifah dan jumhur Hanafiyyah: Hukumnya boleh, tidak makruh dan tidak ada masalah apapun.
2. Pengikut Abu Hanifah yang muta’akkhirin: Tidak apa-apa, tidak makruh namun khilaful aula (meninggalkan yang mustahabb).
3. Al-Malikiyyah dan As-Syafi’iyyah: Disunnahkan untuk tidak memotong rambut dan tidak memotong kuku bagi yang hendak berqurban dan jika memotongnya termasuk makruh tanzih, namun bukan haram.
4. Imam Ahmad, Dawud ad-Dzahiri dan beberapa ulama lain menyatakan hukumnya haram jika memotong rambut dan kuku.
Dari paparan di atas, yang menyatakan hukumnya haram sangat sedikit, bahkan dari ulama’ madzhab hanya Imam Ahmad yang bersikukuh hukumnya haram, adapun jumhur ulama’ madzhab lebih cenderung memutuskan hukumnya adalah makruh, bahkan makruh karahah tanzih, yang berarti seyogyanya tidak dilakukan.
Pelajaran penting dari hadits ini
Terlepas dari pilihan-pilihan hukum yang sudah matang dan dikaji dengan mendalam oleh para ulama’ hadits dan juga fuqaha’ dan diskusinya sudah dibahas tuntas di dalam kitab-kitab fiqih dan syarah-syarah hadits, ada pelajaran penting dari hadits ini:
1. Memahami teks agama tanpa bimbingan ulama’ adalah sesuatu yang sangat berbahaya. Belajar sendiri dari nash-nash al-Qur’an dan hadits tanpa merujuk ke tafsir dan syarah-syarah hadits adalah tindakan yang sangat gegabah.
2. Nash al-Qur’an dan nash hadits-hadits Nabi yang berupa larangan, belum tentu kesimpulan hukumnya adalah haram. Sebab kata larangan memiliki indikasi makna yang bermacam-macam, untuk mengetahui hal ini, seseorang perlu mempelajadi dilalatul alfadz di dalam disiplin ilmu ushul fiqih.
3. Tidak semua nash dalam al-Qur’an dan hadits mengandung maksud qath’i (hukumnya pasti, tidak menerima perbedaan), namun kebanyakan nash dalah dhanni (relatif).
4. Para salafusshalih, dalam hal ini para sahabat dan tabi’in juga terbiasa berbeda dalam masalah ijtihadiyyah. Hal ini bisa dilihat dari sikap para tabi’in yang melaporkan persoalannya kepada Aisyah ra juga sikap para ulama’ tabi’in dalam menyikapi hadits Ummu Salamah ra.
5. Pilihan hukum tertentu dari masalah-masalah khilafiyyah tidak boleh mengganggu muslim yang lain yang berbeda pilihan. Bahkan tidak diperlukan amar ma’ruf dan nahi munkar dalam persoalan seperti ini. Sebab semuanya berdasarkan dalil yang sama-sama dianggap kuat.
6. Hadits ini hanya satu dari beratus-ratus hukum yang di dalamnya terjadi khilaf di kalangan ulama’, sehingga semakin luas wacana berpikir seseorang dalam dalil-dalil agama, maka akan semakin berlapang dada dalam menyikapi persoalan umat.
7. Merasa paling di atas sunnah hanya dengan berpihak pada satu pilihan hukum yang dhanni tanpa toleransi akan memicu perselisihan di antara umat Islam.
8. Ilmu agama demikian luas, dalil agama juga demikian banyak, akan sangat berbahaya jika hanya berpegang kepada satu dan dua dalil dan tidak mau mencari yang lain dan menutup hati dari kaluasan ilmu yang tak berbatas.
9. Terkadang seseorang sudah merasa paling benar dalam pilihan hukum di satu masa, namun lambat laun seiring dengan berkembangnya wawasan keagamaan, maka dada juga akan semakin luas untuk menerima perbedaan yang dalam ranah khilafiyyah yang mu’tabar.
10. Masalah ijtihadiyyah seperti di atas bukanlah tolok ukur al-haqq dan al-bathil, namun ranahnya adalah al-shawab (benar) dan al-khatha’ (salah), yang berijtihad dan benar akan mendapat dua pahala dan yang berijtihad dan tersalah tetap mendapatkan satu pahala.
Wallahu a’lam,
Alfaqir ilallah,
Dr. Muntaha
Dosen Fiqh International Islamic University Malaysia
Sumber:
http://islamedia.id/menyikapi-hadits-larangan-memotong-rambut-dan-kuku-sebelum-qurban/

03 Agustus 2016

Keistimewaan (Fadhîlah) Istighfâr

Istighfâr berasal dari kata Istaghfara sedangkan asal katanya ialah Ghafara yang artinya dari segi bahasa : Satara “Menutupi” atau Ashlaha "memperbaiki”. Jadi, Ghafarallâhu-lahû artinya : “Allâh menutupinya Istaghfarallâha artinya “Minta kepada Allâh agar ditutupi dan diperbaiki” dari semua kesalahan yang pernah dilakukan. Atau dalam bahasa kita disebut “minta ampun kepada Allâh”.

Al-Ustadz Al-Bahîl-Haulî mengatakan bahwa Istighfâr merupakan kunci pembuka rezeki langit baik yang berupa spiritual maupun material. Hal ini berdasarkan firman Allâh dalam surah Nuh (71) : 10, 11 dan 12 :

Maka aku (Nuh) berkata (kepada mereka) : ”Beristighfârlah kalian kepada Rabb kalian, sesungguhnya Dia Maha Pengampun. Niscaya Dia akan mengirimkan hujan kepada kalian dengan lebat. Dan akan memperbanyak harta dan anak-anak kalian. Dan Dia akan jadikan buat kalian kebun-kebun dan Dia jadikan (pula) untuk kalian sungai-sungai´.

Dan masih banyak lagi ayat-ayat Al-Quran yang memerintahkan supaya memperbanyak Istighfâr.

Dalam sebuah hadits Rasûlullâh saw. bersabda :

“Barang siapa yang biasa membaca Istighfâr, maka Allâh akan menjadikan jalan keluar baginya dari segala kesempitan, dan kesenangan dalam segala kesusahan serta memberinya rezeki dari arah yang tidak ia duga”.
(H.R. Abu Dawud, Ibnu Majah dan Ahmad)

Di dalam hadits yang lain Rasûlullâh saw. bersabda :

“Keberuntungan bagi orang yang mendapati dalam kitab catatan ‘amalnya -- di hari kiamat – Istighfâr yang banyak”.
( H.R. Ibnu Majah dengan sanad yang jayyid)

Dalam hadits yang lain Rasûlullâh saw. sebutkan jumlah Istighfâr yang biasa beliau baca dalam satu hari; Beliau saw. bersabda :

“Demi Allâh, sesungguhnya aku niscaya beristighfâr kepada Allâh dan bertaubat kepada-Nya lebih dari 70x dalam satu hari”.
(H.R. Bukhârî)

Dari Ibnu ‘Umar r.a., ia berkata :

“Kami pernah menghitung – Istighfâr – Rasûlullâh saw. dalam satu kali duduk 100x, beliau membaca : “Rabbighfir-lî wa tub ‘alayya, innaka Antat-Tawwâbur-Rahîm”.
(H.R. Abu Dawud, Tirmidzi dan Ibnu Majah. Tirmidzi berkata : Hadits Hasan Shahîh).

Terjemahannya :
“Wahai Rabb-ku, ampunilah aku. Dan terimalah taubat-ku. Sesungguhnya Engkau Maha Penerima Taubat lagi Maha Penyayang”.

Dalam hadits yang lain lagi Rasûlullâh saw. bersabda :

Barang siapa yang membaca : “Astaghfirullâhal-ladzî lâ ilâha illâ Huwal-Hayyul-Qayyûm wa atûbu ilaihi”. Maka akan diampuni segala dosa-dosanya meskipun ia pernah lari dari perang (desersi).
(H.R. Abu Dawud dan Tirmidzi dari Ibnu Mas’ud, dan Hakim berkata : Hadits ini shahîh menurut syarat Bukhârî dan Muslim).

Terjemahannya :
“Aku minta ampun kepada Allâh, Yang Tidak ada Sesembahan kecuali Dia, Yang Hidup dan Berdiri Sendiri. Dan aku bertaubat kepada-Nya”.

Anjuran Untuk Berdo’a dan Istighfâr Di waktu Sepertiga Malam Yang Akhir

Rasûlullâh saw. pernah bersabda :

“Rabb kita turun ke langit dunia pada tiap-tiap sepertiga malam yang terakhir, maka Dia berfirman : “Siapa yang berdo’a kepada-Ku maka akan Aku kabulkan, siapa yang minta kepada-Ku maka akan aku berikan, siapa yang minta ampun (istighfâr) kepada-Ku maka akan Aku ampuni baginya”.
(H.R. Bukhârî dan Muslim)

Dan Al-Qur-’ân menyatakan bahwa beristighfâr waktu sahur atau sepertiga malam yang akhir merupakan salah satu sifat orang-orang yang bertaqwa :

“Dan orang-orang yang bersabar, yang benar, yang tetap ta’at, yang menginfaq-kan hartanya di jalan Allâh dan yang memohon ampun (istighfâr) di waktu sahur”. (Surah Ali ‘Imran (3) : 17)